Sore itu bersama Bapak, Bapak tampak lebih muda dari biasanya, Ia terkekeh dan melempar pandang ke langit-langit sore itu.
Namun masih saja, aku melamunkan ini-itu dan mantra-mantra profanatik tak berpijak pada tanah, angan-angan tinggi akan keindahan-keindahan semu di dunia ini. Pada akhirnya menyerah dan mengeluh pada sebuah frasa “tidak adil”.
Inilah lamunan yang terbuyarkan pesannya sore itu,
“Hidup itu murah, yang membuat mahal itu gengsi.
Hidup itu mudah, yang membuat sulit itu kita.
Hidup itu kenyang dan cukup, yang membuat lapar itu kita.
Hidup itu tenang, yang membuat gaduh itu kesibukan pribadi.
Hidup itu sederhana dengan syukur, yang membuat rusak ialah nafsu.
Hidup itu apa adanya, yang membuat bermuka dua itu haus akan perhatian.
Hidup itu hidup, hidupilah harimu selagi kau masih hidup.”
Aih, andai saja Bapak di sini, racikan kopi dan sekepul asap menunggumu, bersama anakmu yang masih bingung apa itu hidup?
Sejenak Bapak membetulkan kacamatanya, berdeham kecil, lalu melanjutkan,
“Hidupmu lebih enak daripada mie kuah di sore hujan.
Sekolah itu untuk hidup, bukan hidupmu untuk sekolah.
Berbahagialah dengan rasa syukurmu yang pasti bermakna.
Kelak, hargailah wanita seperti ibumu sendiri yang merawatmu dan adik perempuan yang bertumbuh bersamamu.
Berbagilah sampai kamu habis tanpa menuntut.
Terimalah apa yang memang pantas kamu terima dan yang tak pantas kamu terima sekalipun.
Memberi dan menerima ialah ketulusan itu sendiri.
Kebahagiaan dan kesedihan ialah jalan yang tertuang untukmu agar kamu hidup.
Hidupmu akan terlepas tepat saat kamu melepas segala yang kamu berikan dan yang kamu terima.
Sebab dari tanah kembali ke tanah, kemanakah hidup akan mengarah?
Menuju keyakinan akan makna selagi kau hidup.”
Sore itu mendadak gerah suasananya, aku dengan penuh emosi tidak mau mengalah dengan kepulan asap Bapak,
“Bapak,
Tuhan suka bercanda.
Tuhan selalu datang terlambat.
Tuhan sedang main petak umpet.
Tuhan berbunyi nyaring seperti kosongnya hidup.
Tuhan sedang tidak ada kuota.
Tuhan sedang airplane mode.
Tuhan lagi ngambek dan sedang main kode-kode-an.
Tuhan,
Tuhan,
Tuhan.
Dimana?”
Bapak tertawa lebih keras dari bunyi slogan-slogan partai serabutan,
“Itu Tuhan buatan pikiranmu!
Tuhan melampaui apa yang ada di kepala kosongmu!
Dia ada di antara rasa sakitmu, laparmu, ceracaumu, gerutumu, resahmu, makianmu, cacianmu, umpatanmu!
Sembuhkanlah lukamu dengan dialog kita,
Peluklah rasa sakitmu!
Pulanglah ke bentangan tangan syukurmu.
Rengkuhlah luka batinmu dengan membuang jauh utopia kritismu yang tak kunjung nyata.
Tuhan itu ialah hidup, Dia-yang-ada-di-mana-mana.”
Aku rupanya telah membakar separuh ilalang kebon belakang rumah.
“Tuhan telah mati, Pak!
Aku membunuh figur asli Tuhan.
Gelap dan sakit menyelubungi hidupku yang tak kunjung berakhir ini.
Kenyataan tak berpihak kepadaku, lantas dengan alasan apa untuk aku memiliki Tuhan?
Bagaimana bisa kita mencintai tanpa dicintai?
Bukankah lubang terdalam kita ialah untuk dicintai?
Memiliki saja suatu saat akan terurai oleh waktu,
Segala yang tergenggam pasti akan terburai tersapu oleh waktu.
Waktu itu abadi atau fana?
Hidup yang tak punya alasan kuat kenapa aku ada dan di sini?
Hidup yang merintih di bawah acungan ujung-ujung harapan.
Aku sudah mati sebelum hidup, dan hidupku ialah jenazah yang terurai dari sisa-sisa penyesalan yang terlampau dalam.
Tenggelam, merangkak, menolak, sumpah serapah atas hidupku yang tak semulus muka oppa-oppa Soh Dae Yong!”
Kusembur uap-uap kopi ke muka Bapak yang terkekeh menertawakan bocahku yang kambuh. Perlahan ia memadamkan kobaran-kobaran api di sepetak ilalang kebon itu.
“Bukankah kasih itu tak bersyarat?”
Kemudian Bapak menutup ceracau lingsir malam itu,
“Pulanglah!
Kamu terlampau jauh dari jiwamu sendiri.
Pulanglah ke rumah!”
Seketika aku tersadar, bahwa perjalanan terjauhku bukanlah menjauh dari-Nya, akan tetapi perjalan untuk pulang kembali kepada-Nya.
“Aih, andai Bapak di sini semua akan baik-baik saja,
Omong kosong ini dan sindiran masa bodoh mereka,
tak merasuki jenazah hidupku yang sedang tertidur pulas di sudut pemberontakan atas takdir hidupku!”
Kata-kata terakhirku,
“Bapak, kapan saya bisa pulang?”
Sebab di dalam segala, aku memberontak melawan garis takdir kehidupanku.
Terimakasih, Bapak Kami yang Ada di Surga.”
-Yogyakarta, di ruang-ruang gelap.
Foto: Lukisan “Si Mbah”
Dibuat oleh Nurokhman yogyakarta
ukuran 50×70 cm di atas kanvas dengan cat minyak
tahun 1990