“Manusia memiliki hasrat eksistensi, dianggap ada dan abadi dalam wujud nama, bagi Suku Batak, marga yang dibawa oleh anak laki-laki adalah penentunya…”
Akhir November lalu, saya dan teman-teman dari kolektif pegiat pustaha Batak di Yogyakarta bernama Kawan Pustaha berkesempatan hadir menonton pementasan salah satu anggota kami, Kana Sibarani. Kana memainkan perannya dengan sangat baik sebagai Uli, seorang boru atau anak perempuan suku Batak yang orang tuanya berada dalam pertengkaran tak berkesudahan karena opresi berbagai pihak agar mereka memiliki anak laki-laki.
Mangiring, sebuah pertunjukan oleh Komunitas Sakatoya yang disutradarai oleh Miftahul Maghfira Simanjuntak (Mifta) tuntas dipentaskan pada program Jagongan Wagen di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Sabtu 25 November 2023. Perspektif Mifta mengangkat isu anak laki-laki ini menarik, karena keberadaannya yang terlibat langsung dengan fenomena ini.
Singkatnya, pertunjukan ini membawa kisah sebuah keluarga yang terdiri dari Opung (nenek) yang tinggal bersama anak laki-lakinya Domu, menantunya Lamtiur, dan cucu perempuannya Uli. Dalam kekerabatan Batak, memiliki anak laki-laki adalah hal penting. Dalam setiap acara pesta keluarga, sebuah keluarga akan dianggap berharga jika datang bersama anak atau cucu laki-lakinya, karena sistem kekerabatan patrilineal yang kuat di mana laki-laki adalah pengharapan penerus keturunan.
Lamtiur dan Domu tidak memiliki anak laki-laki, hal ini menjadi pertikaian yang sering kali terjadi di keluarga kecil mereka. Opung yang tidak sanggup menerima gunjingan saudara, Lamtiur tidak dianggap sebagai wanita sempurna dalam keluarga, Domu yang terus menerus didesak Opung untuk punya anak laki-laki dan Uli yang menghadapi kenyataan orang tuanya akan berpisah. Empat orang ini berada dalam situasi yang sama menyedihkannya, karena konstruksi sosial yang sudah terbangun lama dalam sistem kekerabatan di suku Batak.

Dalam suku Batak, keluarga tidak akan dianggap ideal jika belum memiliki anak laki-laki. Kehadiran anak laki-laki menjadi penantian berharga terutama sebagai anak pertama. Kelahiran anak ini sudah menjadi pengharapan besar untuk keluarganya di masa depan, kelak ia akan membawa nama baik keluarga dan anaknya akan bisa memberikan keturunan laki-laki lagi. Kesenjangan ini terlihat bagaimana jika yang lahir adalah anak perempuan, tidak bisa meneruskan marga dan dinomor duakan dalam warisan karena nantinya akan dibawa ke rumah keluarga baru setelah dipinang.
Menyaksikan pementasan ini membuat saya mengingat satu upacara menarik di suku Karo dalam usaha atau ikhtiar dalam memperoleh anak laki-laki, dengan cara yang tak lazim namun masih dipertahankan sampai hari ini yaitu upacara Nengget.
Upacara Nengget, Ikhtiar Memiliki Anak Laki-Laki
Suku Karo, salah satu dari 6 puak/etnis Batak di Sumatera Utara, dalam adat istiadatnya masih mengenal upacara sebagai bentuk ikhtiar dalam memperoleh keturunan, terutama dalam memiliki anak laki-laki yaitu Nengget atau Sengget yang memiliki arti terkejut. Nengget adalah upacara yang dilakukan secara rahasia bersama anggota keluarga untuk memberikan kejutan kepada suami istri yang belum memiliki keturunan atau menginginkan anak laki-laki. Tidak sembarang orang bisa mengejutkan suami istri ini, hanya boleh dilakukan oleh Rebu mereka.
Di masyarakat suku karo, kami mengenal istilah Rebu atau Simehangke (Turangku) yang artinya tabu/pantangan, dimana ada batasan-batasan interaksi tertentu dengan anggota keluarga, batasan ini meliputi tidak berbicara, bersentuhan atau bahkan berpapasan. Apabila di suatu momen memaksakan mereka untuk berbicara, maka diwajibkan untuk menyediakan perantara, baik itu orang lain atau benda di sekitarnya misalnya meja, tikar atau pintu.
Pihak-pihak yang masuk kategori Rebu adalah mertua laki-laki kepada menantu perempuan, mertua perempuan dengan menantu laki-laki atau saudara seipar. Batasan-batasan dalam Rebu di suku Karo ini terbentuk atas rasa hormat, menghargai, dan sungkan yang tinggi kepada orang lain terutama yang berbeda jenis kelamin agar tidak terjadi khilaf.

Nengget ini berasal dari kepercayaan suku karo sebelumnya masuknya agama Hindu. Masyarakat suku Karo percaya bahwa roh manusia akan terkejut dan malu apabila diajak berbicara oleh Rebu-nya dan mengupayakan permintaan memperoleh anak laki-laki.
Peralatan yang dibawa dalam upacara memberi kejutan ini antara lain makanan untuk dimakan bersama, uis ari teneng (kain tradisional karo, kain gendongan bekas, ayam jantan merah, kain panjang bekas (biasa dipakai penutup kepala saat berladang) dan lau simalem-malem (air dan ramuan untuk menyiram pihak yang dikejutkan) dengan dilakukan pada hari baik yaitu wari si puluh telu dalam kalender Karo.
Dalam proses Nengget ini, pihak Rebu akan berbicara dengan nada membentak kepada si suami istri dengan menyiram air sambil mengatakan “Jera tendindu, jumpa anak di laki ras di beru, adi lang lanai kita Rebu” yang artinya “Jera rohmu, bertemu anak laki-laki dan perempuan, atau kita tidak lagi Rebu” dan dilanjutkan dengan proses lainnya. Salah satunya adalah dengan suami-istri tersebut dipakaikan pakaian adat secara terbalik, yaitu laki-laki berpakaian wanita dan si wanita berpakaian laki-laki. Sulit dipercaya, namun dalam satu upacara yang pernah saya ikuti, suami istri yang disenggeti benar memiliki keturunan laki-laki setelahnya.
Dari upacara Nengget dan pementasan Mangiring, terlihat bagaimana fenomena anak laki-laki menjadi teramat penting bagi suku Batak pada umumnya demi silsilah keluarga yang tidak terputus. Tentu tulisan ini tidak akan memberikan solusi bagaimana isu ini harus diselesaikan demi kesetaraan hak anak perempuan dengan laki-laki, namun melalui pementasan Mangiring dan Nengget menambah wawasan kita tentang bagaimana sistem kekerabatan bekerja, bertahan dan dipatuhi hingga hari ini.
Sampai dengan ulasan ini terbit, saya masih boru/beru dari suku Batak yang masih berhadapan dan akan dihadapkan pada fenomena yang sama di masa depan. Sementara hanya itu.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: PSBK/Sito Adhi Anom
