Di tengah gempuran adu playlist, bagi saya genre musik dangdut masih dan akan terus menjadi musik yang paling berwarna sekaligus jujur. Musik dangdut seolah menjadi cermin bagi mereka yang ingin berkaca melihat kondisi masyarakat. Masyarakat yang heterogen dengan rupa-rupa kelakuan dan kebiasaan.
Dangdut merupakan anak karya yang lahir dari keresahan untuk kemudian dirayakan bersama-sama dalam momen yang penuh keresahan pula. Musik dan liriknya selalu hadir dengan kesederhanaan, eksplisit, dan jauh dari terka-terki serta interpretasi. Singkatnya, dangdut adalah suara kejujuran!
Beberapa tahun belakangan dangdut memang seperti punya tempat kembali di hati masyarakat luas, utamanya anak muda. Saya menandai keramaian ini setelah acara Ngobam Gofar Hilman bersama Didi Kempot dan beberapa festival musik dangdut yang pada kenyataannya ramai dipenuhi anak muda.
Beberapa tahun belakangan ini dangdut hadir dengan tema-tema cinta dan patah hati guna memenuhi hasrat muda-mudi mletre nan ingah-ingih—seperti saya. Namun tak apa-apa, toh pada kenyataannya dangdut lebih kaya daripada yang kita duga.
Dangdut sebetulnya punya frekuensi tema yang lebar dan dalam. Jangan salah, tema-tema sosial dan laku hidup keseharian seolah dilukis dengan begitu realis dalam lagu-lagu dangdut. Selain tema yang variatif, kali ini saya akan memberikan dua referensi musisi dangdut yang cukup unik.
Unik dalam arti beda dari biasanya baik itu musik maupun muatan lirik. Semoga bisa menambah khazanah perdangdutan Anda!
Lirik yang Begitu Apa Adanya
Pil Koming, nama ini saya temukan tidak sengaja dalam proses blusukan di kanal YouTube. Saya menemukan satu video berdurasi 40 menit berjudul “Memories of Pil Koming”. Kesan pertama mendengarkan yang muncul adalah dangdut lawas dari daerah ibukota.
Penasaran, saya meluncur ke Google untuk mencari info lengkapnya. Sayangnya, tidak ada informasi lebih lanjut selain nama label yang menaunginya, yaitu Insan, Windu Angkasa Audio, beserta kumpulan lagu-lagunya di website Irama Nusantara.
Akhirnya, saya memutuskan untuk memutar beberapa lagu lain yang ada. Menikmati dari satu track ke track lain. Memerhatikan judul-judul lagunya yang unik, mencolok, dan berbau komedi. Sama seperti lirik-liriknya.
“Kamu kebanyakan minum teh botol // Teknik bodoh dan tolol”
Begitulah kiranya salah satu penggalan lirik lagu dengan judul Teh Botol yang berhasil membuat saya menyunggingkan senyum di tengah alunan kendang yang kental dengan “dang” dan “dut“.
Meskipun terkesan penuh banyolan, lagu-lagu Pil Koming juga sarat akan nasihat. Sebuah pesan dalam salah satu lagu berjudul Pil ini menjadi pengingat bagi kita yang mungkin sedang mentok menghadapi kehidupan.
“Alkohol dan ganja bukan obatnya // Untuk melepaskan diri dari kesulitan hidup ini”
Di YouTube, saya berupaya mencari tahu asal muasal serta informasi lengkap mengenai Pil Koming dan lagu-lagunya ini. Hanya saja semua berhenti di info dari kolom komentar yang mengatakan mereka serasa bernostalgia dengan kehidupannya di era 80-an. Maka, mungkin saja lagu atau album Pil Koming ini rilis atau nge-hits di medio 80-an.
Bagi Anda yang gemar mendengarkan lagu dengan memerhatikan lirik sebagai bumbu utamanya, barangkali Pil Koming perlu masuk dalam daftar antre lagu. Sebab dirinya bukan hanya bernyanyi, tetapi bercerita dengan iringan alunan kendang dan instrumen dangdut lain yang menciptakan mahakarya.
Dedy Pitak, Suara Pembangunan dari Purbalingga
Bergeser ke daerah ngapak atau lebih tepatnya kabupaten Purbalingga, sosok Dedi Pitak muncul dengan musik dangdutnya yang khas. Selain karena berbahasa ngapak, lagu-lagunya juga hadir dengan cerita-cerita lokal khas Purbalingga.
Beberapa judul lagunya seperti Duku Kalikajar, Sumanto, dan Owabong yang mana itu semua kalau bukan nama tempat di Purbalingga adalah sesuatu yang fenomenal di Purbalingga. Sumanto misalnya, sosok yang pernah viral pada masanya karena memakan mayat. Owabong atau Obyek Wisata Bojong Gede adalah tempat wisata air yang ada di Purbalingga.
Sama seperti Pil Koming, lirik-lirik lagu Dedi Pitak juga sangat deskriptif dan eskplisit menggambarkan suasana, perasaan, dan kondisi obyek/subyek lagu. Di salah satu lagunya, Prawan Pabrik, Dedy Pitak bahkan berhasil menangkap kebiasaan para buruh pabrik, termasuk perihal utang-utangan.
“Sing anyaran saben sabtu pada bayaran // Sing wis lawas gajiane bulanan // Sing duwe utang pada kena potongan” (Yang baru setiap Sabtu gajian // Yang sudah lama gajiannya bulanan // Yang punya utang kena potongan)
Di lagu lainnya, Patung Knalpopt Sayangan yang saya dengar dan tonton dari akun YouTube DP Studio Production, Dedy Pitak juga menceritakan tentang ciri Purbalingga sebagai daerah penghasil knalpot. Tentang kebiasaan masyarakat yang sudah lama bahkan hingga kemunculan patung pembuat knalpot.
“Dasare wong Sayangan penguripane // Gawe knalpot kompor dandang lan gamelane // Awit gemiyen nganti tekan sekiyene // Gawe Purbalingga kaya Jepang nang Indonesia” (Memang penghidupannya orang Sayangan // Membuat knalpot, kompor, dandang, dan gamelan // Dari dulu sampai sekarang // Membuat Purbalingga seperti Jepang di Indonesia)
Meskipun lagunya sangat bernuansa lokal, bukan berarti pendengarnya hanya akan warga Purbalingga saja. Kenyataanya masyarakat kabupaten sekitar seperti Cilacap, Tegal, Banjarnegara, hingga Kebumen juga ikut mendengarkan. Barangkali sesama rumpun ngapak merasa masih relate.
Pada akhirnya, Pil Koming dan Dedy Pitak menjadi bukti akan kekayaan variasi dangdut Nusantara. Saya yakin masih ada banyak dangdut-dangdut lainnya yang mungkin belum kita kenal dan menyimpan banyak kejutan untuk didengarkan. Maka, sepanjang napas memberikan umur kehidupan, kita masih bisa riang berjoget dangdutan.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Irama Nusantara
