Sabtu, 3 Februari 2024, berlokasi di Bakudapa Cafe Yogyakarta terdapat panggung musik bertajuk Brang Breng Brong Vol.5. Panggung atau wahana musik yang dikelola oleh Dugtrax Records ini kembali hadir dengan semangatnya yang nge-punk.
Konsep acara punk rock show kali ini masih kembali menggunakan aturan sebelumnya, yaitu dianjurkan untuk menciptakan ruang aman dan nyaman bagi siapapun. Adapun sederet aktivasi simultan yang ditampilkan dalam wahana Brang Breng Brong Vol.5 antara lain sedot lagu secara bebas-gratis-legal, jual beli maupun barter merchandise, dan rilisan fisik. Satu hal yang mungkin agak lain di acara ini tapi sering terjadi dalam tren acara gigs adalah sablon kaos secara langsung. Kerja keras ini juga adalah bagian dari sikap punk dengan semangat Do It Yourself serta saling dukung agar gigs tetap hidup dan terus berlangsung.
Acara mulai dengan semua pernak-pernik yang sudah dikemas sedemikan rupa dan tentu saja raw. Setibanya di lokasi, saya langsung bergegas masuk ke wahana Brang Breng Brong. Denting bunyi botol beer tidak lagi menjadi suara khas saat saya memasuki wahana. Sorotan mata ini langsung tertuju ke panggung acara, persisnya sisi paling pojok. Di sana sudah tersedia set meja berselimut kain bergambarkan lambang Sukatani.
Line-up band yang manggung di Brang Breng Brong Vol. 5 kali ini ada SPAD, Viva City, The Glad, Berkah Liar, dan Sukatani. Nama terakhir adalah band yang paling saya tunggu untuk segera tampil. Rasa penasaran ini tidak lepas semenjak mereka merilis album “Gelap Gempita” pada Juli 2023. Kemudian disusul musik video mereka berjudul Alas Wirasaba yang ora ngapak ora ngepunk menjadi single penuh refleksi dan otokritik.
Sukatani merupakan band Duo/Post Apocalyptic Music asal karesidenan Banyumas, Purbalingga sejak 2022. Singkat cerita band ini berangkat dari hasrat bermusik Ovi a.k.a Twister Angel (vokal) tentang perjuangannya sebagai buruh. Ovi tak mampu meredam hasrat bermusiknya untuk menyuarakan keresahan sosial yang terjadi di sekitarnya. Kemudian bertemu dengan Al a.k.a Alectroguy (gitar) membuat mereka serius untuk menggarap lagu berjiwa street punk dengan sentuhan electronik dan vokal khas ala hardcore.

Dalam setiap aksinya, duo ini selalu tampil totalitas dengan busana identitas punk. Gaya yang mereka kenakan tidak lain adalah sebagai bentuk simbolik pemberontakan ala Sukatani. Begitupun dengan pemakaian balaclava yang mereka pakai, selain menjadi gimmick di panggung, topeng tersebut adalah bentuk anonim yang bisa diwakili oleh siapa saja yang ingin menyuarakan semangat juang yang Sukatani kerjakan.
Melalui media seni musik yang mereka geluti, Sukatani menyuarakan bagaimana pentingnya untuk menyampaikan aspirasi dalam bentuk hal apapun. Tiga opini mereka terhadap musik antara lain: sebagai alat pembebasan dalam bentuk lirik maupun bentuk suara instrumen penuh makna, sebagai alat berpikir secara mandiri maupun dalam menghasilkan buah pemikiran, dan kemudian sebagai alat pembebasan dari hawa nafsu kejahatan.
Penantian saya akhirnya terbayarkan setelah menyaksikan mereka secara langsung. Sejak awal Sukatani memasuki panggung, pandangan ini tak henti untuk melihat setiap aksi yang akan terjadi. Seolah sekejap saja melewatkan Sukatani akan jadi masalah saat pulang setelah gigs selesai. Kemudian saat bendera Sukatani sudah terpanpang di dinding panggung, saat itulah wahana Brang Breng Brong dikuasai rasa semangat dan kehebohan. Banyak pengunjung dengan rasa antusias kemudian merapatkan barisan dan bersiap menerima sajian dari Sukatani.
Mulai saat intro masuk, sentuhan musik elektronik sudah menjadi nada pembuka yang khas. Duo balaclava itu menjadi penampil paling duar nan war wer wor. Aksi mereka di panggung benar-benar membawa dampak yang begitu asyik juga kritis.
Memainkan musik Post-Punk dengan sensibilitas New Wave, Sukatani berhasil membawa keceriaan di panggung Brang Breng Brong vol. 5. Iringan Synth-Pop, nada Gothic-Rock, juga kritik pedas yang mereka bawakan mampu menyihir para audiens untuk tetap terus berdansa tanpa henti. Di tengah mereka manggung, Sukatani juga menyelipkan sedikit harapannya untuk bisa melihat band AMOK manggung kembali dan berada di satu panggung acara bersama.
Suasana panggung semakin tampak chaos saat diwarnai pesta kostum. Beberapa pengunjung mulai melepas kaos dan kembali menggunakannya sebagai topeng. Tidak sedikit juga yang sudah membawa balaclava dan sudah berada dit engah-tengah kerumunan sebelum Sukatani manggung. Kemudian disusul dengan adanya kostum nyeleneh milik @enormousface membuat lantai dansa Sukatani makin meriah dan penuh kejutan.

Lantai dansa Sukatani makin menjadi hingar bingar saat lagu “Semakin Tua Semakin Punk” dimainkan. Lagu ini mengajak siapapun yang mendengarkannya untuk sadar bahwa setiap bertambah usia dan bertambahnya hari akan selalu ada buah pikiran dan persoalan yang tentu menguras tenaga. Segala tanggungan yang ada tersebut akan selalu ada ruang di mana butuh untuk diistirahatkan. Lalu panggung hiburanlah arena untuk melupakan segala emosinya.
Meskipun tampil dengan dialek adat Banyumasan, mereka tidak tampak cemen. Suara lantang dan semangat mengibarkan realita sosial dan lingkungan menjadi pondasi mereka untuk terus berkarya. Sukatani selain sebagai karya seni, mereka juga adalah bagian dari sekian banyak seseorang yang menyimpan kegelisahan dan meluapkan opini.
Lirik mereka juga adalah gambaran nyata akan situasi yang sampai sekarang ini masih belum tuntas, masih banyak yang mesti diperbaiki mulai dari kesadaran pribadi sampai ke birokrasi yang makin hari serba ruwet. Semua carut marut itu tidak serta merta sebagai halangan untuk terus bersyukur, bergoyang, dan menari bersama merayakan mosi tidak percaya atas semua kebijakan kapitalis.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Policlip Kolektif
