Album ‘Angel Fire’ Blood Pact: Curhat Gelap di Kala Depresi

Hadir dengan nuansa penuh gelap, album ‘Angel Fire’ Blood Pact seperti mendengar curhat seorang yang mengalami depresi.

Musik yang kita temui dan sukai kadang memang datang dari hal-hal yang tidak terduga. Ketika sedang mencari musik bernuansa gelap ala-ala Doom Metal yang ada di Indonesia, seorang kawan memberitahu saya mengenai suatu band post-punk.

Mungkin karena saya adalah seorang yang antusias pada musik gelap, saya pun akhirnya mencari tahu label rekaman yang mereka pakai: ternyata salah satu label asal Jakarta bernama Ordo Nocturno. Saya lalu mengecek halaman bandcamp Ordo Nocturno dan menemukan bahwa kebanyakan rilisan dari label tersebut adalah musik bergaya post-punk.

Salah satu band yang mencuri perhatian saya adalah band post-punk asal Singapura bernama Blood Pact. Hal ini membuat saya penasaran karena sebagai band asal Singapura, kenapa sih mereka pakai label rekaman di Indonesia? Saya memang tidak tahu alasannya dan rasa penasaran membuatku mengecek rilisan musik mereka. Salah satunya adalah album mereka yang baru saja dirilis pada bulan Oktober 2024 bernama “Angel Fire”. Album tersebut dirilis dalam format CD, kaset pita, dan file digital di bandcamp.

Saya pun melakukan berbagai research di internet mengenai post-punk dikarenakan saya masih belum familiar dengan istilah tersebut. Singkat cerita, saya pun menemukan bahwa post-punk adalah sebuah gerakan musik yang melahirkan banyak genre-genre baru seperti Shoegaze dan Gothic Rock, beserta genre-genre lainnya.

Blood Pact sendiri juga mengidentifikasi musik mereka sebagai Shoegaze, hal ini terlihat dari pemakaian tag yang ada di halaman bandcamp mereka. Saya juga belum familiar dengan istilah genre Shoegaze, jadi bisa dibilang Blood Pact adalah band Shoegaze pertama yang saya nikmati musiknya.

Singkat cerita saya pun membeli CD album “Angel Fire” langsung dari toko Ordo Nocturno yang ada di Tokopedia. Dikarenakan suka banget dengan musiknya, saya sampai berpikir ingin juga membeli kaset pita sebagai barang koleksi meskipun saya sudah memiliki CD album tersebut.

Album “Angel Fire” terdiri dari delapan lagu termasuk satu lagu cover di penghujung album. Nada-nada melodi yang catchy berpadu dengan nuansa gelap depresif adalah keistimewaannya. Musik gelap biasanya memiliki nada monoton (dan bahkan monokrom) yang sengaja dibikin seram, tapi Blood Pact entah bagaimana dan entah mengapa membuat musik yang depresif ini terkesan lebih berwarna dengan nada-nada catchy yang tenang.

Namun di sinilah letak keistimewaannya. Nada musik yang tenang dipadu dengan lirik mengerikan rasanya seperti seseorang yang sedang mengalami depresi dan menyampaikan keinginan untuk mati dengan tutur kata yang penuh ketenangan. Bahkan dalam beberapa bagian di album ini ada perasaan semangat untuk mati saja.

Lagu pertama berjudul Flowers on My Grave, yang memiliki intro album selama beberapa detik sebelum drum beats menggebu yang membuka lagu. Lagunya ini berisi curhatan karena sang protagonis dalam lirik lagu yang merasakan kekosongan batin. “I used to feel alive, now I can only dream…” Chorus lagu ini pun mengisahkan narasi di pemakaman setelah kematian, dengan lirik “I don’t mind no flowers on my grave”.

Dengan lirik-lirik gelap tersebut mungkin kita asumsikan dinyanyikan dengan nada parau, ternyata malah dinyanyikan dengan nada-nada bersemangat. Hal ini terdengar bersama influence gaya punk yang sangat kentara di chorus lagu yang terus diulang-ulang. Kontrasnya nada musik dengan tema lirik yang ada di chorus lagu ini membuatnya terasa istimewa.

Album “Angel Fire” Blood Pact (dok. bandcamp/bloodpact)

Dibandingkan dengan lagu pertama, lagu kedua yang berjudul Self-Sabotage justru jauh lebih gelap kesannya. Lagu ini lebih penuh dengan curhat-curhat yang awalnya terkesan seperti curhatan orang yang sedang depresi, tapi semakin berlanjut lagunya curhat-curhat ini menjerumus ke arah self-harm dan suicidal tendencies.

Bayangkan saja, mulai dari “I don’t deserve anything other than misery” bisa saja berubah semakin gelap dan menjadi “Sharpen your knife, cut me I’ll bleed”. Oh itu belum seberapa dengan lirik di chorus yang menyampaikan keinginan bunuh diri dengan cara dibakar.

Lagu Self-Sabotage ini masih tetap memperdengarkan nada-nada catchy yang terkesan tenang meski memiliki tema yang gelap. Rasanya sudah seperti seseorang yang sedang menunjukkan gejala ingin bunuh diri tetapi menyampaikan keinginan bunuh diri tersebut dengan cara yang santai pada seorang teman dekat.

Lagu ketiga berjudul Time Machine. Sesuai dengan judulnya, sang protagonis dalam lagu ini menginginkan mesin waktu untuk kembali ke masa lalu. Lagu ini dibuka dengan perasaan bersalah sebagaimana liriknya yang berbunyi “Slowly counting all of my mistakes again”. Mungkin kesalahan-kesalahan yang dihitung itulah yang menyebabkan sang protagonis sangat mengharapkan mesin waktu untuk kembali ke masa lalu dan mengubah nasib yang dimiliki.

Lagu keempat berjudul A Familiar Place. Lagu ini adalah favorit saya dikarenakan riff gitar yang sangat gampang diingat dan mengesankan nostalgia. Dengan chorus yang terus mengujarkan “A familiar place, a familiar face, I never thought I’d end up here again” juga turut mengesankan nostalgia. Namun tentu saja seperti yang sudah saya duga, lagu ini tetap tak luput dari pesan-pesan penuh depresi yang terus-menerus menyalahkan diri sendiri. Hal ini tercermin dari lirik-lirik berupa “I’ve only myself to blame” dan “I dug myself my own grave”.

Saya agak kaget dengan lagu berikutnya (lagu kelima) yang berjudul No Place to Hide. Lagu ini berbeda dengan lagu-lagu lainnya dikarenakan intro lagu yang benar-benar terkesan terang dan sangat bersemangat. Jika saja nada-nada intro lagu ini diaransemen ulang dalam bentuk gaya musik yang lain, sepertinya bisa jadi akan terasa seperti musik pop punk pada umumnya.

Tapi oh tapi tentu saja sebagaimana musik gelap, liriknya tetap gelap juga. “Cut me up and shove me in a box… Anywhere just out of sight” sepertinya menunjukkan rasa ingin membuang diri jauh-jauh.

Lagu keenam berjudul Dancing in the Rain. Lagu ini kembali lagi ke mode curhat dan galau. Sang protagonis dalam lagu ini menganggap dirinya adalah parasit dan sebuah beban, sebagaimana liriknya “I’m ecstatic you feel better off without a parasite and buden like myself”.

Lagu ini diakhiri dengan pesan yang diulang-ulang, menyatakan ingin bersama dengan sosok yang dijunjung tinggi dalam lagu ini kalau saja diizinkan demikian. Liriknya saja berbunyi “I’ll go anywhere with you if you let me”, diulang-ulang terus.

Lagu ketujuh berjudul Slit Tongue. Saya rasa ini adalah lagu terakhir di album ini dikarenakan adanya outro album di penghujung lagu. Lagu ini adalah contoh sempurna untuk menyatakan betapa galaunya rasa album “Angel Fire”. Bahkan di awal track saja kita sudah disuguhkan dengan nada-nada muram. Kegalauan ini menyelubungi seluruh track.

Lirik lagu ini cukup menarik, menyiratkan kerinduan dan nostalgia: “I still see you when I’m dreaming / Still haunts me as I breathe / I watched you as you leave”. Sang protagonis kemudian melanjutkan dengan menuturkan kerinduan pada masa muda, “Oh how we still long for / the pride and glory of / being young and dumb” dibarengi dengan aransemen musik yang sangat muram. Hal ini menyatakan makna dan tema lagu, yaitu kerinduan pada masa lalu ketika masih muda.

Lagu Slit Tongue pun ditutup dengan ungkapan “Joy is temporary, but this pain will last a while” menyiratkan bahwa sang protagonis sadar bahwa semua keindahan hidup yang dirasakan bersifat sementara. Kalimat “this pain will last a while” terus-menerus diulang, mungkin untuk mengekspresikan betapa muramnya perasaan tersebut sebelum kemudian disusul dengan outro album.

Setelah lagu tersebut, track terakhir adalah lagu cover berjudul Everything yang aslinya merupakan lagu M2M. Setelah mendengar versi orisinal dan versi Blood Pact, saya rasa mereka telah berhasil mengaransemen lagu tersebut ke dalam versi mereka dengan nada-nada yang catchy dan musik khas Blood Pact.

Meskipun kerap kali liriknya bersifat mengerikan, Blood Pact tetap menyajikan musik mereka dengan alunan gitar yang bersih, bahkan jarang ada kesan distorsi kotor ala-ala musik rock depresif pada umumnya. Lirik-lirik berupa keinginan untuk melukai diri dan bunuh diri, menyalahkan diri sendiri, nostalgia pada masa lalu yang indah, dan lain-lainnya tetap membuat album “Angel Fire” ini penuh dengan kesan yang gelap, persis seperti curhat gelap seseorang yang sedang mengalami depresi.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Nicholas Tan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Pohon Kurus: Kumpulan Puisi Farras Pradana

Next Article

Penerbangan Menuju Surga: Kumpulan Puisi Imam Budiman