Di tengah perkembangan dunia digital yang begitu pesat, fenomena cyberbullying hampir tak bisa dihindari dari derasnya arus informasi. Kasus-kasus perundungan daring yang seringkali dilakukan di media sosial, telah memberi dampak psikologis yang tidak bercanda pada beberapa orang yang menjadi korbannya.
Dalam era di mana setiap orang memiliki perangkat dan akses ke platform daring, selalu ada celah yang mengubah alat ini menjadi ‘pisau bermata dua’. Paradoks terjadi. Sementara orang bebas untuk berekspresi, dunia digital juga menjadi tempat yang penuh dengan ketidakjujuran dan kepalsuan. Hal ini jadi salah satu pemicu cyberbullying; di mana individu atau kelompok orang menggunakan kebebasan mereka untuk merendahkan, mencemooh, atau menghina orang lain di dunia maya.
Seorang penari dan koreografer asal Padang Panjang, Dendi Wardiman, menciptakan karya tari berjudul Terkurung di Alam Bebas sebagai usahanya mengangkat isu ini dan mengekspresikan apa yang dirasakannya melalui tarian. Berkolaborasi dengan komposer Capaik, karya ini barangkali bukan hanya sebuah pertunjukan tari biasa.
Sabtu (26/8) malam itu, saya mengambil kursi paling belakang ketika menyiapkan diri untuk menyaksikan pertunjukan tari Dendi Wardiman di Gedung Diponegoro, Padepokan Seni Bagong Kussudiardja. Ada rasa penasaran ketika membayangkan pertunjukan ini mengambil titik berangkat dari pengalaman penyintas cyberbullying.
Bukan hanya sebatas eksplorasi bentuk tari dan wacama, Dendi mengakui telah menjadi penyintas di antara banyaknya korban yang bertahan menghadapi fase-fase itu. Sebagai seorang seniman, kepekaannya pun muncul seiring bagaimana memahami betapa berbahayanya perundungan terhadap kesehatan mental seseorang. Dendi mengingat, tekanan psikologis yang dialami seringkali mengakibatkan kecemasan, isolasi sosial, dan bahkan depresi. Sialnya lagi, fenomena ini seperti tak mengenal batasan usia atau jenis kelamin; siapa pun bisa menjadi korban.
Itulah yang kemudian memaksanya untuk menghadirkannya dalam wujud pertunjukan tari. Karya tari Terkurung di Alam Bebas yang menjadi bagian dari program Jagongan Wagen 2023, mencoba menerjemahkan ulang apa yang pernah dirasakan Dendi Wardiman. Tarian ini seolah menggambarkan kondisi psikologis para penyintas, tak terkecuali Dendi sendiri.
Pertunjukan ini dimulai dengan ritme gerakan yang tak nyaman (baca: tertekan) disusul olah lampu dan musik yang terasa semakin mengancam. Meski setiap gerakan tak selalu mudah untuk dipahami, tetapi raut wajah dan peluh keringat di tubuh Dendi memberi gambaran akan tekanan dan kekacauan dalam diri.
Hampir bertubi-tubi Dendi mengajak penonton duduk dalam keresahan sebab gerakan meliuk di lantai dan latar bebunyian yang meresahkan. Gerakan tari yang ekspresif lagi-lagi menggambarkan tekanan mental yang dirasakan oleh korban dan betapa sulitnya mereka melepaskan diri dari ketidaknyamanan tersebut.
Dalam pertunjukan ini, tari menjadi bahasa utama untuk menerjemahkan perasaan dan pengalaman korban perundungan. Dalam keheningan, saya bahkan merasakan bagaimana rasa sakit itu hadir dalam diri saya perlahan mengikuti irama pertunjukan.
Ruang Pertunjukan yang Menyembuhkan
“Kalau dalam segi koreografi, apa yang saya rasakan itu betul. Saya menghadirkannya emosional itu di atas panggung. Tertekan yang saya rasakan itu,” ucap Dendi Wardiman seusai pertunjukan.
Pada proses kreatif yang dilakukan Dendi, dirinya tak serta merta menarikan gerakan dengan perasaan kosong. Ada proses memanggil ulang dan merasakan seperti apa yang dirasakannya dulu ketika mengalami cyberbullying. Hasilnya, pertunjukan yang bergairah dan menyembuhkan.
Meskipun tak bisa diterapkan pada semua orang, tetapi praktik yang dilakukan Dendi bisa jadi jalan pintas untuk menyembuhkan diri dari perasaan yang terluka. Karya tari, tidak lagi dilihat sebagai tarian semata, tapi juga bentuk terapi diri yang paling sederhana.
Dendi tidak sedang mengedukasi penonton untuk tidak melakukan perundungan terhadap orang lain di media sosial dengan cara yang kaku. Atau mendikte penonton cara untuk melepaskan diri dari rasa sakit setelah mengalami cyberbullying. Setidaknya melalui seni, Dendi justru memberi gambaran mendalam untuk menginspirasi penonton menjadi lebih bijak menjaga perasaan diri sendiri maupun orang lain.
Menggerakkan tubuh, melepaskan hasrat, dan mengosongkan pikiran memberi kesempatan pada diri sendiri untuk meninggalkan perasaan luka tanpa melukai diri. “Nah bicara tentang apakah setelah manggung itu lega, [saya] lega. Bahwasanya emosi yang saya pendam itu keluar,” tutupnya.
Penyelaras aksara: Gentayu Amanda
Foto sampul: PSBK/Sito Adhi Anom