Media sosial adalah salah satu model wacana kapitalisme yang dapat membentuk komunikasi secara tulisan dan lisan. Tidak sedikit orang maupun organisasi yang menggantungkan hidupnya pada media sosial, entah untuk kegiatan sosial atau bisnis. Tak luput juga, media sosial secara tidak langsung membuka peluang untuk berpolitik.
Menjelang tahun yang mulai agak memanas ini, tentunya para capres-cawapres bakal aktif menyampaikan angan-angannya (alias: adu umuk) demi memenangkan Pemilu 2024. Mereka juga akan memperalat media sosial sebagai salah satu ladang konten untuk membangun citra dan menyampaikan pesannya. Termasuk juga, akun-akun buzzer, influencer, motivator, atau siapa pun itu yang menciptakan wacana pada media sosial.
Maka perlu disadari bahwasanya di balik pesan-pesan pada konten media sosial seperti mengandung berbagai mitos tersembunyi. Sementara mitos itu sendiri bagaikan sistem simbolik yang membawa muatan ideologis dan cenderung mendukung kepentingan pribadi atau kelompok berkuasa. Oleh karena itu, lewat konten citra yang bertebaran ini akan ada banyak tanda yang semestinya diperhatikan dengan jeli.
Sebab jika tidak memaknai tanda-tanda tersebut dari sosok “pembuat tanda” akan memungkinkan banyak persoalan yang tejadi. Pertama, munculnya kepercayaan buta pada representasi, yang di mana seseorang tidak memiliki pemahaman tentang bagaimana representasi dan tanda-tanda bekerja. Sehingga seseorang cenderung mudah mempercayai representasi dan citra tanpa mempertanyakan apakah citra tersebut mencerminkan realitas yang sebenarnya.
Kedua, konsumsi berlebihan yang tidak sadar, yang di mana seseorang cenderung mengonsumsi konten tanpa mempertimbangkan bagaimana konten tersebut diproduksi atau apa pesan yang disampaikan dibaliknya. Pada akhirnya, seseorang tersebut bisa mengalami sensasi berlebihan ketika menghadapi citra dan representasi.
Ketiga, mudah terpengaruh oleh norma sosial dan budaya. Dalam konteks ini, seseorang rentan menciptakan citra ideal atau standar yang berlebihan. Sehingga terbentuknya mental yang tidak pernah puas dengan dirinya sendiri karena terlalu membandingkan citra-citra yang ditonton melalui media sosial.
Hipersemiotika: Enam Tanda
Agar mengetahui bias tanda-tanda yang telah diproduksi, kajian hipersemiotika merupakan senjata untuk mengurai sebuah konten media sosial. Pada buku Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna karya Yasraf Amir Piliang (2003 : 52) menyebut, hipersemiotika adalah ilmu tentang produksi tanda yang telah melampaui realitas sehingga membentuk dunia hiperrealitas.
Sebetulnya kajian hipersemiotika diperkenalkan oleh seorang filsuf Prancis, bernama Jean Baudrillard. Ia menjelaskan, tanda-tanda yang muncul merupakan konstruksi sebagai komoditi dalam wacana kapitalisme. Jadi menuntut adanya pengemasan pesona (fetishism), kejutan (surprise), provokasi, dan daya tarik (eye catching) sebagai logika komoditi itu sendiri (Piliang 2003 : 51). Maka kemasan tanda-tanda tersebut dapat dikatakan hiperrealitas, karena sudah hilangnya kontak dengan realitas yang direpresentasikan. Berikut klasifikasi tanda-tandanya yang perlu diperhatikan (Piliang 2003: 53-58):
Tanda Sebenarnya
Tanda ini pada dasarnya digunakan dalam kajian semiotika, karena memiliki hubungan yang cukup simetris dengan konsep atau entitas yang direpresentasikan. Misalnya terdapat tanda [A] maka sudah jelas realitasnya juga menggambarkan [A]. Jadi ia merupakan tanda yang mengunkapkan konsep atau makna yang sebenarnya. Dengan kata lain, membentangkan kebenaran menjadi refleksi dari realitas, dan mewakili pemahaman bersama.
Tanda Palsu
Tanda palsu yakni tanda gadungan, tidak tulen, berpretensi yang mana di dalamnya terjadi reduksi realitas. Biasanya tanda ini kerap terjadi di era digital sekarang. Katakanlah, terdapat tanda [A] namun mengatakannya [A’]. Jadi apa yang ditampilkan sebuah peristiwa (berupa konten) ini seakan-akan merupakan kebenaran di dalam realitas, padahal isi konten tersebut hanya hasil rekayasa citra dan imagologi. Di sini, hoaks sudah mulai menampakan diri.
Tanda Dusta
Tanda ini digunakan untuk menyembunyikan suatu entitas atau realitas sebenarnya. Secara sederhananya, terdapat tanda [A] akan tetapi malah digunakan untuk menjelaskan realitas yang sesungguhnya adalah [B]. Dalam hal ini, sosok pembuat tanda sudah terlihat absurd. Sebab yang semestinya menyampaikan pesan yang sebenarnya, namun malah disalahgunakan untuk menjelaskan pesan yang tidak tepat atau di luar konteks.
Tanda Daur Ulang
Tanda yang telah digunakan untuk mejelaskan peristiwa masa lalu (dalam konteks ruang, waktu, dan tempat), namun digunakan untuk menjelaskan peristiwa masa sekarang (yang padahal kondisinya sudah berbeda atau malah tidak ada sama sekali). Semisal tanda [A] dalam konteks ruang-waktu [A], namun digunakan untuk menyampaikan konteks ruang-waktu [B]. Ringkasnya, di sini terjadinya semacam proses dekontekstualisasi tanda, yang di mana tanda-tanda masa lalu atau makna aslinya sengaja dikosongkan; lalu diisi ulang dengan makna-makna yang diasumsikan lewat tanda daur ulang tersebut.
Tanda Artifisial
Tanda yang sengaja dihasilkan melalui rekayasa teknologi citraan mutakhir (teknologi digital, grafis komputer, simulasi), yang bahwasanya tidak memiliki referensi pada realitasnya. Tanda-tanda ini juga dikenal sebagai tanda buatan atau tidak alamiah. Dengan kata lain, sepenuhnya tidak menggambarkan realitas di luar dirinya (tanda virtual), melainkan ada untuk eksistensi sendiri.
Tanda Ekstrim
Tanda yang ditampilkan untuk menonjolkan efek modulasi pertandaan dan makna yang jauh lebih besar daripada realitasnya. Layaknya intensifikasi efek dan ekstrimitas makna. Gambarannya, terdapat tanda [A’’’] namun digunakan untuk menjelaskan realitas yang sesungguhnya tak lebih dari [A]. Maka di sini sudah terjadi semacam efek penggandaan makna yang terkesan hiperbolis dan superlatif.
Melalui keenam tanda itu sudah selayaknya menjadi sebuah konsekuensi yang mesti dihadapi di zaman sekarang. Benar adanya, media sosial bagaikan pisau bermata dua apabila tidak mencoba menelaah lebih dalam lagi terkait konten-konten yang ada. Tentu untuk menyikapi persoalan ini penguatan literasi adalah modal utamanya. Hal ini bermaksud agar tidak mudah terhanyut atas rekayasa citra yang telah dibentuk.
Mencoba skeptis, mempertimbangkan sudut pandang dari sumber yang berbeda, lalu mengendalikan konsumsi saat menyimak konten merupakan sebuah keharusan sekaligus tanggung jawab setiap individu. Pada dasarnya, kita tidak bisa menghidari keenam tanda itu namun setidaknya kita bisa mengurainya.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: freepik/master1305
1 comment