Kebudayaan tentu masih akan eksis, sekalipun kehadirannya sekadar bermonolog. Kebudayaan akan menggelinding seturut lajur zaman. Satu-satunya yang akan menjadi pembeda adalah tempat pemaknaan diletakkan.
Mengingat cakupannya yang teramat luas, kebudayaan mungkin dapat diartikan sebagai tiap gerak manusia menanggapi situasi di sekitarnya. Salah satu hal yang membuatnya tidak disebut rutinitas kebudayaan adalah peletakan nilai pada tiap peristiwa. Upaya tersebut yang sedang digaungkan pemangku kepentingan di mana-mana.
Menyitir apa yang menjadi catatan dewan juri dalam buku Ekshibisi; Antologi Artikel Seni Budaya Yogyakarta, kebudayaan bisa terkucil jika tidak ada lawan dialog. Kebudayaan yang hanya mampu bermonolog adalah kebudayaan yang sedang menyiapkan “upacara kematiannya”. Ia beku, mandul, dan rapuh. Maka gagasan penulis artikel seni budaya dibutuhkan demi menciptakan kebudayaan yang segar, sumringah, dinamis, dan produktif.
Dari semangat tersebut, muncullah apa yang sebut dengan dialog-dialog kebudayaan dalam artikel-artikel yang lantas dibukukan. Seseorang dengan gagasan di dalam kepala membenturkan diri dengan peristiwa kebudayaan yang terjadi di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Tak ayal, itu akan memunculkan makna pada produk-produk seni budaya.
Sejak saat itu, menjadi sah bahwa kebudayaan tidak lagi bermonolog, melainkan memiliki lawan dialog yang semoga saja sepadan. Toh, pada prinsipnya kebudayaan adalah milik semua orang. Kebudayaan selazimnya dapat dinikmati semua kalangan, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus atau difabel.
Pada Pentas Pantomim Yogyakarta – Mime Mupakara “Air, Tanah, Udara” di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, 13 Juli 2023 hadir teman tuli pada barisan kursi penonton. Terciptanya ruang inklusif ini menjadi tolok ukur baru agar pentas menjangkau lebih banyak penikmat.
Seorang interpreter (penerjemah) hadir sebagai jembatan untuk mengelola bahasa verbal agar dapat dipahami oleh teman tuli. Dewasa ini, masih dapat dihitung berapa banyak pertunjukan yang dapat juga dinikmati oleh teman difabel.
Tak hanya menjadi ruang inklusif, kebudayaan juga perlu memikirkan adanya generasi penerus. Regenerasi kebudayaan sepatutnya mendapat perhatian lebih. Sebab, kebudayaan yang lestari tak cukup membutuhkan dialog, tetapi juga dialog yang berkelanjutan.
Setiap zaman pasti dihiasai dengan hadirnya magnum opus seorang maestro seniman. Namun, di sisi lain ada juga seniman yang masih merintis gagasan, dan menyiangi ide-ide awalan untuk menciptakan sebuah karya. Asana Bisa Seni 2023 yang dihelat pada 19 Juni 2023 di Taman Budaya Yogyakarta mungkin jadi salah satu Candradimuka untuk seniman muda itu.
Program yang tak dapat dipisahkan dari tren Biennale ini punya kecenderungan untuk mendidik selera dan pemahaman publik tentang suatu ide atau tolok ukur estetika lewat pameran yang terkurasi secara tematik dan program-program publik yang menyertainya (Utomo, 2022).
Biennale Jogja membuka diri pada partisipasi kurator, seniman, audiens, sampai penulis berusia muda. Semua itu berangkat dari pembacaan spesifik atas situasi negara pascakolonial yang miskin akses dan infrastruktur. Imbasnya generasi muda menjadi rentan terhadap ketidakpastian kerja, ketidaktentuan pendapatan, dan absennya jaminan sosial (Utomo, 2019).
Perkara baik dan tidaknya apa yang kemudian disuguhkan sebaiknya hanya sampai pada tataran pembahasan selera yang nisbi. Jangan sampai, penilaian terhadap hasil akhir meluruhkan proses penempaan pada eksplorasi estetika dan ideologi seniman.
Selain dua hal di atas, ada hal pelik yang masih menjadi pokok pembahasan, yakni kehadiran sosok perempuan dalam perhelatan seni.
Dalam Pameran Seni Rupa Koleksi Taman Budaya Yogyakarta, Kencan Nonton Wayang yang digelar 24 Mei 2023, hanya terdapat dua nama perempuan dari sekitar enam puluh karya yang ditampilkan.
Pada rentang 1994-2006, dan sekitar 100-an lebih karya seni lukis, grafis, kriya, batik, dan patung yang dikoleksi Taman Budaya Yogyakarta, hanya ada nama Ida Hadjar dan Dyan Anggraini Rais yang direpresentasikan dalam pameran tersebut.
Baik tak disadari atau disengaja sekalipun, detail seperti ini tak dapat lepas dari perhatian terutama di tahun-tahun belakangan ini. Sebab agensi berperspektif feminis menerus ada. Mereka berkelana, bergeriliya, dengan bisik-bisik, atau pelantang suara, di terang benderang, maupun tempat-tempat tak terduga. Namun kesemuanya ada dan terus-menerus ada. Mereka sama-sama mengacau, membangkang, dan mengubrak-abrik kenyamanan (Nur, 2023).
Dalam seni, urusan pengarsipan adalah disiplin yang lain. Namun, bagaimana arsip tersebut akan ditampilkan dan dikurasi dalam sebuah pameran telah menyangkut ideologi yang lebih besar. Apalagi pengarsipan terus menghadapi tantangan di setiap zaman.
Dalam fotografi misalnya, pengarsipan kian baur saat adanya perkembangan teknologi. Ketika semula pengarsipan fotografi bersandar pada setumpuk foto yang dicetak, hari-hari ini dengan mudah disimpan dalam penyimpanan gawai dan komputasi awan.
Pertanyaan besarnya, apakah hal tersebut dapat serta-merta disebut pengarsipan fotografi?
Pun penting dipahami bersama, pengarsipan apapun bentuknya merupakan suatu bentuk pengetahuan. Fotografi memungkinkan arsip memberi spekulasi yang mendalam atas karakter, budaya, hingga peristiwa sejarah yang menjadi pengetahuan bagi subjek yang melihatnya.
Seperti halnya pengarsipan, kebudayaan secara umum juga terus berhadapan dengan tantangan. Dialog yang terbangun antara kebudayaan dengan penikmat dan masyarakat sedikit banyak akan mengurai hal tersebut.
Judul buku : Ekshibisi, Antologi Artikel Seni Budaya Yogyakarta Penerbit : UPTD Taman Budaya, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta Editor: Latief S. Nugraha dan Setya Rahdiyatmi Kurnia Jatilinuar Terbit : 2023 Jumlah halaman: xvii + 142 halaman; 13,5 cm x 20 cm
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: redaksi sudutkantincom
1 comment