Dengan menawarkan sembilan indikator untuk menaksir harga lukisan, Mikke Susanto dalam buku Mengapa Sih Lukisan Mahal? telah berhasil membangun struktur berpikir yang jernih bagi siapa saja dalam menilai lukisan di kemudian hari.
Mengapa Sih Lukisan Mahal?
Pertanyaan itu juga terlontar beberapa tahun lalu ketika saya mengintip sebuah katalog pameran lukisan untuk pertama kalinya. Saya pikir, banyak juga pertanyaan serupa terlontar di mana-mana. Atau, barangkali tidak banyak orang yang tahu kalau benda seni yang satu ini bisa menyentuh angka yang tidak terduga.
Awalnya, saya berharap pertanyaan itu dapat dijawab singkat saja dalam obrolan lima menit, atau beberapa belas cuitan dalam rangkaian utas. Nyatanya, pertanyaan itu tidak sederhana. Buku karya Mikke Susanto ini secara mendetail cum runtut coba menjawab pertanyaan itu dengan hati-hati.
Seperti diakui Mikke Susanto sang penulis, buku ini memang dilatari penulisan disertasi. Namun, ia telah mengolah kembali isinya untuk lebih banyak mengkaji teori penetapan harga, alih-alih kritik terhadap kasus dan indikator penetapan harga. Dengan kata lain, buku ini dapat dengan nyaman pula dibaca oleh orang yang awan terhadap seni sekalipun.
Tulisan di dalam buku ini menuntun kita perlahan sambil menjawab di tengah jalan apa saja yang membuat lukisan mahal, atau membuat lukisan perlu dihargai dengan pantas.
Syahdan, buku ini diawali dengan cerita kurang lebih sedekade lalu saat Museum Puri Bhakti Renatama yang menyimpan koleksi benda seni istana harus tutup usia. Berdiri lebih dari 30 tahun, museum ini menyimpan 15.991 item koleksi istana. Setelah selesai dibongkar, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), Kementerian Keuangan Republik Indonesia kemudian mengadakan program Penilaian Aset Berupa Benda Seni Koleksi Istana Presiden.
Tujuan dari program ini adalah mengumpulkan informasi mengenai jumlah aset negara, yang di dalamnya terdapat benda seni di bawah Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia. Mikke Susanto saat itu didapuk sebagai salah satu narasumber dalam program berjangka dua tahun tersebut.
Penetapan harga ini nantinya juga akan berguna untuk acuan jaminan asuransi saat karya dipamerkan ke publik. Soalnya, asal tahu saja sebelumnya semua lukisan di istana negara hanya berharga Rp.0,- dan Rp.1,- saja.
Mikke Susanto menawarkan setidaknya sembilan indikator untuk dapat menaksir harga lukisan. Hal-hal yang bisa jadi acuan itu antara lain; reputasi perupa, publikasi, ide dan tema, riwayat karya, riwayat akuisisi, kondisi karya, ukuran, media/bahan, dan terakhir gaya/aliran. Publikasi jadi satu-satunya faktor yang berasal dari luar faktor personal dan faktor produk lukisan.
Dari sembilan indikator tersebut riwayat akuisisi mencuri perhatian saya. Riwayat akuisisi ini ternyata faktor penting dalam dunia seni rupa. Dalam kasus ini, lukisan yang dimiliki istana memiliki ukuran-ukuran tertentu perihal riwayat akuisisi ini. Tenyata lukisan yang berasal dari pertukaran, hibah, atau pesanan istana mesti dinilai dengan cara yang berbeda.
Lukisan dikatakan memiliki riwayat akuisisi istimewa, misalnya apabila lukisan tersebut merupakan warisan dari Presiden I, Ir, Soekarno. Salah satu indikasinya apabila lukisan tersebut masuk dalam buku koleksi Ir. Soekarno.
Catatan lain yang menarik dari buku ini mengatakan, lukisan dengan cat minyak di atas kanvas memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan penggunaan medium dan bahan lain. Belum lagi penggunaan varnish juga bisa masuk hitungan yang membuat sebuah lukisan memiliki nilai lebih tinggi. Tentu saja hal itu juga meliputi pemilihan pigmen warna sampai bahan perantara untuk melebur warnanya. Cat pada lukisan memiliki penilaian yang baik sekurang-kurangnya kalau dapat bertahan selama 50 tahun.
Meskipun demikian, tak jarang juga ditemui lukisan koleksi yang rusak. Penilaian terhadap lukisan rusak juga tetap dilaksanakan. Ada form yang disediakan khusus dengan indikatornya sendiri untuk menilai kerusakan lukisan. Beberapa indikator yang dinilai antara lain kepudaran warna, keretakan, kondisi kanvas, hingga kondisi bingkai yang digunakan.
Mikke Susanto menekankan, lukisan merupakan benda seni yang dihasilkan dari kebudayaan. Oleh karenanya, penilaian terhadap lukisan ini perlu diikuti dan didasari dengan pengetahuan budaya. Lukisan tenyata juga bisa masuk jadi benda cagar budaya.
Benda cagar budaya sendiri memiliki definisi sebagai benda alam atau buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.
Selain masuk dalam pengertian itu, setidaknya juga memenuhi suatu kriteria misalnya, berusia lima puluh tahun, mewakili masa gaya paling singkat 50 tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan kebudayaan, juga memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Dari beberapa paparan di atas, juga setelah melahap habis bukunya, Mikke Susanto telah berhasil membangun struktur berpikir yang jernih bagi siapa saja dalam menilai lukisan di kemudian hari. Buku ini tentu tidak saja menjadi pegangan bagi art dealer dan mahasiswa seni. Namun, merupakan buku bergizi juga bagi kaum awam demi meningkatkan apresiasinya kepada seni lukis. Jadi kala suatu saat ada yang bertanya kenapa sih lukisan mahal? Anda bisa dengan mudah mengulurkan buku ini untuk dibaca.
Identitas Buku
Judul: Mengapa Sih Lukisan Mahal? Wacana Penetapan Harga Karya Seni
Penulis: Mikke Susanto
Cetakan: II, Desember 2021
Penerbit: Buku Seni Rupa
Editor: Arlingga Hari Nugroho