Saat itu, Ros tengah malam sedang menjaga tubuhnya agar tetap apik-cantik; dihadapan semua orang, di depan jalan raya, dan di dekat tembok-tembok pembatas rumah di pinggir jalan.
Di jalan dekat gapura tengah kota, dengan gincu yang sangat merah di bibirnya. Sehingga penuh kesiapan jika siapa saja yang butuh jasanya, ia siap kecup dengan lembut. Begitulah ia menjejaki kisahnya dan melakukan pameran bibirnya yang merah.
Menjual jasa terkhusus kepada lelaki. Walaupun sebenarnya semua orang tahu tingkat keharamannya itu adalah 1000 persen, tetapi Ros tidak pernah tidak sendiri dalam lubang nista. Bahkan sering overload, bahkan juga rerata pelanggannya adalah orang-orang yang paham betul kadar keharamannya, bahwa jika menyewa tubuhnya sebagai objek seksual-komersil adalah sebuah dosa besar hidup dan mati!
“Woro-woro! Siapapun boleh menjamahi tubuhnya,” teriak orang gila.
Sebab ia dedikasikan tubuhnya itu untuk semua laki-laki berjenis apapun tentang perwatakan, maupun gaya birahinya, ataupun status sosialnya. Sehingga ia disukai oleh banyak orang, termasuk orang gila.
Dengan penuh keyakinan di jam 00:05, ia duduk di halte yang juga temboknya penuh dengan coretan propaganda; partai merah, bubarkan.
Jarak sepuluh meter dari gapura tadi, ia menunggu siapa saja yang mau dilayani. Tentu saja ia siap kecup.
Sementara, detak suara jam di tangannya, di dinding, atau di menara tengah kota, diabaikan seolah tak berbunyi apa-apa; rusak.
Intinya apapun tentang waktu, tak lagi menjadi patokan utama untuk dia harus pulang di jam berapa.
Untuk pelanggan, uang, dan kehampaan hidup dirasakannya. Kian melatihkannya kebal rasa dingin; air mata yang jatuh karena rasa sakit batin akan jalan hidupnya, ia tetap kuat.
Terkecuali tentang memori bersama seorang ayahnya. Ia merasakan getir kesakitan batin jika sesekali teringat.
Kemudian setelah uang dan hasrat sudah terpenuhi, pertanda baginya untuk pulang ke rumah sewaan. Walaupun tak mengenal waktu, dia tidak pernah lupa untuk selalu pulang.
Pulang baginya adalah suatu yang paling berharga dalam hidup. Daripada mengingat kisah bersama seorang ayah di jalanan atau di manapun, baginya adalah sesuatu yang sangat sia-sia bahkan paling tidak mungkin dilupa.
Ketika sudah sampai di rumah, di kamar. Ia selalu mengulang aktivitasnya yang sudah menjadi kebiasaan yang melekat; berdiam diri di pojok kamar dengan lampu-lampu dimatikan.
Ada enam lampu yang sempat dibiarkan menyala di kamarnya sejak siang hari sampai ia pulang bekerja, entah lampu apa saja. Sengaja dinyalakan agar saat malam tiba ia bisa melakukan ritual tadi; mematikan lampu pasca pulang dari bekerja.
Dan jendela yang sengaja dibuka, juga kembali ditutup. Lalu jika ia pulang, ia selalu menaiki bajaj butut yang telah disewanya.
Berlangganan setiap tengah malam dan mungkin hampir pagi kepada pak Parto yang tidak pernah absen menunggunya.
Hal demikian merupakan siklus yang selalu dilakoni setiap kali ia bekerja, tanpa bosan dan tanpa lupa.
Sudah dua pelanggan ia layani malam itu. Bibir merah dari gincu sempat pudar dilumat si Tuan gembrot dan botak, tidak bertato. Sementara satu tuan lagi lebih gembrot, berhidung tomat, kulitnya hitam, dan bertato bergambar burung garuda di bagian punggung.
***
Sementara, malam saat itu merupakan malam yang paling hancur baginya. Walaupun bermain dalam satu kamar, dan berbeda jadwal jam. Pria yang terakhir itu, telah menjadi pembuka kisah kelam yang telah lama dipendam beberapa tahun lamanya.
Malam itu menjadi malam yang begitu kacau dari malam-malam yang telah berlalu. Sebab lelaki terakhir memaksa masuk tanpa jeda, memesan, dan melanggar aturan main; seharusnya tidak sembari membawa botol, mabuk, dan memaksa dengan suara keras “AKU SEGERA INGIN DI LAYANI!”
Tidak seperti biasanya ia melayani pelanggan yang tak patuh. Kemudian akhirnya merasa terpaksa begitu saja untuk melayaninya, dan tetap dengan ramah dan nakal ia layani walaupun hatinya berdarah-darah. Karena ia tahu jika menolak, botol itu semaunya melayang seperti peristiwa yang pernah terjadi pada empat belas tahun silam.
Melihat pria terakhir tersebut memegang botol dan kemudian pecah tak sengaja di lantai tepat di bawah kemaluannya. Ia merasakan katup memori terbuka perlahan-membayangkan sebuah peristiwa yang paling ia benci seumur hidupnya.
Dengan keadaan semua badan terasa lengket, oleh cairan apapun. Pelanggan yang nakal dan mabuk, selain memecahkan botol dan membuat tumpah bir di lantai dan kasur, hidung tomat itu juga mengeluarkan ingus dari lubang hidungnya yang tampak seperti goa, ke dada Ros dan mulutnya.
Sementara ia hanya berserah diri pada sang tuan, pada Tuhan. Bahkan pada kematian yang barangkali menjemputnya tiba-tiba, ia juga memasrahkan diri.
Karena dilemahkan oleh ketakutan, birahi, oleh uang, dan segala penderitaannya juga ikut melemahkan. Untuk malam itu, sebagai pegangan hidup sepanjang hari, ia hanya memiliki satu keinginan sederhana untuk kehidupannya; melupakan semua kisah kelam dari seorang ayah yang kasar dan bengal.
***
Sebenarnya bukan sekadar uang, atau birahi mengapa ia menjadi seorang pelacur yang murahan, dan gampang terjamah siapapun.
Waktu yang sangat luang dan memori hitam yang pekat menjadikan ia bosan atas semua hal aktivitas dalam hidup. Demikianlah cara Ros mengisi kekosongan hidupnya, menjadi selir.
Walaupun sebenarnya ia tahu, menjadi pelacur juga tidak akan bisa menguburkan dalam-dalam perihal ingatan.
Tapi memang hanya itu yang ia tahu, melacur. Penuh semoga bisa untuk meloloskan diri dari berbagai macam kesedihan dan mendekatkan pada harapannya, ‘mati lebih awal’. Sebab pagi, siang, ataupun sore adalah keadaan hidup yang tidak mungkin ia jumpai tentang kebahagiaan.
Sementara baginya, orang yang terdekat dalam hidupnya adalah hanya sebuah masalah dan permasalahan. Termasuk satu pria terakhir yang tengah mengisap putingnya.
Kemudian hatinya yang sedang terusik oleh sebuah penampakan botol pecah terurai tanpa wujud di lantai. Oleh sentuhan pemabuk, jilatan yang gila di area tertentu, membuat matanya kemudian melirik penuh gelisah keberbagai arah.
Dadanya yang paling terdalam mengisakkan tangis, bercampur birahi dan membayangkan masa yang sudah kelam-suram terbuka-teringat oleh insiden kecil; botol pecah ke lantai, dan bir berantakan tumpah ketubuh.
Pergi ke peristiwa empat belas tahun yang lalu. Tentu yang ia ingat adalah ia pernah mendapati perlakuan kasar, di banting ke tiang, kemudiam disusul menyaksikan kepala ibunya pecah oleh sebotol minuman dari tangan kanan ayahnya yang sedang mabuk parah.
Membuat darah ada di mana-mana. Peristiwa itulah yang kemudian menjadi penghuni pikirannya yang tak pernah luput dilupa sampai sekarang.
Umur yang masih sangat muda, sepuluh tahun adalah umur yang masih kuat untuk mengingat sebuah peristiwa yang tak pernah hilang untuk dilupakan bahkan sampai hari ini (25).
Sedari kecil, memang ia dipaksa takdir Tuhan untuk hidup bersama seorang ayah yang agak kasar, dan berdarah dingin. Mungkin karena ia adalah pembunuh orang-orang partai merah.
Hingga sampai membuatnya tak lagi mengenal sesosok kasih ibu. Ibunya mati dekat tembok hingga penuh bercak darah pasca dihantam sebotol bir tepat di kepala. Dengan alasan yang tidak jelas, mengapa seorang ayah memecahkan kepala istrinya? Selain tempramen di bawah pengaruh alkohol dan rasa tidak cinta, mungkin juga adalah alasannya.
Kemudian Ros menjadi terlantar, hingga sekarang. Tapi tak sedikit ia dibantu oleh uluran tangan dari siapapun, dan ditatap oleh mata-mata iba siapapun.
Ayah yang brengsek, kemudian mati dengan sendirinya, setelah terjatuh dihantam penyakit jantung akibat halusinasi, katanya ia merasa dibayang-bayangangi sesosok putih berjenis perempuan di dekat tembok; berkepala pecah, dengan dada berdarah seperti bekas sayatan pecahan beling, membuatnya terkejut-kejang-kejang.
Karena itu jantungnya berdebar tak karuan sehingga membuat ayahnya mati tak tertolong di dekat tembok itu; persis ditempat sewaktu ia memecahkan kepala istrinya dengan botol, dan membanting anaknya ketiang dekat tembok dengan keras.
***
Pasca tak lagi mengenal sesosok kedua orang tua, Ros merasa kehilangan segalanya; terkecuali ayahnya yang tak pernah ia rasakan keberadaannya, tapi ia tetap melanjutkan hidupnya, Ros tumbuh menjadi gadis yang cantik, pandai membaca dan berhitung sewaktu masih kecil.
Di kelasnya, ia adalah paling terang, hanya saja tak satupun orang yang berhasil mengajaknya berbicara pasca kematian ibunya.
Ia tak mengenal apapun-siapapun tentang manusia di dalam kelas, yang ia kenal adalah sebuah peristiwa yang beraroma kematian di dalam ingatannya di kepala.
Dan di kehidupan kelas, yang ia kenal hanyalah pecahan-pecahan rumus dari matematik yang sangat mudah untuk dipecahkan baginya, lalu mengenal deretan kalimat tentang permasalahan sosial di mata pelajaran bahasa Indonesia, kemudian juga berhasil dipecahkan dengan mudah.
Kemudian di akhir jawaban yang sudah usai dijawab, ia menuliskan sesuatu, “ADAKAH SOAL YANG LEBIH BERAT DARI PADA SOAL HIDUPKU?”, anonim.
Sementara darah yang mengalir dari ibu jarinya, pulpen kini mengalirkan darah yang tak seharusnya walaupun hanya setetes. Kemudian darahnya dijadikan sebagai tinta di kertas yang masih baru rampung dijawab; simbol titik dua dan disusul satu tanda buka kurung, dengan warna sedikit tak jelas, atau samar-samar..
Kemudian Ros meninggalkan kelas, pergi dengan rasa sedikit kesal dengan keadaan yang tak pernah membuatnya gembira.
Ia kemudian menuliskan kembali di papan pengumuman dekat ruang guru, “TAK ADA YANG LEBIH BERAT DARI MENIMBA ILMU ATAU APAPUN, TERKECUALI BERATNYA ISI KEPALAKU”.
Hidup, baginya dirasa hanya membebankannya, dan menjadikannya perempuan yang paling menyendiri, dan pendiam.
Dan itu adalah hari terakhir mencicipi pendidikan dan ruang kelas.
***
Cerita hidup yang tidak menyenangkan, kemudian membawanya kepada dunia penuh singkat. Ia pergi dari yayasan tempatnya dititipkan oleh seluruh keluarganya yang mengasihani, tapi tak mau mengurusnya.
Sehingga dalam anggapannya tentang sebuah keluarga dan rumah, “Aku hanyalah seorang anak yang dilahirkan sebagai beban semenjak dalam percintaan ayah dengan ibu yang terkesan pemerkosaan.”
Kemudian ia memilih hidup di luar pintu asrama, bertemu angin yang dingin, dan halu-lalang orang-orang yang tidak pernah mau berhenti sejenak, atau sekadar istirahat dan memahami penderitaannya.
Menjadi pelacur di pinggir jalan, tentunya merupakan ketidaksengajaan dalam memilih sebuah jalan hidup. Karena sebuah mimpi tersebut tidak pernah direncanakannya sewaktu kecil, justru ia adalah seorang anak yang sangat penasaran pada keindahan di atas langit, “Ibu, aku ingin sekali pergi ke langit, dan melihat bintang-bintang lebih dekat dengan pesawat ini,” katanya pada ibunya saat memamerkan pesawat kertas yang baru saja ia buat.
“Haha.. iyah, tumbuh saja dulu, jika sudah besar nanti kamu bisa menjadi apa yang dimaui,” jawab ibunya.
Tentunya ibunya hanya berbohong, jawabannya hanya pindahan topik agar ia selalu makan, dan sehat setiap hari.
Masa waktu setelah dewasa, mimpi-mimpi adalah hal serba sulit. Menjadi perempuan paling nakal, bugil dan pandai bermain lakon dan sangat gesit berganti topeng ceria-cerita, sekali lagi bukan mimpi Ros sewaktu kecil.
Sangat jujur, ini bukanlah merupakan sebuah kebanggaan dalam hidupnya, justru masa depannya ini menambah beban dan penderitaan yang tumbuh lebih banyak setiap rasa bersalah kepada tuhan dan pada ibunya. Tapi ia tetap pura-pura menghiraukannya, dan menunggu sesuatu yang berarti; mati lebih awal.
***
“Anjing!!!..” ucap salah satu pelanggannya. Ia merasa puas.
Walaupun puas atau tidak, kata tersebut selalu sering menjadi pengganti bintang-bintang sebagai hiasan setiap malam, di atas ranjang.
Kata yang lugas dan memang nikmat untuk diucapkan : anjing! Ternyata lantang dikeluarkan juga oleh orang yang sedang birahi dan buas. Bercinta di atas ranjang, atas nama cinta, dan komersialisasi tubuh. Kemudian lelaki yang bengis itu menjerit sembari berkata yang sama: Anjinggg!! Ah..ah..
Dengan nada mendesah, lepas-keras. Hingga sampai menyemburkan cairan kental dari lubang kecil seperti knalpot menjorong datar. Bedanya hanya berdaging, berurat kasar, bengkok ke kanan, dan dengan ketegangan 1000 volt : croootttt… uuwh. Huuuh…
Sementara, Ros selalu saja resah dalam pertarungan ranjangnya. Mulutnya kerap di sumpal dengan lima jari. Sssssttt… sembari dipompa, dengan kekuatan kuda. Janganlah berisik. Anjing!! Sampai-sampai Ros tidak memiliki kesempatan berbicara untuk mengatakan kata anjing dengan nikmat dan setara.
Sepanjang ia menjadi pelacur, kegiatan seksualnya tak pernah lama, selalu dirasakannya singkat. Berhenti pada klimaksnya sang tuan: Ahhhhh.. sembari mengeluarkan burungnya yang semi layu dan berlendir. Ros tetap merasakan tawarnya hidup, tak ada cinta, semua yang ditemukan selalu sama; tidak berkesan, dan tidak pernah sampai klimaks dirinya.
Ranjang akhirnya menjadi saksi bisu perihal kesenjangan kenikmatan, ketidakadilan dalam bercinta. Menghiraukan kenikmatan seksual dari sisi perempuan. Bagi Ros tak pernah ia dapati hakikatnya bercinta sebagai perasaan yang sama dari dua manusia atau tiga sekalipun.
***
Ros dikenal sebagai ‘anjing malam’. Kata seorang lelaki yang tengah mengambil keuntungan sebagai sales promotion boy yang tidak disuruh oleh siapa-siapa.
Ia menobatkannya sebagai pelacur paling cantik kepada satu pelanggan yang hendak minta dilayani oleh Ros, setelah berhasil mempertemukan, kemudian ia meminta upah 5000 rupiah pada yang dianggap tuan.
Tak satupun seseorang mengenali Ros sebagai wanita yang ajaib; yang tidak pernah dijumpai dari wajahnya yang tak pernah lusuh, murung dan lemah.
Padahal, semua yang ada di dalam tubuhnya adalah derita hidup yang diselimuti keindahan yang palsu-palsu. Dan itu merupakan bentuk kemunafikan manusia yang hebat padahal.
Karena tidak pandai menyembunyikan sesuatu yang tidak manusia lain sukai itu justru masalah besar dalam hidup, bisa-bisa diasingkan oleh lima ribu penduduk. Sebab itu, ia memantaskan diri dalam ranah seksual sekalipun, sebagai cara untuk bersembunyi dari ingatan masa empat belas tahun yang lalu. Sementara, orang-orang hanya tau tentang tubuh dan nikmatnya saja.
Sebagai Anjing malam yang terkenal di segala penjuru desa-kota; premanisme, kantor-kantor, bahkan artis, dan beberapa pejabat sebelum reformasi itu, juga mengenalnya, dan sesekali memakai jasanya sampai merasa puas-tuntas rasa penasaran. Selain cantik, ia penuhi semua hasrat laki-laki untuk menjamahi tubuhnya dengan bebas, dan nakal. Tanpa perlawanan. Dan selalu menyambut dengan baik, dengan sopan santun.
“Kenapa kamu tidak hadir saat malam kemarin, sayang?,” tanya salah satu pelanggan yang tengah menikmatinya.
Sementara ia hanya tampak tersenyum, dan tak menjawab apapun.
Semua lelaki apapun itu jenisnya tak pernah berbeda, selalu sama baginya setiap kali datang dan memesan; Sama-sama suka mengeluarkan sesuatu yang berlendir, dan tanpa merasakan penderitaannya.
“Aku hanya ingin mati, dan melaksanakan kehidupan dengan menghilang,” doanya setiap hari pada Tuhan saat berhubungan badan.
Walaupun sebenarnya ia bingung, antara boleh atau tidak seorang pelacur berkomunikasi dengan Tuhan lewat sakralnya doa saat berhubungan badan?
***
Suatu ketika, anjing yang malang, buduk warna abu-abu. Sempoyongan masuk-tersesat di gerbang, hingga sampai depan pintu rumah sewaan Ros yang tengah terbuka. Sampah-sampah yang sedang berantakan di depan anjing melaju pelan ke arah baunya. Ia datang tak terduga sehingga menimbulkan efek kejut kepada Ros.
Terlihat dari lemparan matanya yang kesayuan, dari buduknya yang luka-luka, dan wajahnya yang hampir hancur di penuhi bentol-bentol dan buduk. Anjing itu seolah sedang meminta pertolongan untuk diberi makan, untuk diobati segera.
Anjing itu tidak mau keluar, apalagi pergi dengan pamit, wassalamualaikum wr.wb.. Ia tetap berdiri-diam dan menoleh kearah Ros dengan rasa sedih.
Di badan anjing Ros melihat bercak darah dari luka di bagian tubuhnya, dari lecet-lecet, botak, bentol, dan menjijikan semua orang.
Kemudian Ros mengambil roti berisi daging sisa semalam di tas penuh perias diri. Kemudain ia taruh roti itu di lantai depan anjing yang tengah kesakitan karena luka-lukanya. Kemudian Ros menembak anjing itu dengan pistol.
“Keadaan yang indah untuk seekor anjing yang buduk, mungkin adalah mati,” ucapnya terakhir pada anjing.
Selang dua puluh hari pasca meninggalnya anjing yang malang tersebut, Ros menyusul anjing itu dengan kematiannya juga.
Virus-virus kecil yang bersemayam di tubuhnya, baru terasa. Sangat melemahkan daya tahan tubuh, entah datang dari mana virus-virus kecil itu berasal. Yang jelas Ros rapuh, mengurus tubuh seksinya, dan membau lubang kemaluannya.
Kemudian dirinya sengaja memilih mati di sisi kuburan anjing buduk yang pernah ia bunuh dengan tiga peluru dua di matanya, dan satu tepat kepalanya.
Serang, Januari 2021
Penyelaras aksara: Agustinus Rangga Respati
Foto sampul: 席子 (Xi Zi)