Beberapa Pertanyaan tentang Kesyenian: Kumpulan Puisi Erhan Al Farizi

Tiga puisi berjudul Beberapa Pertanyaan tentang Kesyenian ditulis oleh Erhan Al Farizi. Seorang penulis yang telah menerbitkan buku puisi berjudul “Bagaimana Mengubah Rasa Sakit Menjadi Sense of Art: Sebuah ̶T̶u̶t̶o̶r̶i̶a̶l̶” (2023).


Beberapa Pertanyaan tentang Kesyenian #1

Oleh kawan masa kecil,
“Apa persamaan mimpi dan puisi?”
Mereka sama-sama tidak menghidupi manusia
Tapi mereka memanusiakan hidup

Oleh kawan masa kecil,
“Apa persamaan tukang puisi dan nabi?”
Keduanya sama-sama menyusuri jalan sunyi:
Sepanjang hayat nabi dijanjikan surga,
Hidup tukang puisi tidak pernah menjanjikan

Oleh kawan masa kecil,
“Apa puisi sanggup menyelamatkan dunia?”
Puisi tak menyelamatkan apa pun
Bahkan, ia tak sanggup menyelamatkan penyairnya

Kerjo, Mei 2024

Beberapa Pertanyaan tentang Kesyenian #2 

bila esok, maut mengelus leher kapasmu,
leher perawan yang tak pernah memerah itu,
kiranya, hidangan apa yang kali terakhir
kauhendaki?

“secangkir puisi!”

barangkali:
puisi ialah anggur
yang menjaga mabukmu 
melupakan dosa terpandir

atau barangkali:
puisi ialah susu
yang membantu menyadarkanmu
merabai lagi ingatan masa kanak
dan memulangkanmu dari pengarnya
ludah orang dewasa,
ludah tuan tanah,
ludah jalanan kota

kita kais lagi puisi dari reruntuh kota
sebab puisi berjanji hadir di mana saja
sedang Tuhan, 
masihkah Kau hadir bersama orang kalah?

kita kemasi saja ceracau ini
sebab Tuhan telah hadir lewat sabit Izrail
yang tak pernah terlambat menghampiri

jadi, secangkir puisi rasa anggur atau rasa susu, nona?
jadi sebenarnya, Kesyenian itu memabukkan atau justru menyadarkan?

Kerjo, Mei 2024

Beberapa Pertanyaan tentang Kesyenian #3

Sebuah makhluk bereinkarnasi
sial, ditakdir hidup sebagai puisi.
Di kehidupan sebelumnya, ia
jalani dosa-dosa sebajingan apa?

Konon, 
ia lahir dari persetubuhan antara 
khamar dengan sumpah serapah,
malam-malam biru paling kalah
di pelukan rumah bordil.
Di dunia ini, langka sudah subsidi 
teruntuk kasih sayang juga empati.

Lantas,
bayi puisi itu menggelandang
menuntut tahu siapa pencipta awan,
siapa pencipta hujan, dan
siapa peramu air mata

Bayi sekecil itu 
menanggung bumi
di punggungnya.
Dan menguarkan
suara zaman
mewujud tangisan.
Hanya tangisan.

Sebab bahasa, 
bahasa telah membangun peradaban.
Karena peradaban, 
peradaban telah membangun perang 
dan perbudakan.

Wahai Kesyenian, 
masihkah kau menagih surga di muka bumi?

Kerjo, Mei 2024


Penyelaras aksara: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Erhan Al Farizi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

‘Find The Way’ Vurther: Upaya Menyiasati Kegamangan

Next Article

Pesantren Tri Mulyo Jati: Pengembangan Bakat, Preservasi Seni, dan Budaya Lokal