Setiap minggu aku selalu mengunjungi koi-koi di kolam ini. Mereka sangat baik dan ramah. Mereka juga simpel, tidak seperti Romo di gereja yang selalu berbicara tentang Yesus yang tidak bisa ku pahami. Memang Yesus itu baik, kata Mamak, tapi aku tidak pernah melihatnya. Jika aku menanyakannya kepada Mamak pasti aku langsung dicubit.
Hal itu lah yang membuatku cinta ikan koi. Mereka tak pernah mencoba mencubitku. Jika aku mencelupkan jariku, mereka akan mendekat dan membuka mulutnya seperti ingin melahapku bulat-bulat. Nyatanya tidak, mereka mencium jariku.
Aku sering bercerita banyak hal kepada koi-koi di sini. Salah satunya tentang temanku Gio yang selalu tidak mau membagikan biskuit coklatnya, padahal ia selalu bawa dua. Aku cuma punya satu. Rasanya ingin ku pukul dia seperti Ultraman memukul monster, tapi tidak jadi karena perlahan aku sadar bahwa Ultraman itu bodoh. Dia selalu mengutamakan pukulan dan jurus-jurusnya tanpa mendahulukan bicara. Siapa tahu monster itu ternyata cuma jalan-jalan saja di bumi. Ukuran manusia yang terlalu kecil membuat dia tidak sengaja menginjaknya.
Koi-koi di kalam ini tidak biasa. Tidak seperti ikan mas di rumah, ikan koi ini besar tetapi tidak gegabah. Mereka berenang bagaikan orang tidur hanyut. Kolam ini juga indah. Meski lumut lumut di bebatuan kadang kurang ajar karena membuatku terpeleset.
Selain karena suka melihat ikan, hal yang aku suka di sini adalah bisa melamun sesukaku. Tidak seperti di rumah apalagi di gereja. Di rumah ada TV jadi aku bisa melamun sambil menontonnya. Di gereja, orang terlalu bising. Sangat jarang sekali ada keheningan. Misal ada, pasti ada orang iseng yang tiba-tiba membunyikan lonceng atau gong. Di dalam sana juga capek. Tidak pernah konsisten untuk duduk atau berdiri. Sedikit-dikit menyanyi, padahal aku benci menyanyi, terlebih ketika Elsa menertawakanku ketika aku bernyanyi Pelangi-pelangi.
Aku juga tak pernah paham mengapa setiap minggu aku harus ke sini dan melakukan aktivitas yang sama persis. Jika tak ada ikan koi pasti aku sudah merengek pulang sampai mukaku penuh ingus.
“Maaf ikan. Kali ini aku lupa bawa pelet.”
Hari ini Mamak juga tidak ikut. Badannya panas. Karena itu aku dan Bapak agak terlambat dan duduk di depan. Aku lebih suka di sebelah kanan belakang seperti biasanya. Di sana lebih dekat untuk keluar. Untungnya aku tetap bisa keluar. Aku hanya perlu bilang ke Bapak.
“Pak, ikan.”
“Jangan lama-lama,” jawab Bapak. Aku langsung berlari ke luar untuk beberapa saat. Ada orang yang menatapku dan menyuruhku untuk pelan-pelan, mungkin karena iri.
Dari kecil banyak yang bilang aku indigo, jenius, berbakat dan sebagainya. Akan tetapi tak jarang juga mereka mengiraku aneh karena aku berbicara sendiri atau ketika aku melakukan sesuatu yang mereka benci. Memangnya salah berbicara dengan diri sendiri? Itu normal. Mereka yang aneh karena sangat asing dengan diri mereka sendiri. Mereka suka sok akrab terhadap suatu hal yang mereka sukai, bahkan terhadap hal yang tidak ada.
Dari kecil juga aku paham bahwa tidak ada yang jahat. Awalnya aku benci tikus got karena sering mengagetkanku dan memakan jajanan di warung Bapak. Bapak pun akhirnya memasang perangkap. Besoknya tikus itu tertangkap! Bapak langsung menyiramnya dengan bensin dan membakarnya. Bapak adalah pahlawan bagi anak-anak di sini ku pikir.
Tak lama pikiranku berubah dan aku kecewa. Hal ini muncul ketika aku menemukan mayat anak tikus yang masih merah. Ternyata Bapak sudah membunuh ibu tikus ini. Aku sempat membenci Bapak. Akan tetapi setelah beberapa hari kebencian itu hilang. Aku paham bahwa bapak dan ibu tikus sama-sama melakukannya untuk anaknya.
Kupingku sakit. Baru saja aku mendengar suara seperti satu juta balon meledak di gereja. Aku melihat asap di bagian kanan belakang. Orang-orang berlarian seperti lubang semut yang aku kencingi kemarin. Bedanya mereka kabur dari api. Api yang besar.
Bapak juga termasuk di antara mereka. Bapak berlari kepadaku dengan wajah tegang. Dia langsung menarikku. “Sebentar pak,” kataku. Bapak tidak peduli. Aku jadi tidak sempat berpamitan kepada ikan-ikan koi.
Aku bingung. Mengapa kita pulang lebih awal? Mengapa kita semua sangat takut akan api dan suara bising? Menurutku itu tidak beda jauh dengan api kompor dan bising jalanan. Tapi lama-lama aku tidak peduli karena aku senang pulang duluan. Aku jadi bisa menonton kartun lebih awal.
Senyumku perlahan menurun. Ternyata tidak semua orang senang menonton kartun lebih awal. Apalagi bapak-bapak itu yang menangis di antara dua orang yang membopongnya karena kakinya putus. Orang itu menangis. Meski di luar gereja dia tetap memanggil-manggil Yesus. Mungkin karena dia sudah benar-benar akrab dengan Yesus, tidak sepertiku.
Orang buntung itu bukan satu-satunya. Banyak orang lain yang kehilangan salah satu bagian tubuhnya, komplit dengan darah yang bercucuran. Aku biasa saja melihatnya. Aku sudah sering melihat darah dari kijang yang dicabik cheetah di TV. Sebuah hal yang normal untuk makhluk hidup.
Bapak langsung menginjak pedal vespa. Aku naik di depan. Kami pun pulang gereja seperti biasa di hari Minggu.
Penyelaras Aksara: Arlingga Hari Nugroho
Foto: HUSSEIN MALLA/ASSOCIATED PRESS