Malam Gelap di Benteng Vastenburg: Katarsis Dari Rock In Solo 2025

Rock In Solo 2025 telah usai, namun kesan gelapnya masih menghantui kita pasca merayakannya 23 November 2025 kemarin.

Tahun 2025, tahunnya Kota Solo. Mengapa begitu? Sebab tahun ini, Solo berhasil menjadi magnet para metalhead di Jawa Tengah, atau bahkan Indonesia. Pasalnya pada 22-23 November 2025 lalu, terhelat sebuah festival bertajuk Rock In Solo. Festival yang cukup tersohor di Indonesia ini kembali menyajikan jajaran penampil yang menarik, mulai dari dalam negeri hingga mancanegara. Bagi pecinta musik cadas, Rock in Solo bukan sekadar festival, melainkan sebuah ajang pertemuan dan perayaan.  

Sudah berdiri sejak 2004, tahun ini Rock In Solo menginjak usia yang ke-21. Perjalanan panjang ini merupakan bentuk konsistensi mereka dalam merawat marwah musik rock di Indonesia, terutama di Solo. Tidak hanya merawat warmah, Rock In Solo juga menjadi ajang ekspresi, kritik sosial, dan representasi identitas budaya. Festival ini tidak hanya merawat tradisi musik rock sebagai sarana ekspresi, namun kritik sosial dan juga identitas budaya sebagai sejarah yang belum usai untuk dicatat. 

Di hari kedua Rock In Solo 2025 yang menampilkan line up musisi dari nasional sampai mancanegara. Sebut saja ada Crashhead, DPMB x Serigala Militia, Denisa, The Brandals, Negatifa, Sukatani, MTAD, 510, Godplant, Down For Life, Viscral hingga Sukatani. Beberapa musisi lain dari mancanegara yang turut serta pada line up di hari itu ada Deez Nuts, unit Hardcore punk dari Australia, Ugoslabier, Post Hardcore dari Thailand, Tariot dari Singapura, Belphegor yang beraliran Blackened deathmetal dari Austria dan Mayhem sang pelopor Norwegian black metal, yang tampil sebagai headliner sekaligus menutup panggung Rock In Solo 2025 di hari terakhir.

Terik matahari mulai menyapa Kota Solo, Minggu (23/11) siang. Kedatangan saya yang terlambat membuat tiket baru ditukarkan pukul 15.00 ba’da Ashar, menyisakan waktu untuk menyimak beberapa band di stage Rajamala sebelum break Maghrib.

Tiba di venue saat Negatifa menutup set mereka dengan panas masih menguasai langit Solo. Setelahnya, MTAD tampil membawakan energi punk industrial di tengah hawa “sumuk” yang membuat lengket badan dengan peluh yang terus mengucur. 

Langit mulai mendung, pertanda hujan akan segera turun. Pada pukul 16.30, Deez Nuts, unit Hardcore Punk asal Australia ini tampil. Di bawah rintik hujan mulai membasahi langit Solo, para penonton yang hadir mulai menyiapkan mantel jas hujan mereka.

Sebagian ada yang melipir ke area depan FOH untuk berteduh, namun sebagian lainnya ada yang memilih untuk stay di depan stage lengkap dengan mantel jas hujan yang mereka kenakan. Mereka tampak menikmati hujan bersama musik yang mengalun di udara. Band asal Negeri Kanguru itu menjadi bagian penutup set sebelum kembali dilanjutkan setelah break Maghrib. 

Masih di atas tanah Benteng Vastenburg, tampak para penonton yang hadir masih setia menapakkan kaki di tengah kubangan air yang menggenang. Tanah becek dan berlumpur jadi medan yang harus dilalui untuk menempuh malam yang masih panjang. Panggung pun kembali dilanjutkan dengan penampilan 510 pada pukul 18.00 setelah break Maghrib dengan penonton yang masih berdiri di tempat yang sama. Di waktu yang bersamaan, Tariot band asal Singapura tampil di stage XXI. 

Kala itu itu hujan sempat mereda beberapa saat, hingga tiba penampilan berikutnya di Rajamala stage, Viscral. Unit deathmetal asal Bekasi ini memulai aksi panggungnya pada pukul 19.20 pasca break Isya. Tampak sang frontman, Pradia Eggi yang didorong menggunakan kursi roda mulai memasuki stage. Setelah speech, dengan komando sang vokalis para penonton membelah barisan menjadi dua sisi, tanda bahwa wall of death sebentar lagi dimulai.

Penampilan Viscral di Rock In Solo 2025 (dok. Gense Nara)

Setelah suara dentuman senjata mesin dari drummer mereka Yogi Praja berkumandang, para penonton pun mulai bertubrukan pada kerumunan di Rajamala stage. Penonton yang hadir tampak mengekspresikan diri dengan moshpit dan stage diving. Bahkan tak terhitung berapa kali mereka membuat circle pit.

Suasana itu membuat siapa pun yang berada di dalamnya turut terpacu adrenalinnya. Rasa cemas sekaligus tegang pun muncul karena berdesakan dan bertubrukan dengan ratusan orang, namun di sisi lain adrenalin ikut membuncah mengikuti kemana arah badan ini bergerak.

Tak ada kata lelah untuk mengarungi malam yang panjang di Rock In Solo, pasalnya setelah Viscral kita masih disuguhkan oleh penampilan Down For Life yang tak kalah liarnya. Unit metalcore kebanggaan Kota Bengawan ini menjadi barisan selanjutnya yang mengisi line up pada malam itu. Seakan tak bisa beristirahat sejenak, sang vokalis Stephanus Adjie kembali membelah crowd dengan instruksinya, menandakan gelombang wall of death akan segera tiba.

Benar saja, sesuai arahan sang frontman para penonton kembali berhamburan dan saling bertabrakan seakan tak letih untuk menikmati moshpit di tengah wall of death. Tampil cadas pada pukul 20.50, Down For Life terus menggerus malam dengan penuh distorsi.

Di panggung lainnya, tepatnya di XXI stage, Godplant tampil di jam yang sama dengan penampilannya yang tak kalah chaos. Meskipun hujan kembali turun, bahkan dengan sangat deras animo penonton yang hadir tak membuat nyali ciut untuk mencari tempat berteduh.

Sebaliknya mereka tetap stay di depan panggung dengan kepala yang terangguk-angguk mengikuti instrumen musik yang mengalun bersama kerasnya distorsi yang kasar. Unit sludge metal itu berhasil membuat penonton yang hadir menikmatinya, suasananya tak kalah berbeda dengan di Rajamala stage, bisa dibilang XXI stage adalah versi intimate-nya. Interaksi antara penonton ke performer lebih dekat. 

Waktu berjalan semakin larut, namun hujan tak kunjung reda. Tak terasa penampilan sudah berada di penghujung waktu. Memasuki penghujung set dua penampil akhir Belphegor dan Mayhem jadi klimaks, menutup akhir babak dari panggung Rock In Solo 2025. Para headliner pun secara estafet mengisi pergantian band.

Di stage Rajamala kita dipertontonkan dengan sajian blackened deathmetal asal Austria, Belphegor. Tampil pada pukul 20.50, Belphegor mulai meneror malam dengan sangat mencekam di Benteng Vastenburg. Mulai dari tata cahaya, hingga efek visual pada panggung membuat atmosfer yang tersaji tampak mengerikan. Siapa saja yang menyaksikannya seperti berada dalam sebuah ritus menuju portal kematian.

Penampilan Belphegor di Rock In Solo 2025 (dok. Gense Nara)

Panggung dibuka dengan dentuman blasting dari sang drummer James Stewart diiringi melodi gitar Helmuth Lehner yang juga seorang vokalis. Suasana konstan itu menambah atmosfer kian mencekam. Para penonton yang hadir pun begitu khidmat mendengarkan musik yang Belphegor bawakan, seraya mengankat kedua tangan mereka ke udara dengan sign metal disertai headbang yang tak henti-hentinya bergoyang. 

Waktu menunjukkan pukul 22.00, penampilan bergeser dari sebelah kanan ke kiri panggung yang tampak bersebelahan. Semua lampu padam, transisi itu membuat suasana menjadi gelap dan kian mencekam. Setelah kembali menyala, potongan video footage dari Mayhem pun diperlihatkan.

Panggung berubah menjadi merah menyala diiringi dua suara gitar. Gaung dari bass Necrobutcher dan suara drum Hellhammer yang memainkan blasting-blasting kematian juga membuat suasana semakin penuh terror. Alih-alih takut, para penonton justru tampak menikmati penampilan mereka di atas pangung.

Attila Csihar, sang vokalis Mayhem memainkan vokal death growl melengking. Bak merapalkan sebuah mantra, para penonton yang berkerumun di hadapan Rajamala stage dibuat tersihir olehnya. Di hadapan ribuan pasang mata, Mayhem menjadikan malam di Benteng Vastenburg, Solo menjadi malam yang penuh kegelapan. Kedatangan Mayhem dari Oslo ke Solo bukan hanya membawakan simfoni kematian, namun bagaimana mereka merangkai katarsis dari perjalanan mereka. Konsernya kali ini merupakan penghormatan kepada dua member mereka yang telah lebih dahulu pergi, Death dan Euronymous.  

Penampilan The Brandals di Rock In Soo 2025 (dok. Gense Nara)

Rock In Solo 2025 mungkin telah usai, namun konsernya tetap membekas bagi kita yang menyaksikannya. Salah satu festival musik ekstrem di Indonesia itu berhasil membuat kita terpukau oleh line up yang hadir, tak hanya dari Tanah Air namun dari mancanegara. Siapapun yang hadir di sana menjadi bagian dari sejarah dan perjalanan panjang festival musik cadas ini.

Pada akhirnya kita beresonansi terhadap perasaan yang sama, yaitu musik cadas. Selain menjadi panggung untuk para musisi unjuk kebolehan, Rock In Solo 2025 juga menjadi panggung untuk menyuarakan keresahan tentang isu lingkungan dan sosial.

Beberapa musisi mengambil peran untuk berorasi melalui pesan yang disampaikan lewat visual mapping pada layar. Mereka mengajak kita untuk punya kesadaran dan pemikiran kritis terhadap keadaan sosial dan lingkungan di sekitar kita. Musisi yang berorasi di atas panggung juga menyiratkan pesan reflektif tentang kesadaran kolektif untuk tetap kritis terhadap apa yang terjadi di sekitar kita. Rock In Solo 2025 bukan sekadar festival musik cadas, namun sebagai ruang bersama menuju katarsis untuk tetap kritis dan menaruh kesadaran bersama.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Gense Nara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Atas Nama Estetika: Paranoid Reading, Biennale di Periferi Dunia, dan Motif Kritik Kita   

Next Article

'Setiap Api Butuh Sedikit Bantuan': Perjalanan Mencapai Titik Tuju?

Related Posts