Sebelum Kebetulan | Cerita Pendek Faiza Zahra

Sulit disangka, tetapi begitulah hidup. Selalu penuh dengan kejutan di waktu yang tak terduga sekalipun.

Jendela besar nan mengkilat yang membatasi butik sederhana di pinggiran kota ini sungguh membuat pandanganku menjadi lebih kabur. Bulir air hujan terus menerus menetes dengan cepat. Aku menyipitkan mataku dan melangkah lebih dekat, persis di depan jendela tersebut dan menyaksikan banyak orang berteduh di bawah kanopi. Butik ini tidak begitu besar namun jika dibilang sempit juga tidak tepat, tetapi lokasinya yang berada di pinggiran kota membuatnya sedikit mencolok dibandingkan pertokoan lain yang berada di area ini.

Aku menghela napas panjang. Terhitung sudah dua jam kota diguyur hujan deras yang tak disangka akan datang. Sekarang bulan September, sepantasnya kota masih diterpa oleh teriknya matahari dan kau akan memandang orang-orang lebih sering mengenakan pakaian yang lebih tipis dan berpotongan pendek. Kali ini bukan pertama kalinya hujan deras turun di bulan September. Tahun lalu, hal serupa terjadi dan setiap orang yang kukenal di kota ini akan selalu mengawali percakapan dengan celetukan betapa banyaknya jadwal pertemuan yang terpaksa mereka batalkan. Atau tentang beberapa tumbuhan yang layu karena hujan yang terus turun seakan menolak untuk memberikan kesempatan bagi sinar matahari menyinari tumbuhan-tumbuhan itu, menganugerahinya dengan nutrisi.

Berita populer yang terlintas di media sosial biasanya mewartakan akan banjir yang menimpa beberapa kota. Jujur, itu membuatku sedih dan berpikir apakah kelak banjir akan menimpa kota ini? Kota aneh yang menjadi tempat diriku bersemayam dan berkelana, saksi akan kebahagiaan juga masa kelamku. Tak dapat dipungkiri kalau kelak banjir akan menimpa, lambat laun kota ini akan menjadi target selanjutnya. Mungkin 25 tahun lagi? Apalagi, kota ini semakin padat dengan bangunan-bangunan pencakar langit. Sementara, pepohonan mulai tumbang satu per satu, membiarkan tanah tak berkuasa akan air yang seharusnya diserap oleh akar-akar peopohonan.

Menurut artikel yang akhir-akhir ini rajin aku baca, fenomena seperti ini sudah tergolong ke dalam krisis iklim. Berdasarkan arikel tersebut, cuaca yang tidak stabil serta pergeseran antar musim yang semakin cepat menandakan bahwa bumi sedang mengalami krisis iklim yang disangkal oleh banyak golongan manusia. Selain cuaca dan musim yang semakin kacau, biasanya aku menyaksikan raut wajah murung para manusia yang biasanya kutemui, menunggu di peron. Alis mereka seakan-akan menarik air muka mereka dengan rapat.

Aku mengeluarkan ponsel dari tas selempangku, dari layar aku menangkap pantulan wajahku. Aku tersenyum, lalu merengut, lalu aku pasang wajah datar. Terlihat kerutan halus di pipiku. Kutekuk bibir dan segaris kerutan itu tampak di sela hidungku. Aku tertawa kecil, tepat pukul dua belas malam tadi aku meniup lilin dengan angka dua dan lima yang aku pasang sendiri di kue strawberry shortcake mini yang biasanya menjadi santapan khusus di hari aku berulang tahun.

Seandainya banjir akan menelan kota sepenuhnya, aku tak peduli asalkan patisserie tempat cake ini dijual masih berdiri dan menyajikan strawberry shortcake dengan cita rasa paling tepat sedunia. Tekstur sponge cake yang lembut, membuatnya hancur dalam kunyahan mulutku secara lembut, krim yang tidak terlalu manis dan potongan buah stroberi yang memberikan cita rasa asam yang menyeimbangkan manisnya sponge cake dan krim lembut di seluruh permukaannya. Sambil memejamkan mata aku menelan suapan terakhir dari strawberry shortcake itu dan bergumam. Sepertinya, jika banjir terjadi di kota ini, patisserie kesukaanku juga akan tenggelam.

Banjir akan menelan kesenanganku, mimpi-mimpiku, umpatanku, duka orang-orang di kota ini, dan mematikan seluruh kehidupan yang telah dilalui dengan besar kepala serta egois tanpa menyadari bahwa semua dalam pandangan kita itu fana. Selanjutnya kiamat akan menjadi epilog bagi eksistensi dunia yang kukenal, setidaknya.

Kilas balikku seketika buyar ketika seorang wanita dengan kemeja beludru merah dan rok kulit hitam berjalan menepuk pundakku. “Hujannya awet juga ya?”

Aku mengangguk pelan dan tersenyum.

“Malas pulang ‘kan jadinya?”

“Iya, hujan derasnya sudah dua jam. Mana ini masih September, harusnya belum masuk hujan kan.”

“Kamu ada rencana malam ini, Nina?”

“Tentu saja. Malam Sabtu, waktu satu-satunya buat Permana di tengah kesibukan kerjaan yang semakin gila ini. Work and love balance, La. Hahaha.”

“Permana bakal jemput kamu kan? Kalau aku jadi dia, mana aku rela membiarkan gadis terkeren sedunia ini terkena tetesan air hujan sebulir pun.”

Namanya Nina. Ia teman pertamaku sejak aku memutuskan untuk terjun dalam pijakan karirku di butik ini. Tipikal gadis metropolitan yang tak pernah salah dengan apa yang ia kenakan dari ujung ubun-ubun hingga telapak kakinya. Kalau tingginya melampauiku, aku jamin dia bakal jadi seorang model majalah fashion. Karena majalah sudah tidak relevan di era ini, ia memanfaatkan hal tersebut untuk menjadi mikroseleb internet. Sebuah karir sampingan yang menjadi dambaan banyak muda-mudi yang bernapas terengah-engah di antara unggahan foto-foto dan tren baru yang kerap bermunculan dan silih berganti.

Nina tersenyum kecil dan menepuk pundakku. “Bella, Kamu tahu kan Permana seperti apa. Audi kuning itu sudah menjadi belahan jiwanya dibandingkan aku. Diriku, sebagai belahan jiwanya yang lain, tentu akan  ia persilakan untuk duduk dengan nyaman dan tenteram di samping kursi setirnya.”

Aku mengacungkan jempol dan membalas senyumya. “Eh, aku perhatikan interaksimu dengan akun fotografer itu semakin intensif. Kalian selalu berbalas komentar. Jangan-jangan dia suka kamu, La?”

“Akun yang mana? Bukanya aku sering membalas komentar orang yang berinteraksi di akun aku, Na? Pokoknya kalau tidak mengandung hal-hal yang mengganguku, aku balas saja,” balasku santai.

“Itu, yang pakai foto profil kucing tidur sama kamera. Jangan pura-pura tidak tahu ya, Bella. Aku lihat lewat unggahan terbarunya, dia sedang berada di kota ini. Mana mungkin dia jauh-jauh pergi kesini hanya untuk berjalan-jalan saja. Sempatkan dong, waktu untuk bertemu idolanya, Kamu.”

“Yah, terserah kamu lihatnya seperti apa. Tapi kami hanya berteman, tak lebih dari itu. Kalau dia berkespektasi lebih, jangan salahkan aku ya.”

“Tahu tidak? Punya kekasih itu seolah-olah membuatmu merasa kalau apapun yang terjadi, mau kiamat sekalipun, bakal bermakna. Bonusnya, kebahagiaan yang tiada tara. Kok bisa gitu? Soalnya kekosongan yang ada di hatimu itu rasanya terisi oleh cinta yang ia berikan untukmu. Sesuatu yang tidak bakal melulu tercipta hanya dari dirimu seorang.”

Aku tertawa cekikikan sembari menyibakkan rambutku ke belakang telinga dan membalas asumsi Nina, “Ampun, kau menyangka diriku menjalin hubungan asmara? Nina, aku tidak terburu-buru dalam hal tersebut. Aku masih muda dan terlalu sembrono dalam urusan percintaan yang khawatirnya bakal menjadi halaman pengantar untuk keretakan hidupku di masa depan. Lagipula, menjaga hubungan kami sebagai sebatas teman juga bukanlah sesuatu yang buruk kok.”

“Aku lelah melihatmu dekat dengan laki-laki yang semuanya kau anggap teman, Bella…”

“Bagaimana jika aku nyaman dengan statusku sekarang? Bisa bekerja di butik unik seperti ini, memelihara seekor kucing hitam pendiam, membaca buku kesukaan, menonton kartun  Jepang-“

Nina memotong ucapanku. “Bella, kan sudah kukatakan, kamu boleh nyaman dengan semua aktivitas dan kegemarnmu, tetapi kalau kamu melakukannya dengan seorang kekasih yang kamu sayangi, segalanya akan menjadi jauh lebih baik!”

“Bagaimana jika aku sudah nyaman dengan semua yang kumiliki sekarang? Lagipula, cinta tidak melulu tercipta di antara sepasang laki-laki dan perempuan saja, ‘kan?”

“Kalau kamu punya preferensi gender lain juga aku bakal tetap dukung kok.”

Aku menyeringai. “Kamu bisa berpikir sampai sejauh itu ya, Nina. Intinya, cinta tidak perlu selalu romantis dan bergairah seperti kamu dan Permana. Ikatanku dengan kehidupanku sekarang juga bentuk cinta.”

Sambil memejamkan mata perlahan, mataku masih menatap lurus ke hadapan orang-orang yang bersiap untuk kembali menaiki motornya atau membuka payungnya kembali untuk meneruskan perjalanan, suara tetesan hujan yang begitu tajam kini beralih menjadi lebih lembut dibandingkan tadi. Sebuah mobil Audi berawarna kuning mencolok kini berada di depan pandanganku. Nina masih berdiri di sampingku dan melambaikan tangannya. Sepertinya pria yang ia tunggu telah tiba. Sekejap, Nina memelukku dan menyelipkan sesuatu ke dalam saku jaketku. Tanganku langsung meraba apa yang ia masukkan ke dalamnya. Botol kecil. Sebotol parfum, barangkali?

“Cinta akan terungkap lewat aroma yang kau tebar di sekujur tubuhmu. Permana bahkan tidak pernah tahu kalau parfum ini yang membuat dirinya tak bisa berhenti berpikir tentang diriku.”

Aku menarik tangan Nina dengan erat sebelum ia berlari cepat menuju mobil Permana. “Hah? Apa-apaan ini? Guna-guna?” bisikku pelan.

“Yang benar saja, itu parfum favoritku. Kalimat pemanis di awal itu untuk memotivasimu saja, Bella. Semoga kencanmu malam ini berjalan lancar!”

Aku masih berdiri dengan tegap di dekat pintu butik. Melalui jendela besar etalase butik, aku memerhatikan sahabatku. Terlihat tawa lepas Nina dengan Permana yang masih berada di kursi setir mobilnya. Tangan kananku masih memegang erat parfum yang ia berikan padaku. Kuangkat botol kecil itu lebih dekat dengan hidungku. Aroma manis yang subtil, tetapi tidak mudah untuk dilupakan. Deru mesin mobil Permana sayup-sayup tidak terdengar lagi. Suara rintik hujan kalah dengan kompetisi suara klakson bermacam kendaraan yang terjebak macet di luar sana. Sepertinya keganasan hujan di seperempat petang ini perlahan usai. Saatnya menghirup petrikor dan bertukar karbon dioksida dengan lautan manusia di luar sana.

Pelan-pelan, aku menggeser pintu butik, tak lupa untuk menguncinya sebab aku lah orang terakhir yang berada di butik ini. Sudah menjadi kebiasaanku menjadi orang terakhir yang meninggalkannya. Bu Nunik sebagai pemilik butik sudah mempercayakannya padaku sejak aku diterima untuk bekerja di sini. Beliau bilang, karakterku cukup teliti dan tentu saja itu sebuah kelebihan yang jarang ia temukan pada pegawainya di butik ini. Tiada yang luput dari pandanganku akan keseharian dan kebiasaan yang telah menyatu dengan diriku. Begitu pula tiap serpihan di kota ini. Berani bertaruh, ketika banjir besar menelan kota ini bulat-bulat aku akan menjadi manusia yang sanggup bersaksi untuk terakhir kalinya.

Kakiku yang terbalut dalam ankle boots hitam melangkah santai di atas trotoar yang semakin rapuh dan sempit. Sambil menatap lurus ke depan, langit perlahan menjelma lembayung. Riuh jalanan semakin ramai dengan suara klakson yang bersaing dengan azan Magrib. Ah, betapa waktu telah terlampaui begitu cepatnya. Kelak aku akan berumur 27 tahun. Tak terasa, aku akan berumur 35 tahun. Tiba-tiba saja aku akan berusia 50 tahun. Apakah aku masih bisa mendekap kucing hitamku, Leo sampai ia menua atau akankah aku tetap berjalan seorang diri? Tetapi, itu bukan masalah juga. Yah, sewaktu-waktu aku tahu pikiranku dapat saja berubah. Toh itu yang membuktikan kalau aku memang manusia dengan segala perjalanan hidupnya. Kini aku telah sampai di halte bus. Sambil terkikik ringan aku bergumam. Memangnya siapa yang akan berkencan, Nina? Aku bersandar pada tiang halte bus dan memikirkan akan rentetan percakapan kami berdua di tengah derasnya hujan hari ini.

***

Setiap kota memiliki rumah makan, depot, restoran, warung, dan semacamnya yang melegenda. Kadang ia terlihat compang-camping dan cat temboknya entah memudar atau mengelupas. Di sisi lain, mereka seringkali memiliki kapasitas yang terbatas bagi para pelanggan. Namun, karena kualitas hidangan mereka, pelanggan siap mengantre meskipun dengan perut keroncongan sekalipun. Jika aku perhatikan lebih seksama lagi, mayoritas pengunjung rumah makan dengan tipe seperti ini biasanya telah beruban, jalan sedikit membungkuk, wajahnya berkeriput. Para manusia paruh baya ini selalu menjadi indikator akan berkualitas atau tidaknya sebuah rumah makan. Sebab sepertinya, mereka telah menandai rumah makan tersebut sebagai prioritas utama untuk bersantap. Belum lagi jika mereka datang ramai-ramai, artinya mereka ingin orang-orang yang mereka percaya atau sayang untuk turut merasakan kelezatan akan hidangan di rumah makan tersebut. Ada juga yang menawarkan autentisitas pengalaman dalam mencicipi tiap hidangannya.

Ibuku ialah seseorang yang sebenarnya membiasakan lidahku untuk mewarisi selera yang serupa dengan dirinya. Baginya, ia memiliki selera yang bagus dalam perkara hidangan. Orang muda kerap acuh dengan hidangan berkualitas dan autentik. Menurut beliau, bisnis kuliner era sekarang dipenuhi dengan gimik dan inkonsistensi rasa. Makanan menjadi sesuatu yang mudah dioper kesana kemari layaknya bola sepak. Baiklah, secara estetika mungkin dapat dikatakan cukup menggugah. Tetapi, begitu hidangan kekinian itu selesai kau kunyah dan meluncur melalui kerongkonganmu, ledakan rasa yang mereka gemborkan seketika sirna. Setting rumah makan serta estetika hidangan itu sebenarnya demi kebutuhan eksistensi diri yang dipajang pada media sosial target mereka. Memuaskan mata, namun perasaan puas dan kenyang itu serasa tiada.

Seorang pramusaji membawa sepiring hidangan yang tak asing bagiku di nampan yang ia bawa dengan sigap serta kehati-hatian yang terlihat. Tentu ia sudah terbiasa dengan pekerjaan ini. “Nasi kari ayam pedas satu, Kak?” ujarnya dengan ceria. Aku mengangguk. Ia meninggalkanku dengan sepiring nasi kari ayam pedas yang aku pesan sejak 20 menit yang lalu. Ini menu andalanku sejak Ayah dan Ibu membawaku ke rumah makan sempit ini. Lokasinya ada di tengah pasar yang tidak begitu besar, namun cukup ramai sejak dahulu. Keluarga kami mempunyai kebiasaan untuk makan bersama di rumah makan ini. Ayah dengan sepiring Nasi kari ayam tidak pedasnya, sedangkan aku dan Ibu lebih menyukai nasi kari ayam yang pedas.

Kata Ayah, kokinya keturunan Pakistan dan hidangan yang disajikan di sini merupakan resep turun temurun dari nenek moyangnya. Oleh karena itu, lumrahnya hdangan utama di sini punya cita rasa pedas dan berempah yang cukup kuat. Sayangnya lambung Ayah tidak begitu kuat dalam menghadapi makanan pedas. Ibu kadang meledeknya lemah karena hal itu, tetapi Ayah tak pernah ambil pusing dengannya. Momen yang kami alami di tempat ini begitu melimpah dan hangat. Sayangnya meja dengan tiga kursi itu hanya terisi oleh dua orang, aku dan ibuku. Lama-lama menjadi diriku saja tanpa mereka berdua. Aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa akan perpisahan keluarga kami.

Ayah sudah pindah menuju kota yang jaraknya ratusan kilometer dari sini. Sejak ia mengepak seluruh barangnya ke dalam koper merahnya yang butut, aku tak pernah menuntutnya untuk menghabiskan akhir pekan bersamaku dan Ibu di rumah makan ini. Tetapi aku selalu berharap bahwa Ayah tidak akan pernah bisa menemukan rumah makan yang menjual nasi kari ayam seenak ini di mana pun beliau berada.

Akankah ia kembali demi kelezatan nasi kari ayam yang tiada tara ini? Pertanyaan itu abadi dalam tiap kunyahan mulutku setiap kali aku memutuskan untuk menyantap hidangan di sini. Pengalaman yang mengubah tiap langkah akan hidupku terikat dengan rumah makan ini. Kadang ada melankoli yang ikut kutelan bersama dengan resapan rempah dan pedasnya daging ayam dalam nasi kari ini. Aku takkan bisa mengulang akhir pekan yang tampak sederhana itu. Kalaupun hanya ada aku dan Ibu saja, lontaran lelucon itu seakan dingin seperti hidangan yang dibiarkan di ruangan terbuka. 

Kalau boleh jujur, sudah 3 tahun aku tidak makan di tempat ini bersama Ibuku. Tiga tahun belakangan ini kami kerap berargumen akan hal-hal yang terlihat remeh temeh. Beliau meragukan akan kepastian karirku dan hal tersebut membuatnya khawatir akan kelangsungan finansial kami. Apa boleh buat, tak selamanya hasratku dalam hal-hal yang kucintai akan membawa kami ke gerbang kekayaan. Namun, hal tersebut membuatku merasa sedikit lebih hidup dibandingkan dengan pekerjaan korporat yang ia harapkan akan aku ambil secara penuh. Aku pernah berjanji padanya bahwa suatu hari akan kulakukan hal tersebut, meskipun bukan sekarang waktunya. Tetap saja, kami masih sering berargumen akan hal itu. Akhirnya aku memutuskan untuk meminimalisir pertemuan dengannya. Jangan salah, aku masih rajin mengunjunginya selama 2 hari tiap akhir pekan. Sayangnya, untuk sekadar makan malam berdua saja tak ada yang berinisiatif untuk melakukannya. Ibu mungkin berpikir bahwa kini aku memiliki kehidupanku sendiri dan tidak membutuhkannya. 

Sesungguhnya, jika beliau berpikir seperti itu, salah besar. Aku sangat menyayanginya, aku membutuhkannya. Setiap teman dan kolega yang aku kenal sebisa mungkin akan kuajak untuk menyantap hidangan bersama di tempat ini. Wajah mereka yang sumringah dan pujian yang tak henti-hentinya akan kelezatan makanan di rumah makan ini membuatku bangga akan seleraku yang setidaknya, selalu diandalkan oleh mereka untuk mencari lokasi kuliner yang tepat. Kadang aku menitikkan air mata di tengah hiruk pikuk tawaku dengan mereka. Jauh di dalam hatiku aku berterima kasih akan Ibu yang selalu mengantarkanku pada warung, rumah makan, restoran, hingga depot yang menjadi andalannya di kota ini dahulu saat kami masih akrab bercengkerama.

Ah, waktu dahulu yang begitu damai dan menyenangkan. Sayangnya waktu tak bisa diputar kembali. Lebih baik aku abadikan, bagaikan jurnal kuliner untuk diriku di tengah kota yang hampir roboh ini. Makanya, aku mengabadikan bentuk cintanya akan hidangan berkualitas serta kasihnya kepadaku sebagai anak perempuan satu-satunya dengan terus mengajak teman dan kolegaku untuk bersantap di sini. Setidaknya, aku mewarisi kebaikan darinya bukan?

Nasi kari ayam pedas yang masih belum tersentuh sekalipun masih kubiarkan teronggok di atas meja makan. Takkan kusantap sampai orang yang memiliki janji temu denganku datang. Setidaknya, hal itu takkan bertahan lama.

Derap kaki yang tegas kudengar dengan begitu jelas. Sosok tersebut menyeret kursi di depanku dan ia mendaratkan pantatnya di atas alas kursi yang keras. Tangannya dengan sigap menyobek tisu yang tersedia dalam wadah di atas meja makan. Pria itu mengusap keringat yang bercucuran di dahinya dengan tisu tersebut. Basah mengkilap, kamera yang dikalunginya bergoyang-goyang seraya ia memajukan tubuhnya ke arahku. Ia menghela napas panjang. 

“Bella kan? Tidak salah lagi, yang rambutnya keriting dan sepanjang itu hanya kau di sini. Terima kasih sudah mau repot-repot bertemu denganku,” ujarnya dengan nada agak pelan.

Aku tersenyum. “Hei santai saja. Aku juga suka mengajak temanku makan malam di rumah makan langgananku. Kuharap kau menikmati kota ini.”

Ia melancong dari kota asalnya yang berjarak sekitar dua provinsi dari sini. Katanya, ada proyek pekerjaan yang harus ia tuntaskan dalam waktu seminggu. Melalui aplikasi pesan instan di internet, kami memutuskan untuk saling bertemu di sini. Membosankan jika pertemanan ini hanya sekedar alam virtual saja. Walaupun aku tak pernah melihat potret dirinya dalam akun sosial media tempat kami berteman, ia tidak tampak mencurigakan. Rambutnya ikal kecokelatan, berkaus merah dengan kemeja flanel dan celana kargo pendek berwarna hitam. Tak lupa, kamera yang masih ia kalungi bahkan saat ia telah duduk di hadapan meja makan.

Pria itu mengangguk antusias. “Tentu. Kalau boleh jujur cuaca di sini sedikit aneh, kadang panas sekali, tetapi sekalinya hujan bisa sederas tadi ya haha.”

Aku membalas, “Bukan hal yang baru di sini. Tetapi itu semua akan terbayar tuntas dengan kuliner lezat yang akan kau temui di sepanjang kota ini.”

Sembari melepas kamera yang masih mengalung di lehernya, ia mengulurkan tangan. Alisku terangkat. Tidak, aku tidak salah lihat. Ke mana jari kelingkingnya? Mengapa hanya ada empat jari? Tetapi, aku berpura-pura tidak menyadari hal itu.

“Seperti waktu kita berkirim pesan, panggil saja Dimar ya. Salam kenal, kembali!” Aku menyambut uluran tangannya dan kami berjabat tangan cukup erat. Sepertiya ia sadar akan keherananku. Tentang rasa penasaranku akan jarinya yang berjumlah empat. Ia tertawa kecil. “Sebenarnya aku sanggup menjelaskan kenapa jariku tidak berjumlah lima seperti kebanyakan orang. Tetapi aku ragu kau mau mendengarkannya karena kurang etis membicarakan hal yang agak aneh ini di depan hidangan yang lezat. Lagipula, lebih baik kau makan nasi karimu Bella. Kalau dingin, ia tidak akan seenak itu untuk disantap.”

Sambil menyengir aku menggeser piringku yang masih terisi nasi kari ayam pedas tanpa berkurang sedikitpun. “Kalau kau tidak keberatan saja, tolong ceritakan padaku. Sudah pesan makan belum? Ngomong-ngomong, nasi karinya lho yang khas dan terlaris di sini.”

“Tentu, aku pesan nasi kari ayam tidak pedas sepiring. Tadi pramusajinya merekomendasikannya padaku. Jadi kau tak usah khawatir akan hal itu, Bella.” Dimar menundukkan kepalanya sedikit dan memegang tangan kanannya yang berjemari empat di atas tangan kirinya yang memiliki jumlah jari yang lengkap. Tampaknya ia akan melanjutkan ceritanya.

“Dulu semasa aku masih berumur empat belas tahun, aku biasa menaiki bus untuk pulang sekolah. Di kotaku tidak ada jembatan penyeberangan, jadi kami hanya mengandalkan zebra cross. Kalau tidak ada zebra cross, kami harus ekstra hati-hati dan berdoa supaya tidak diterjang kendaraan yang melaju dengan kencang. Sayangnya, ada saja rintangan yang harus dihadapi. Kali kelima aku menyeberang, seorang pengendara motor yang diketahui sedang mabuk menabrakku dan aku terpental sekitar sepuluh meter dari lokasi asliku saat menyeberang. Setelahnya aku tidak ingat apa-apa dan ketika aku terbangun di rumah sakit, sekujur badanku penuh dengan perban dan aku menyadari jari tangan kananku berkurang satu.”

Aku menutup mulut dengan kedua tanganku yang terbuka lebar saking kagetnya. Dimar tersenyum tipis. Ia meraih kamera yang tergeletak di meja makan. Aku memujinya. “Hebat kau Dimar, masih jadi fotografer handal meskipun kau ada dalam kondisi seperti itu.”

Dimar menggelengkan kepalanya berulang kali. “Fotografi telah menjadi penyelamat di masa-masa aku terpuruk. Menyerah untuk melakukannya bakal menjadi keputusan bodoh yang akan kusesali seumur hidup. Untung saja aku memilih untuk terus memotret dengan kesembilan jariku ini. Aku sejujurnya nggak peduli, meskipun tanganku harus diamputasi sekalipun aku mau tetap terus memotret.” Dimar ada benarnya. Sepertinya itu bentuk cinta yang ia temukan dalam hidupnya untuk bertahan.

“Bella.”

“Ada apa?”

“Boleh tidak, jika aku memotretmu sekarang, di sini?”

Suasana rumah makan masih ramai. Pramusaji membawa sebuah nampan dengan sepiring nasi kari di atasnya. Ia meletakannya di depan Dimar dan memastikan bahwa itu benar-benar pesanannya. Dimar mengangguk dan pramusaji itu perlahan menjauh dari kami. Tetapi, tetap saja di antara kami ada sunyi di tengah keramaian rumah makan yang semakin sibuk di jam makan malam.

Aku mengangguk. “Silakan saja, setelah itu kita makan nasi karinya yuk?” sahutku untuk memecah keheningan.

Dimar memposisikan kameranya secara presisi dan menekan tombol shutter. Cekrek! Ia menunjukkan hasil potretannya kepadaku. Aku mengacungkan kedua jempolku dan tersenyum lebar, puas dengan hasilnya. “Aku suka hasil potretanmu. Nanti aku minta ya, kalau waktumu sudah senggang? Sekarang, mari makan!”

Kami menyantap nasi kari ayam yang telah kami nanti untuk disantap. Dimar tersenyum kepadaku sambil menelan kunyahan pertama. Tampaknya ia menyukai cita rasa hidangan yang telah ia pesan. Terima kasih ibu, seleramu memang tak pernah salah. Melihat ekspresi gembira Dimar, aku teringat apabila diriku, Ayah, dan Ibu menikmati hidangan di rumah makan ini lalu bersenda gurau tanpa henti selepas kekenyangan. Tentu itu takkan terulang lagi. Tetpi, menyaksikan kebahagiaan dan kepuasaan akan makanan yang dinikmati teman-temanku di sini seakan-akan menghidupkan kembali nostalgia kenangan akan keluargaku yang telah berjalan ke tujuannya masing-masing sekarang. Tak masalah, itu dinamika hidup. Pokoknya, aku dapat meneruskan cinta mereka kepada teman-teman yang kusayangi, ataupun kolega yang menurutku cukup baik dalam bekerja sama.

Mataku berkeliaran ke sudut-sudut rumah makan ini sebisa yang aku jangkau. Tiada yang berubah, kecuali kenyataan di mana keluarga kini memiliki makna yang berbeda dibandingkan dengan keadaanku dahulu. Dimar menghabiskan hidangannya duluan. Piringnya begitu bersih mengkilap tak bersisa. Aku menyusulnya tak lama setelah itu. Begitu mengenyangkan dan lezat.

“Sebenarnya aku sangat terkejut begitu aku tahu kau memutuskan untuk bertemu denganku di sini, Bella.”

Sambil mengusap mulutku dengan tisu, aku memiringkan kepalaku. “Serius Dimar? Memangnya kenapa?”

“Ayahku, beliau sangat menyukai nasi kari ayam. Terutama yang bergaya Timur Tengah seperti ini. Katanya ada tempat yang menyajikan nasi kari ayam dengan gaya Timur Tengah seperti preferensinya itu. Tetapi tempatnya jauh dari kota asalku.”

Tawaku lepas. Rasanya ada yang terpelatuk dalam pikiranku. “Yang benar? Kutebak ia suka makanan pedas?” Ada yang aku curigai. Makanya, aku menguji Dimar dengan pertanyaan terakhir.

“Bagaimana ya, ia kadang menyantap makanan pedas.” Aku menatap ke langit-langit dan menghela napas panjang. Dugaanku salah, gumamku lega. “Tapi Bella, sebenarnya Ayah tidak kuat pedas. Sok-sokan saja buat memaksakan diri. Untuk dapat hidup pada suatu masa yang pernah ia alami sebelum ia bertemu denganku dan ibu.” Aku tersentak.

Dimar melanjutkan ceritanya. “Aku tidak terlalu tahu bagaimana masa lalunya sebab ia cukup tertutup akan hal itu. Tapi di lain hal, ia sangat baik dan pengertian. Ia bahkan menginspirasiku untuk tetap memotret walaupun jari tangan kananku tinggal empat. Katanya, akan ada suatu momen atau objek yang takkan dapat kutemui lagi dan untuk menguncinya dalam ingatan aku harus pantang menyerah dalam fotografi untuk mengabadikannya dalam ingatanku. Betapa istimewanya fotografi bagiku sebab kalimat yang pernah Ayah sampaikan kepada diriku.”

Ini tidak mungkin nyata. Aku menekan kelopak mataku pelan dan menatap Dimar tajam-tajam. Tiba-tiba saja pramusaji tiba dan membereskan piring kotor kami. Sambil mengucapkan terima kasih dengan sigap tanganku meraih struk pesanan yang hampir ia ambil untuk dibuang. Di sisi yang kosong aku tulis sesuatu. Untung saja aku membawa bolpen. Dimar menepuk pundakku pelan. Tidak mungkin, ia tidak miirp dengannya, ucpaku dalam hati. Siapa Dimar sesungguhnya?

“Bella, aku tidak percaya dengan ramalan dan sebagainya. Tetapi harus kuakui beberapa kebetulan yang akhir-akhir ini aku temui selalu memiliki peringatannya di awal berupa simbol-simbol aneh yang kerap muncul dan aku interpretasi secara asal.”

“Lalu?”

“Matamu yang cokelat kehitaman, ceruk matamu yang agak cekung tetapi lebar itu… serupa dengan seseorang yang aku kenal.”

Aku menyodorkan kertas struk yang bercantumkan akan nama yang telah aku tulis. Jantungku berdegup kencang. Mata Dimar terbelalak begitu ia membaca apa yang ada di kertas itu. Ia memegang dagunya erat dan menatapku sambil tersenyum kecut.

“Ah, itu nama Ayahku. Bagaimana kau tahu?”

Hartono Maulana. Itu nama yang aku tulis di atas secarik kertas struk pesanan nasi kari ayam pedas kesukaanku. Nama Ayah Dimar. Nama Ayahku juga, yang telah lama tidak menemuiku selama 8 tahun.

***

Ada banyak taman di kota ini. Tetapi tidak akan ada taman yang mempunyai pesona seunik Taman Cita. Taman Cita secara langsung berada di belokan jembatan yang dekat dengan sungai terpanjang di kota ini. Pohon-pohon di sini berjejer dengan rapi, menjadikan taman ini begitu rindang. Ada beberapa ayunan, jungkat-jungkit, serta permainan sederhana lain di tengah wilayahnya. Anak-anak kecil biasanya bermain di sana. Aku dan Dimar yang duduk di tepi sungai dapat mendengar sayup-sayup tawa anak-anak kecil yang bermain di sana.

Tiga hari sejak kami makan malam bersama di rumah makan legendaris itu, kami memutuskan untuk tetap bertemu di waktu senggang kami sambil menertawakan kebetulan yang akhirnya bersinggungan di garis kehidupan kami. Sulit disangka, tetapi begitulah hidup. Selalu penuh dengan kejutan di waktu yang tak terduga sekalipun.

Sambil memainkan rerumputan yang menjadi alas duduk kami aku menghirup udara segar di tengah hiruk pikuk kota yang sibuk dan bermandikan polusi.Aku menatap Dimar yang dengan tenangnya mengawasi sekitaran taman.

“Dimar, waktu kau kecil, suka main ayunan tidak?” Dimar terkekeh.

“Aku suka sekali, sampai aku pernah jatuh dan lututku tak hentinya mengeluarkan aliran darah.”

“Yang penting tidak sampai jarimu sisa empat saja kan? Hahaha.” Kami berdua tertawa lepas.

Seusai pertemuan kami untuk pertama kalinya, dalam perjalanan pulang Dimar bilang saat ia berumur 18 tahun, ibunya menikah dengan seorang duda. Sebenarnya ia tidak peduli mau ibunya menikah lagi atau tidak, yang penting ibunya tidak merasa kesepian lagi. Sebelumnya ibunya terlalu sering melamun dan Dimar mengkhawatirkan itu.

Di sisi lain, aku tak pernah menemui ayahku yang tak jelas keberadaannya di mana. Aku pun ogah untuk mencari tahu akan hal tersebut kendati ibuku selalu sebal mendengar namanya disebut sedikitpun. Namun, kini semua semakin jelas. Sosok yang sama. Ayah bagi kami berdua. Jelas ada cela yang menempel dalam diri pria paruh baya itu. Tetapi aku bersyukur aku dapat bertemu dengan seseorang yang membuatku berpikir ulang untuk mrekonstruksi makna keluarga yang sesungguhnya. Tentang cinta yang kutemukan secara tidak sengaja dan tidak terduga. Sesuatu yang tak pernah kukejar kencang, tapi selalu kuraba di tengah kegelapan. Aku meraih kamera Dimar dan memberinya aba-aba untuk tersenyum. Ia tersenyum dengan menunjukkan barisan giginya. Cekrek! Potret diri pertama saudara laki-lakiku.

“Bella, maaf ya aku tidak tahu dia bisa sejahat itu kepadamu.”

Aku menggelengkan kepalaku. “Bukan masalah.”

“Saat kecelakaan itu terjadi, aku belum bertemu dengannya. Baru empat tahun sesudahnya saat aku bersantai di sofa ruang tamu, Ayah menyadari kalau ada kamera yang berdebu di etalase kecil ruang tamu. Ia mengambil lap dari garasi dan mengusap debu yang menempel di kameraku sebersih mungkin dan menyerahkan kamera tersebut kepadaku.”

“Lalu ia mengatakan kalimat klise itu seakan-akan ia pahlawan hidupmu bukan?”

“Sialan, aku jadi termotivasi karena kalimat klise itu, Bella. Hahaha!” Kami berdua tertawa terpingkal-pingkal sampai orang-orang yang melewati kami tak segan untuk menoleh dan memasang ekspresi keheranan.

“Dimar, kalau kita bertemu lebih awal betapa menyenangkannya kalau kita bisa main ayunan bersama,” kataku pelan.

Angin berhembus semakin kencang. Rintik-rintik hujan mulai turun secara cepat dan tak terduga. Padahal langit tidak begitu gelap. Dimar bangkit dari duduknya dan  menarik tanganku, aku berdiri di sampingya. Ia menunjuk ayunan di sebelah barat taman.

“Masih mau main ayunan?” tawarnya.

“Siapa takut?”

“Bahkan kalau hujan deras sekalipun?”

“Sekalipun kota ini ditelan banjir bandang sepertinya akan menyenangkan jika aku bisa terus main ayunan bersamamu.”

“Kau mulai terdengar seperti Ayah, Bella. Ucapan klisemu itu. Tapi puitis juga ya.”

“Sialan, kalau begitu mari kita berlari. Yang sampai duluan traktir nasi kari ayam ya?”

“Siapa takut?”

Kami berlari meskipun hujan turun semakin deras dan sejujurnya aku tak tahu siapa yang akan memenangkan tantangan ini. Satu hal yang pasti, kebetulan akan mengantarmu pada cinta dan jawaban yang tak pernah kau nantikan dalam hidupmu. Kota ini akan selalu menjadi tempat diriku menumbuhkan pertanyaan dan mendapatkan jawaban. 


Editor: Michael Pandu Patria
Foto sampul: Ilustrasi
Faiza Zahra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Warna Angin di Matamu: Kumpulan Puisi Ramli Qamarus Zaman

Next Article

Menakar Produktivitas dan Efektivitas Merchandise: Bayangan Keberlanjutan | Music Merch Fest 2023