Kabar duka tengah menyelimuti lanskap demokrasi Indonesia. Pasalnya, Daniel Frits, seorang aktivis lingkungan Karimunjawa telah dijatuhi putusan pidana penjara selama 7 bulan, karena menolak kehadiran tambak udang ilegal. Putusan ini dibacakan di Pengadilan Negeri Jepara (4/4). Daniel didakwakan berdasar pasal 28 UU ITE. Oleh sejumlah akademisi dan aktivis digital, pasal ini dinilai adalah pasal karet yang dapat mencelakakan dunia kebebasan berekspresi di Indonesia.
Tak hanya Daniel, sejumlah aktivis pun kerap mengalami kriminalisasi akibat UU ITE. Laporan SAFEnet mencatat sebanyak 393 orang dikriminalisasi dengan UU ITE sepanjang tahun 2013-2021. Lantas, apakah Daniel sebagai seorang yang mengabdikan diri untuk menjadi pejuang lingkungan hidup pantas mendapat kriminalisasi?
Menyoal Regulasi Perlindungan Aktivis Lingkungan
Sejatinya, berbicara mengenai lingkungan tak dapat dilepaskan dari perbincangan mengenai hak asasi manusia (HAM). Akses lingkungan yang baik dan sehat merupakan hal yang diatur dalam pasal 9 UU HAM. Lantas, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana jika masyarakat tidak mendapatkan akses lingkungan yang baik dan sehat? Jawabannya adalah masyarakat harus berjuang dan bersuara terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi. Inilah yang dilakukan oleh Daniel.
Tetapi, perilaku mulia dari Daniel malah mendapatkan ganjaran yang nir-keadilan dari negara. Daniel dihukum dengan pidana penjara berdasarkan dakwaan UU ITE. Hukuman ini berbanding terbalik dengan apa yang dijelaskan dalam pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa “setiap orang yang memperjuangkan hak lingkungan hidup yang baik dan sehat yang didasarkan pada itikad baik tidak bisa dituntut secara pidana ataupun digugat secara perdata.”
Dari pasal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Daniel mengalami judicial harassment. Judicial harassment adalah praktik membungkam kritik dengan cara penetapan tersangka, penahanan, diperhadapkan ke pengadilan, bahkan sampai kondisi yang paling parah adalah dipenjarakan. Kondisi demikian bertujuan untuk menciptakan pemikiran paranoid kepada orang, sehingga jera untuk menyuarakan kritik demi kepentingan publik.
Padahal, bentuk aktivisme yang dilakukan Daniel sejatinya adalah bentuk partisipasi publik kepada negara, di mana negara seharusnya memperhatikan partisipasi tersebut. Tetapi, pemenjaraan Daniel adalah wujud di mana pengadilan mempraktikkan wrongful conviction atau peradilan sesat. Wujud dari peradilan sesat adalah menjatuhkan pidana kepada suatu perbuatan yang bukan merupakan perbuatan pidana. Padahal, resolusi A/RES/53/144 dari PBB menjelaskan bahwa “setiap orang memiliki hak, secara individual maupun dalam hubungannya dengan yang lain (lingkungan hidup), untuk mempromosikan dan berupaya melindungi dan merealisasikan hak asasi manusia dan kebebasan dasar di tingkat nasional dan internasional.”
SLAPP dan Kriminalisasi
SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation), adalah sebuah istilah mengenai gugatan yang dilakukan oleh seorang pihak dengan tujuan menghentikan partisipasi publik. Dalam konteks kasus Daniel, yang hendak dihentikan dan digagalkan adalah proses advokasi lingkungan hidup. Lantas, tiga karakter dasar perkara yang dapat dikategorikan sebagai SLAPP adalah pertama, upaya pembungkaman melalui mekanisme hukum pengadilan. Kedua, menciptakan permainan baru melalui pengadilan karena hakim pengadilan dominan menjadi corong UU dan fokus pada batasan legal-formal. Ketiga, mengeringkan sumber daya, energi, dan komitmen dari proses advokasi lingkungan hidup.
Sebenarnya, permasalahan mengenai SLAPP telah diatur oleh MA dalam SK KMA Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup yang di dalamnya mengatur tentang ketentuan Anti SLAPP. Tetapi, yang menjadi persoalan adalah Majelis Hakim PN Jepara hanya mempertimbangkan kriminalisasi Daniel dalam wujud peringanan hukuman, bukan dalam wujud membebaskan Daniel dari segala dakwaan.
Hal ini tentunya berangkat dari sistem hukum Indonesia yaitu civil law. Sistem hukum civil law menghendaki hakim menjadi corong dari UU. Keadaan demikian mengakibatkan hakim hanya memutus berdasarkan apa yang dibunyikan dalam UU saja, tanpa melihat sebuah peristiwa dari latar belakang serta upaya Daniel dalam memutus rantai tambak udang ilegal di Karimunjawa. Dalam hal ini, hakim hanya mengadili dalam batasan legal-formal semata.
Tetapi, seharusnya hal tersebut dapat diputus oleh hakim dengan kebijaksanaan untuk mempertimbangkan aspek-aspek kehidupan dan lingkungan yang ada di masyarakat Karimunjawa. Pasalnya, kehadiran tambak udang ilegal yang meningkat menjadi 33 titik pada 2023 menyebabkan penurunan penghasilan nelayan dan menimbulkan masalah kesehatan akibat limbah yang dihasilkan.
Preseden Buruk bagi Dunia Aktivisme
Putusan Daniel Nomor 14/Pid.Sus/2024/PN Jpa pada akhirnya menjadi mimpi buruk bagi dunia kebebasan berekspresi dan kelestarian lingkungan hidup. Putusan demikian dinilai menjadi preseden yang terlampau buruk untuk seluruh pegiat lingkungan hidup di Indonesia. Bukan hanya itu, putusan tersebut sejatinya telah menghancurkan kepercayaan publik dan menimbulkan ketakutan masyarakat untuk memperjuangkan lingkungan hidup.
Saat ini, tim advokasi Daniel sedang mengajukan banding terkait dengan kasus yang menimpa Daniel. Harapannya, hakim Pengadilan Tinggi (PT) dapat memertimbangkan aspek kemanusiaan dan ekologis lingkungan dalam menangani perkara ini. Hendaknya hakim keluar dari batasan corong UU, untuk menciptakan putusan yang mencerminkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Preseden buruk yang dihasilkan oleh PN Jepara haruslah dipatahkan oleh hakim PT. Hal ini bertujuan agar preseden tersebut tidak menimbulkan kriminalisasi berlanjut bagi aktivis-aktivis lingkungan hidup lainnya. Dalam konteks yang lebih jauh, keberadaan Daniel yang mengabdikan diri menjadi pejuang lingkungan adalah bentuk kerelaan hatinya untuk menunjukkan moralitas dalam menjunjung tinggi keadaban terhadap lingkungan hidup itu sendiri.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: SAFEnet