Panjul mondar-mandir, nyari kerjaan. Panjul mencak-mencak, makin hari makin kritis. Panjul ceplas-ceplos, apa adanya ngoceh tentang bansos.
Matahari baru sepenggalah, tapi Kang Ramto sudah selesai menggelar dagangannya. Ada nasi teri, nasi orek, nasi bihun, nasi langgi, gorengan, dan berbagai macam jeroan ayam yang ditusuk jadi sate di atas meja. Tidak kalah meriah juga tahu bakso, martabak, juga roti bolong alias donat yang dititipkan orang di angkringannya.
Angkringannya sepi, belum ada yang datang. Biasanya menjelang jam makan siang baru banyak orang yang mampir sekadar melepas kering tenggorokan atau memang berniat menggadai uangnya dengan kenyang.
Panjul grasak-grusuk masuk ke angkringan Kang Ramto. Rambutnya berantakan tapi mengkilap bekas pomade tadi barangkali. Tanpa basa-basi sebuah tempe goreng sudah nangkring di mulutnya. Sambil mengunyah, bibirnya komat-kamit mau berkata sesuatu sebelum akhirnya disamber dengan lincah oleh Kang Ramto, “Biasa to?”
Panjul yang mafhum langsung mengacungkan jempol ke arah Kang Ramto. Panjul baru selesai wawancara kerja. Ini sudah yang kelima sebulan ini.
“Waini, pegawai kantoran datang makan siang, tapi kok gasik banget,” Kang Ramto sumringah menyambut pelanggannya.
“Kantoran uwopooo Kang Ramto. Gagal maning Kang,” Panjul membanting tasnya ke kursi, diikuti pantatnya sendiri.
“Ya sabar, memang lagi susah to Njul, semua-semua ini ya lagi susah, prihatin, angkringan makanan kaya aku ini juga was-was,” Kang Ramto sibuk mengaduk teh panas kental pesanan Panjul.
Panjul menyambar tempe lagi untuk membuat mulutnya sibuk. Sebenarnya dia tidak lapar benar, hanya butuh pengalihan. Sambil melihat Kang Ramto dengan tatapan kosong, ia buka obrolan.
“Woo jangan salah Kang Ramto, pandemi-pandemi gini ada juga yang malah lihai mencari rejeki, memenuhi lumbungnya sampai tumpah-tumpah, terus membuat dapurnya ngepul tinggi seperti asap pabrik,” jawab Panjul bersemangat sambil mencari ceplusan di sela-sela gorengan.
“Pekerjaan apa yang kaya gitu itu? Lha wong dokter sama perawat aja kerja setengah mati ya malah tidak jelas dapat bonusnya.”
“Lha ya itu yang pakai rompi oranye di TV to Kang Ramto.”
Sekonyong-konyong, Ahong yang kerja sebagai penjaga kios pulsa telepon seluler di ujung jalan masuk angkringan Kang Ramto. Ahong cari sarapan karena rumahnya jarang masak. Tanpa dipersilakan, ia langsung ikut banting kartu pembicaraan.
“Pasti yang nyaplok dana bantuan kan Njul?”
“He’em.”
“Kok nyaplok to? Apa terus masuk kantongnya semua?” Tanya Kang Ramto.
“Ya pokoknya nyaplok, nyimit, nggarong, ngerikiti, ngutil, nithil sama saja Kang, ngambil yang bukan haknya,” terang Panjul geram sambil memasukkan remahan gorengan ke mulutnya.
“Apalagi itu kudunya kan jadi bantuan buat yang sekarat di-smash pandemi Kang,” Ahong menimpali semangat.
Bowie yang nama aslinya Prabowo Wijanarko masuk bawa rentengan kacang bawang, kacang ijo, sama kulit melinjo buat dititipin di angkringan Kang Ramto. Dipanggil Bowie lantaran di pipinya ada codet bentuk petir persis dandanannya penyanyi beken Inggris. Di belakangnya ada Yunita mahasiswi sekolah perawat yang kehalangan Bowie di depan pintu. Mereka berdua lantas duduk, diam saja. Soalnya Kang Ramto masih asyik ngobrol sama Panjul dan Ahong.
“Itu orang waktu berencana ngambil duit orang banyak perasaannya bilang apa ya?” Tanya Kang Ramto.
“Yang begitu itu ya jelas sudah mati rasa. Wong ya terbukti ngambil malah bilangnya musibah kalo diwawancara. Padahal sudah jelas-jelas uangnya dipakai foya-foya,” Panjul makin geram, ditambah tehnya pahit sekali macam lupa dikasih gula.
“Segala minta doa lagi supaya segera dibebaskan dari musibah katanya,” Ahong jadi gong.
Bowie diam saja sambil garuk-garuk belakang telinga yang gatal lantaran helmnya tidak pernah dicuci. Ia mau ikut nimbrung tapi sangsi juga karena belum tahu duduk persoalannya. Sementara Yunita udah ambil plastik bening buat bungkus bakwan jagung sama sate ampela.
“Bayangkan to Kang, itu kalo uang ber-triliun-triliun bener dibagiin buat yang butuh kan nggak ada yang sengsara kaya sekarang, semua bisa makan enak, yang di-PHK masih bisa nyicil napas, yang putus sekolah paling nggak masih kenyang di rumah. Pedagang kaki lima yang ancur modalnya bisa ngerintis lagi pelan-pelan. Ini kan sudah jelas selain melanggar hukum, juga Hak Asasi Manusia, Kang. Sudah begitu biasanya nanti hukumannya tidak seberapa,” suara Panjul mendadak keras dan serak sampai dia ngos-ngosan.
Kang Ramto diam saja. Ahong kaget, tidak menyangka Panjul bakal marah pagi-pagi begini. Muka Panjul merah. Ia nyeruput tehnya yang masih kerasa pait lantas menggendong tasnya langsung keluar dari angkringan Kang Ramto tanpa babibu.
“Itu tadi siapa to Kang? Kok marah-marah?” Tanya Bowie yang udah nggak tahan diam jadi penonton.
“Biasa Panjul, kemaren nggak jadi kebagian bantuan yang itu, mana lagi bokek-bokeknya, masih nganggur juga,” jawab Kang Ramto sambil ngasih kembalian buat Yunita.
“Perasaan tadi belum bayar to Kang?” Tanya Ahong menyelidik.
“Nanti juga mamaknya ke sini nanya anaknya makan apa aja.”
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Ilustrasi: Yohakim Ragil Anantya
1 comment