Aksi galang dana masih dikepung orang-orang berbadan kekar sekalipun surat pemberitahuan sudah dilayangkan ke pihak kepolisian.
Isu tentang Papua mulai populer dibicarakan khalayak umum sejak kasus rasisme yang terjadi di Surabaya tahun 2019. Bahkan seorang pengacara yang mengadvokasi pelanggaran HAM di Papua Veronica Koman menulis, Gerakan West Papua Melawan tahun 2019 menjadi titik balik gerakan tersebut. Namun, pernahkah kalian di luar Papua yang memperjuangkan hak-hak Orang Asli Papua bertanya, bagaimana suasana diskusi atau aksi massa yang berlangsung di tanah Papua itu sendiri?
Kabar yang sering muncul biasanya dari Papua bagian pantai utara saja. Beberapa kabar yang terdengar misalnya pemutusan jaringan internet di Jayapura pada tahun 2019 lalu. Kejadian ini berulang setelah penangkapan Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Victor Yeimo. Di balik itu, jarang sekali terdengar kabar dari Boven Digoel, terkhususnya Tanah Merah yang dulu menjadi tempat pengasingan Bung Hatta dan tahanan politik pada zaman kolonial.
Tidak mengherankan jika informasi dari daerah Boven Digoel itu amat sedikit, karena jaringan internet yang layak baru bisa dinikmati awal bulan Januari 2021. Sebelumnya jaringan internet yang kuat hanya ada di tempat tertentu. Hari ini pun jaringan internet masih mati-nyala. Pada hari lainnya kadang benar-benar mati total, bahkan sekadar untuk telepon atau SMS pun tidak bisa.
Sampai hari ini, di kampung-kampung tempat Orang Asli Papua tinggal, jaringan internet masih sulit didapat. Padahal mereka juga butuh internet, sama butuhnya dengan orang-orang di Merauke, Jayapura, atau Pulau Jawa.
Kebetulan tempat saya tinggal memiliki jaringan internet baik. Sebab itu ada baiknya juga saya memberitakan apa-apa saja yang terjadi di Tanah Merah, Boven Digoel belakangan ini.
Pada tanggal 14 dan 15 Mei 2021, sekelompok warga di Tanah Merah mengadakan aksi galang dana untuk pengungsi korban kontak senjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) dan TNI/POLRI di Ilaga, Ndugama dan Intan Jaya, Papua. Aksi galang dana ini digagas oleh beberapa orang asli Papua dan transmigran yang berdomisili Tanah Merah, Boven Digoel. Aksi ini diadakan di depan Kantor Bupati Tanah Merah.
Aksi galang dana ini diadakan setelah Mahfud M.D. menyatakan TNPB-OPM sebagai teroris. Suasana di Tanah Merah sedang panas akan isu tersebut. Semenjak poster aksi galang dana tersebar, gosip beredar mengatakan relawan ini adalah tim pencari dana TNPB-OPM. Desas-desus itu mengatakan, uang hasil galang dana nantinya akan digunakan sebagai modal membeli senjata untuk meladeni baku tembak dengan TNI-POLRI. Padahal, relawan kemanusiaan ini sudah bekerja sama langsung dengan relawan yang mengurus pengungsi di pegunungan tengah yang diperantarai oleh Baku Bantu Foundation. Gosip ini membuat relawan memperkirakan aksi galang dana akan menghadapi beberapa hambatan.
Sesuai prediksi, aksi galang dana ini tidak berjalan mulus. Pada hari pertama, semua relawan yang turun mengeluh risih dan takut karena dikepung oleh orang-orang berbadan kekar yang terus memantau mereka selama aksi berlangsung.
Sebelumnya (13/5), penanggung jawab aksi Benediktus Fatubun yang akrab disapa Beni sudah mengirimkan surat pemberitahuan ke pihak kepolisian. Namun, saat dia berorasi mengenai keadaan pengungsi di pegunungan tengah, ia dimintai surat pemberitahuan oleh salah satu dari orang-orang kekar yang memantau jalannya aksi galang dana.
“Saya dimintai nama lengkap, profesi, alamat tinggal, dan nomer HP oleh intel kepolisian. Saya mengenal orang itu. Ia kawan lama saya, tapi yang lainnya saya tidak tahu siapa mereka,” ujar Beni.
Intel yang menanyai identitas pribadi Beni pergi tak lama setelah ia menyelesaikan urusannya. Namun orang lainnya malah mengambil foto dan mengepung para relawan. Mereka belum beranjak pergi.
Mereka benar-benar tidak berbincang dengan siapa pun. Mereka perlahan-lahan mendekati relawan yang memegang kotak donasi. Sampai jaraknya dengan relawan begitu dekat, mereka tetap diam sambil mengamati gerak-gerik para relawan.
Aksi galang dana ini seharusnya digelar dari pukul 16.00 – 18.00 WIT. Namun, relawan yang beranggotakan enam orang ini sudah benar-benar risih dan takut. Akhirnya aksi galang dana pun diakhiri sekitar pukul 17.15 WIT.
Selagi para relawan bersiap pulang, seorang wartawan Radio Republik Indonesia (RRI) meminta wawancara dengan Beni selaku penanggung jawab. Ketika perekam suara ditodongkan ke mulut Beni, keenam orang kekar itu mengepung dia. Jarak mereka tak sampai satu meter. Salah satunya merekam wawancara secara diam-diam. Mereka masih diam dan menatap tajam.
“Bapak-bapak dorang ini siapa? Ada buat apa berdiri di sini? Kenapa kemarin waktu aksi galang dana untuk bencana di NTT bapak-bapak dorang tidak ada? Kenapa setiap ada orang bicara soal Papua selalu dibeginikan?” Beni berteriak.
Namun, orang-orang itu tak menjawab pertanyaan Beni. Orang yang tadi merekam wawancara Beni dengan wartawan RRI memasukan HP-nya dalam saku lalu menyilangkan tangan. Sekarang Beni dan orang-orang itu sudah tak berjarak.
Pada pukul 17:20 WIT, mama-mama Papua yang menjajakan jualan mereka di pasar kaget depan kantor bupati mendengar bentakan Beni. Beberapa orang asli Papua termasuk mama-mama yang sedang berjualan menghampiri Beni. Enam orang yang semula mengerumuni Beni sadar, mereka sudah terkurung oleh kerumunan massa. Mereka akhirnya mundur menjauh dari Beni.
Seorang guru yang menjadi relawan aksi galang dana Daniel Soge mengaku, rumahnya pernah didatangi salah satu dari orang-orang kekar tadi. Rumah Daniel didatangi setelah poster aksi galang dana ia sebarkan lewat media sosialnya.
“Salah satu dari bapak itu pernah dua kali mampir ke rumah saya. Ia meminta izin untuk melihat-lihat rumah kemudian menanyakan harga rumah. Padahal seluruh rumah di kawasan ini milik yayasan Katolik,” ujar Daniel.
Ia pun bisa tinggal di situ karena mengajar di sekolah yang dinaungi yayasan tersebut. “Untuk yang pertama kali mungkin saya masih memaklumi karena bapak itu mengaku baru tinggal di Tanah Merah, tapi ketika ia datang kedua kalinya, saya mulai curiga. Kawan-kawan guru yang tinggal di sini pun tidak mengenalnya,” tambah dia.
Di hari kedua, pukul 15.00 WIT para relawan memulai penggalangan dana lebih awal dengan niatan mendapatakan sumbangan yang lebih banyak. Cuaca sore itu cukup cerah dan jalanan sudah ramai seperti biasanya. Orang-orang yang kemarin mengganggu jalannya aksi galang dana muncul lagi, tapi mereka mengamati dari jarak jauh.
Sekitar pukul 16.00 WIT, Beni lagi-lagi ditanyai identitas pribadinya oleh seorang berpenampilan kasual yang mengaku dari kepolisian Tanah Merah. Awalnya Beni enggan memberikan identitas pribadinya karena kemarin pihak kepolisian sudah memintanya. Namun orang tersebut memaksa. “Saya disuruh atasan Pak, karena Bapak belum mengirimkan surat perizinan ke pihak kepolisian,” ujar polisi tersebut.
Beni menjelaskan bahwa aksi ini tidak memerlukan perizinan, yang diperlukan adalah surat pemberitahuan yang dikirim minimal tiga hari sebelum aksi. Polisi masih bersikeras kalau aksi galang dana ini memerlukan perizinan. Akhirnya Beni meminta polisi tersebut menunjukkan undang-undang yang mengatur tentang aksi massa. Polisi itu menunjukkan UU Nomor 9 Tahun 1998 Pasal 10.
Benar saja, menurut undang-undang tersebut aksi ini tidak memerlukan izin, tapi polisi ini malah mengelak. Ia mengaku belum menerima surat itu dari atasannya karena libur lebaran. Ia harus meminta ulang identitas lengkap penangguang jawab aksi galang dana untuk mengisi laporan di kepolisian.
“Bapak minta saja identitas dan nomor HP saya di intel yang kemarin, kalian pasti baku kenal toh?” Ujar Beni dengan tegas menolak.
Polisi itu masih memaksa dan terus menekan Beni. “Iya kita saling kenal, tapi SMS saya belum dibalas. Makanya saya datang ke mari buat meminta ulang identitas dan nomor HP bapak. Saya minta baik-baik, Pak. Saya tidak mau bikin ribut,” ujar dia. Menghindari debat panjang, Beni memberikan informasi yang diminta. Polisi akhirnya meninggalkan tempat aksi galang dana.
Di hari kedua ini malah semakin banyak orang yang menyisihkan uangnya untuk berdonasi. Mama-mama Papua yang berdagang ikut berdonasi. Aksi berjalan lancar sampai selesai tepat pukul 18.00 WIT. Pasca aksi tersebut Beni berkali-kali ditelepon oleh nomor yang tidak ia kenal dan Facebook-nya pun sempat mengalami percobaan peretasan.
“Terlepas dari itu semua, dana yang kami kumpulkan sudah kami kirimkan pada relawan di pegunungan tengah. Aksi galang dana ini kemungkinan akan terus digelar sebulan sekali sampai konflik bersenjata di pegunungan tengah selesai,” ujar Beni mewakili kawan-kawan relawan yang lain.
Editor: Agustinus Rangga Respati
aksi penggalangan dana untuk kemanusiaan, saya mendukung para relawan atas dasar niat tersebut. Jikalau ada hambatan dari aksi itu adalah mencegah teroris berkembang dari masyarakat tersebut. ini yang pernah terjadi di flores, yang mendesak masyarakat untuk mengajukan pemilihan karena tidak ada untungnya bergabung di Indonesia.