Berkunjung ke Pemutaran Film Dokumenter Biennale Jogja: Alih Wahana Baru Kerja-kerja 10 Tahun Ekuator 

Film dokumenter penting untuk kerja-kerja pengarsipan Biennale Jogja yang selama ini jarang bisa dibuka ke publik.

Bagi warga seni atau yang selama ini mengikuti perjalanan dari salah satu perhelatan seni bergengsi terbesar kota istimewa pasti tidak asing dengan Biennale Jogja. Apalagi sejak tahun 2011 yang lalu, Biennale mengukuhkan diri sebagai pameran berskala internasional kolaborasi antarbangsa seperti negara India, Arab, Nigeria, Brazil, Asia Tenggara dan Oseania. Meskipun pameran Biennale Jogja diselenggarakan setiap 2 tahun sekali, program-program publik juga tetap berlangsung sembari mempersiapkan pameran besar yang akan diselenggarakan di Oktober 2023. Pameran Biennale yang identik dengan tahun ganjil, kedepannya akan berbeda karena mengusung lanjutan dari seri ekuator yang sebelumnya. 

Kali ini Biennale mengadakan screening film dokumenter yang dihadirkan untuk melihat kembali pengalaman para volunter yang selalu diregenerasi dan menelusuri pendapat dari kalangan akademik tentang hubungan kegiatan apresiasi seni dengan kegiatan belajar mengajar. Sutradara film ini mewawancarai manajer program serta peserta kegiatan yang melibatkan sekolah. 

Dua film dokumenter ini bertajuk Biennale Jogja-Pendidikan dan Apresiasi Seni dan Biennale Jogja-Wahana Kaum Muda. Film dokumenter yang merupakan seri lanjutan dari film sebelumnya ini disutradarai oleh Putri Harbie. Putri merupakan lulusan Sinematografi Universitas Multimedia Nusantara, pernah menjadi asisten manajer pameran Biennale Jogja XV Equator #5 2019, ko-kurator Asana Bina Seni 2020 dan Asisten Kurator Biennale Jogja XVI #6 2021. 

Perjalanan pertama saya diawali dengan mengikuti proses screening di Universitas Diponegoro, Senin 5 Desember 2022 yang lalu, pemutaran film berjudul Biennale-Wahana Kaum Muda ditayangkan dengan disertai diskusi di Ruang Sidang, Gedung D, Departemen Antropologi, Universitas Diponegoro, Semarang. Acara ini dihadiri oleh lebih dari 40 peserta yang terdiri dari civitas academica Departemen Antropologi dan peserta umum. 

Film berdurasi 30 menit ini bercerita tentang wawancara Putri dengan para volunter dan pemagang yang pernah terlibat dalam pameran Biennale Jogja seri Ekuator disertai dengan arsip-arsip video dan foto. Cast film ini antara lain Alia Swastika, Jundan Aries, Robertus Panggah, Anggita Feby, Vattaya Zahra, Fuji Riang Prastowo, dan Ladija Triana Dewi. Narasumber ditanya mengenai pengalaman mereka menjadi bagian dari keluarga besar Biennale Jogja dan kembali mengingat memori-memori selama pernah bekerjasama. 

Setelah menonton, acara dilanjutkan dengan diskusi bersama narasumber Putri Harbie (sutradara), Adin Hysteria (co-founder Hysteria), Izmy Khumairoh (Dosen Antropologi Sosial Universitas Diponegoro), dengan dimoderatori oleh Nabila (Mahasiswa Antropologi). Selama sesi diskusi, Adin kembali menceritakan tentang pengalamannya saat menjadi manajer pameran di Biennale Jogja tahun 2011. Ia berkali-kali mengucapkan apresiasi tinggi atas kepercayaan Biennale Jogja untuk anak muda yang belum memiliki pengalaman untuk ikut andil dalam acara besar, bahkan langsung diminta untuk mengambil posisi yang penting saat itu.

Menurut Adin, volunter yang dulunya bekerja bersama dengannya sudah menjadi tokoh penting di Jogja, sebut saja seperti penulis, dosen, pekerja seni, dan seniman. Begitu juga dengan salah satu program Biennale yaitu Asana Bina Seni yang menurutnya hari ini menjadi tempat tumbuh subur kolektif-kolektif di Jogja. Merangkul anak muda untuk bergabung membuat Biennale Jogja tidak kekurangan sumber daya personal maupun komunal. Pernyataan ini diperkuat oleh tanggapan Putri atas pertanyaan moderator mengenai alasan Biennale menerima mahasiswa sebagai magang dan volunter, yaitu ingin terus regenerasi dan beradaptasi dengan dialog-dialog anak muda hari ini. 

Pada diskusi ini, Izmy banyak mengaitkan anak muda, garis ekuator, dan ilmu antropologi. Kesenian amat lekat dengan dunia antropologi terlebih merupakan salah satu dari 7 unsur-unsur kebudayaan. Begitu juga dengan pola-pola perilaku manusia yang menjadi objek penelitian setiap antropolog. Izmy berpendapat, perilaku pengunjung saat sedang berada di ruang pameran menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Ia juga ikut mengapresiasi salah satu pernyataan gallery sitter dalam satu scene film dokumenter yang menyatakan bahwa, “Kami ini bukan satpam tapi edukator, kami mengedukasi setiap tamu yang datang untuk menghargai karya seni,” menurutnya pernyataan ini sangat antropologis sekali. 

Sepuluh hari setelah pemutaran film dokumenter pertama, saya juga turut menonton dan menyaksikan diskusi screening film dokumenter dengan tajuk Olah Arsip Biennale Jogja, Pendidikan & Apresiasi Seni Publik dengan narasumber Putri Harbie, Karen Hardini (Manajer Program), dan Dr. Hajar Pamadhi, M.A., Hons. (Pakar Pendidikan Seni, Dosen dan Kurator) dimoderatori oleh Kharisma Creativani (Dosen Pendidikan Seni Rupa UNY). 

Film berdurasi 25 menit ini menampilkan cast: Alia Swastika, Ladija Triana Dewi, Karen Hardini, Irham Nur Anshari, Tien Agustina, dan Vattaya Azzahra. Pemutaran film berlangsung pada Kamis, 15 Desember 2022 di Ruang Cinema, Museum Pendidikan Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta, dihadiri oleh 115 peserta yang terdiri dari Mahasiswa Pendidikan Seni Rupa UNY, dosen, dan peserta umum. Saya melihat antusiasme peserta yang melebihi ekspektasi panitia. 

Dalam diskusi terbuka ini Putri menyampaikan bahwa film dokumenter penting untuk kerja-kerja pengarsipan Biennale Jogja yang selama ini jarang bisa dibuka ke publik, dalam kesempatan ini juga Biennale ingin menampilkannya dalam format-format terbaik. Selama proses pembuatan film, Putri mendapatkan pengalaman menarik yang selama ini tidak ia dapatkan meskipun kerap berpartisipasi 3 kali penyelenggaraan Biennale Jogja. Melalui kesempatan membuat film dokumenter ini, Putri lebih mengerti seperti apa pandangan orang luar tentang Biennale Jogja. 

Karen Hardini sebagai Manajer Program Biennale Jogja berpendapat bahwa alasan mengapa arsip-arsip ini harus di-highlight karena Biennale menghadirkan ruang-ruang yang berbasis edukasi dengan berbagai macam alih wahana, salah satunya melalui minecraft yang ia juga ikut andil di dalamnya tahun 2021 yang lalu. Biennale Jogja dalam membuat terobosan sebagai ruang pendidikan yang penting bagi sekolah, kampus, dan akademisi dunia seni sudah dilakukan sejak lama. Karen memaparkan tentang kerja-kerja edukasi bersama para guru SMA, SMK, murid SD, dan beberapa tahun sebelumnya sudah membuat kids corner untuk pameran Biennale yang dilangsungkan di Jogja National Museum.

Terasa seperti sedang ikut kuliah umum, saya mendapatkan pengetahuan baru dari pemaparan dan slide presentasi oleh Hajar Pamadhi, seorang pakar seni rupa ini menjelaskan bahwa seni tidak hanya sekadar ekspresi manusia, seni terdiri dari 3 struktur yaitu fisik, sistem, ide, dan Biennale masuk ke dalam struktur ide. Konsepsi ide ini penting sekali dan Biennale Jogja cenderung ke unsur ideologinya. Hajar Pamadhi mengakhiri diskusi dengan yang mengangkat quotes Ki Hajar Dewantara “Ambuka Raras Angesti Wiji”, sekaligus mempertegas seni adalah pendidikan, pendidikan adalah seni. 

Screening film dokumenter ini menurut saya berhasil memperkenalkan Biennale ke masyarakat yang lebih luas, terlihat dari antusiasme dan respons yang baik oleh pihak-pihak yang terkait. Harapan kerjasama yang baik kedepannya juga disampaikan para narasumber dari dua kampus ini kepada Biennale Jogja untuk masa depan seni, ranah antropologi, pendidikan yang terbaik. 

Editor: Tim SudutKantin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts