Sumatra: Krisis Global di Kapitalisme Pinggiran

Bencana yang terjadi di Aceh dan Sumatra membuka mata kita bahwa yang terjadi bukan saja tentang bencana alam.

Seraya masih dalam duka cita yang mendalam, Sumatra mengingatkan kita kepada dua film dokumenter fenomenal tentang sejarah kekerasan anti-komunis di Indonesia, Jagal/The Act of Killing (2013) dan Senyap/The Look of Silence (2014). Dua film dokumenter itu garapan sutradara Amerika, Joshua Oppenheimer, yang berhasil menyabet berbagai penghargaan hingga mengantarkan sejarah kekerasan anti-komunis tahun 1965-1966 menjadi diskursus global.

Kedua film itu menampilkan cerita mengenai para pelaku sejarah pembantaian orang-orang dan simpatisan komunis melalui sudut pandang para jagal itu sendiri (Jagal), dan keluarga korban pembantaian yang berusaha mengangkat kembali diskursus sejarah gelap itu melalui dialog dengan para jagal (Senyap). 

Meskipun film ini mendapatkan berbagai kritik, antara lain seperti bahwa film ini menjadi semacam sinekdoke yang hanya menghadirkan subjek sejarah dari bumi Sumatra saja tanpa melibatkan aktor-aktor dari wilayah Indonesia yang lain, sehingga tidak berhasil memotret kompleksitas diskursus politik mengenai tragedi ‘65 pasca Orde Baru (Intan Paramaditha, 2019).

Namun, kiranya perlu untuk mengingat kembali mengapa subjek yang dihadirkan di dalam film tersebut hanya pelaku sejarah di Sumatera Utara saja. Hemat saya, barangkali Jagal dan Senyap tidak akan pernah dibuat jika Joshua tidak terlibat dalam produksi film dokumenter bersama 11 sutradara lainnya, yaitu The Globalization Tapes (2003).

The Globalization Tapes adalah dokumenter mengenai pekerja perkebunan sawit di Sumatera Utara. Pembuatan film ini dilakukan dengan melibatkan Perhimpunan Buruh Perkebunan Independen (PERBBUNI) Sumatra. Melalui penelusuran nasib pekerja perkebunan sawit di sana, film ini menghadirkan informasi sejarah yang menghubungkan kondisi pekerja kebun sawit pada waktu itu. Tentu saja juga hari ini dengan situasi ekonomi-politik pada masa Orde Lama dan Orde Baru, salah satunya imbas dari transisi pemerintahan Orde Lama-Orde Baru yang diwarnai kekerasan anti-komunis, dan juga dengan diskursus mengenai globalisasi yang berkaitan erat dengan kehidupan kita.

Dengan meninjau bahwa dua film mengenai sejarah pembantaian komunis tahun 1965-1966 tersebut berkaitan dengan The Globalization Tapes, baiknya bila dokumenter tersebut juga dilibatkan dalam satu korpus teks sejarah kekerasan anti-komunis di Indonesia bersama dengan Jagal dan Senyap.

The Globalization Tapes

Dokumenter ini adalah bagian dari program edukatif International Union of Food, Agricultural, Hotel, Restaurant, Catering, Tobacco and Allied Workers’ Association (IUF) berkolaborasi dengan Perhimpunan Buruh Perkebunan Independen (PERBBUNI) dan Vision Machine Film Project, yang mendorong gerakan pekerja untuk turut mengintervensi kontrol atas globalisasi. Tipikal sebuah dokumenter, film ini dipandu oleh subjek-voice-over dari kelompok PERBBUNI di Sumatera Utara yang tampil dalam adegan-adegan diskusi, wawancara, dan serangkaian mise-en-scene lainnya sepanjang film.

Terdiri dari tiga bagian, film dokumenter ini berusaha membantah narasi umum mengenai globalisasi. Globalisasi secara definitif yang hendak dibantah dalam dokumenter ini adalah fenomena bisnis skala global yang merupakan akibat dari logika pasar bebas. Voice-over-narator (Karman, PERBBUNI) yang kontra dengan sistem di balik globalisasi ini menyatakan bahwa, “globalisasi itu bisa dihindari dan ditiadakan.” Agensi untuk menantang globalisasi itu dilakukan melalui agenda perserikatan buruh perkebunan yang perlu dilakukan secara mengglobal pula.

Siapa para buruh kebun ini dan mengapa cerita mereka perlu dihadirkan adalah hal mendasar yang perlu diketahui. PERBBUNI adalah serikat pekerja perkebunan yang bekerja di sektor kakao, karet, dan sawit (mayoritas). Buruh ini bekerja di bawah perusahaan Belgia Société Financière (Socfin) sebagai perusahaan induknya. Socfin sendiri merupakan perusahaan induk dari PT Socfin Indonesia, salah satu perusahaan perkebunan sawit dan karet yang beroperasi di Sumatera Utara dan Aceh dengan kawasan operasionalnya lebih dari 46.000 Ha. Perusahaan ini mempunyai sejarah panjang di Sumatra sejak 1908. Socfin berdiri sebagai salah satu perusahaan multinasional yang menguasai sektor perkebunan di Indonesia, dengan modal dari bank-bank internasional seperti HSBC, Citibank, dan Bank Dunia.

Intensi perusahaan multinasional yang mendapatkan kucuran dana internasional itu barangkali cukup menjelaskan mengapa sawit menjadi ladang subur bagi banyak perusahaan. Minyak kelapa sawit merupakan bahan mentah dari produk-produk yang kita konsumsi sehari-hari, mulai dari sabun, margarin, keju, produk-produk kosmetik, dan lain-lain. Ladang subur inilah yang membuat perusahaan-perusahaan sawit akan mengerahkan segala upaya untuk mempertahankan bisnisnya, meskipun itu berarti pembukaan lahan besar-besaran di hutan-hutan tropis, pengambilan lahan secara paksa, dan juga penggusuran. Meskipun dipegang oleh perusahaan multinasional, kesejahteraan buruh perkebunan sawit tidak terjamin. Dokumenter ini menampilkan berbagai isu yang dialami oleh para buruh kebun sawit, seperti upah rendah, tidak ada jaminan keselamatan operasional, dan persoalan-persoalan lain.

Sang subjek sebenarnya menyadari ketidakadilan yang dialaminya. Hal inilah yang menjadi kausal keberadaan PERBBUNI. Serikat buruh bertujuan untuk mewadahi keresahan para buruh yang mengalami eksploitasi oleh perusahaannya. Namun, sejarah kekerasan anti-komunis 1965-1966 masih menjadi momok besar bagi rakyat dan pekerja untuk mewujudkan simpul kekuatan melawan elit-elit penguasa lahan produksi.

Meskipun PERBBUNI terbentuk, begitu juga serikat-serikat buruh independen lainnya, Orde Baru meninggalkan jejak lama yang tak kunjung tersembuhkan. Pemerintahan Soeharto dimulai dengan Gestok yang penuh intrik politik hingga pembantaian sekitar 500.000 hingga 2 juta orang dan simpatisan komunis dari berbagai golongan, mulai dari petani, buruh, intelektual, seniman, dan perempuan. Kekerasan ’65 juga disusul dengan pemberangusan simpul-simpul kerakyatan, seperti organisasi buruh. Hingga 1999, pembentukan organisasi buruh independen adalah mustahil karena pemerintah Orde Baru telah membentuk himpunan buruh resmi. 

Namun, meskipun Orde Baru telah berakhir, hingga hari ini tanda-tanda menguatnya simpul kekuatan rakyat sebagai antinomi dari kerakusan perusahaan multinasional, dan negara sebagai fasilitatornya, timbul tenggelam. Bencana yang terjadi di Aceh dan Sumatra membukakan mata kita bahwa yang terjadi bukan saja bencana alam. Lebih dari itu, banjir bandang telah menyeret kayu gelondongan berstiker kuning dengan logo dan nama Kementerian Kehutanan Republik Indonesia dan perusahaan terkait.

Selain masih terus terpapar oleh kabar terkini mengenai kondisi masyarakat terdampak bencana di Aceh dan Sumatra, berita-berita lain mengenai perampasan lahan oleh perusahaan masih terus terjadi. Dalam praktiknya tentu melibatkan aparat, militer, polisi, atau kalangan sipil sendiri. Semua ini menunjukkan bahwa keterlibatan negara di dalam memuluskan proyek-proyek perusahaan besar tak henti-hentinya menyebabkan nyawa rakyat kecil tak ada harganya, dari peristiwa ’65 hingga hari ini.

Bencana Global di Pinggiran

Terlalu panjang untuk menyebutkan dan menjelaskan berbagai bisnis di bidang ekstraktif atau perkebunan yang sedang beroperasi di berbagai daerah. Namun, bencana yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat adalah imbas dari eksploitasi ugal-ugalan terhadap alam untuk menambah kekayaan elit-elit politik dan para pemodal saja.

Belum selesai menghadapi berbagai masalah dari konflik ruang dengan perusahaan dan negara, masyarakat terus-menerus menerima ‘serangan fajar’ dari mereka yang berkuasa secara politik maupun ekonomi. Mulai dari eksploitasi tenaga kerja, minimnya perlindungan hukum dan jaminan sosial, penggusuran dan perampasan tanah dan ruang hidup, hingga bencana yang turut membuka borok praktik illegal logging dan industri ekstraktif, bahkan yang menyeret nama perusahaan presiden sendiri serta kongkalikong antara pemerintah dengan perusahaan. 

Kayu gelondongan menumpuk di Sungai Aek Godang di Tapanuli Tengah (tirto.id/M. Irfan Al Amin)

Hingga 8 Desember 2025, korban banjir Sumatra setidaknya mencapai angka 974 jiwa berdasarkan data dari Basarnas. Namun pemerintah pusat tidak segera menetapkannya sebagai bencana nasional. Hal yang mendasari mitigasi pemerintah yang lambat atau barangkali malah tidak bergerak sama sekali ini adalah alasan ekonomi-politik di baliknya, seperti “prioritas nasional” lain, pemotongan anggaran Basarnas, BMKG dan BNPB yang dialihkan untuk program MBG, atau ketakutan-ketakutan para elit politik yang turut menikmati eksploitasi sumber daya alam melalui penanaman saham di perusahaan-perusahaan terkait.

Muchtar Habibi (2016) di dalam Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran mengatakan bahwa sumber daya alam di Indonesia tidak hanya dikeruk untuk kepentingan industri multinasional, tetapi juga dinikmati oleh para kapitalis domestik.

Rakyat Bantu Rakyat: yang Politis dalam Arus Digital

“Apa harus kita jumpa presiden?”
“Wah, presiden ini ndak bagus.”
“Apakah pemerintah itu memikirkan Anda atau buruh?”
“Makanya kita harus bersatu dan menuntut agar pemerintah tidak mengikuti ke dalam agenda ini. Pemerintah itu, kan, negara kita, kita yang punya bukan orang-orang elit itu seperti pejabat. Yang punya, kan, rakyat Indonesia yang punya negara.’
“Dari adanya organisasi independen, ditambah dari negara-negara lain, makanya kita bersatu. Nah, itu namanya menyatukan mata rantai.”

Di atas adalah dialog yang terjadi di antara lelaki PERBBUNI di dalam dokumenter The Globalization Tapes. Di bagian penghujung film, dialog itu menjadi semacam refleksi mengenai apa yang perlu kita lakukan ketika terjadi eksploitasi perusahaan terhadap buruh, atau lebih jauh lagi, bencana yang disebabkan oleh kapitalisme dan absennya negara dalam berbagai krisis. Dalam hal ini, hanya semata bergantung pada pemerintah yang korup merupakan hal yang sia-sia. Kita perlu membangun agensi kerakyatan sendiri sebagai simpul untuk menciptakan kekuatan politik tandingan dari korporasi-cum-negara.

Jika kita seturut mengamini argumen yang dilontarkan voice-narator dalam The Globalization Tapes, bahwa untuk menghadapi intrik industri multinasional maka diperlukan serikat buruh yang berjejaring secara internasional pula, maka apakah dalam konteks berhadapan dengan bencana ekologis sebagai ekses dari praktik kapitalisme global visi yang sama juga dapat diupayakan?

Hari ini, jejaring yang dibayangkan tersebut terwujud dari bentuk-bentuk solidaritas yang selama ini dikenal melalui aksi ‘Rakyat Bantu Rakyat’. Rakyat Bantu Rakyat menjadi semacam frasa verba yang menggambarkan sikap altruisme terhadap sesama warga sipil. Aksi ini seringkali muncul ketika suatu tragedi menimpa sebuah komunitas masyarakat dan mengundang belasungkawa atau ulur tangan bantuan dari komunitas yang lebih luas karena adanya kesamaan identitas atau rasa. Dalam konteks bencana Sumatra, aksi ini lebih tegas menyatakan sikap solidaritas antar rakyat ketika negara tidak kunjung hadir di dalam krisis yang sedang dialami rakyatnya.

Dalam upaya berjejaring dan bersolidaritas itu, media digital memungkinkan hal tersebut. Perangkat digital yang difasilitasi layanan internet membuat visibilitas informasi semakin mudah. Media sosial kini menjadi salah satu sumber informasi masyarakat. Hal ini karena secara formal (bentuk) media sosial seperti Instagram, YouTube, TikTok, dan lainnya, menghadirkan media informasi dan komunikasi yang tidak hanya berbasis teks, tetapi juga visual, auditif, dan berbagai komponen kreatif lainnya. Selain itu, kecepatan arus informasi digital menyebabkan paparan informasi yang serba cepat tidak dapat terelakkan. Dengan demikian, kita sebenarnya secara bertahap sedang mewujudkan imajinasi akan simpul politik yang lebih luas.

Namun, saya kira media digital yang menjanjikan konektivitas secara masif dan ruang-ruang resistensi itu tidak cukup menjadi satu-satunya hal yang diandalkan. Meskipun berkontribusi secara politis, media hanya berperan sebagai alat representasi saja. Namun, fungsi itu tidaklah tunggal. Representasi sangat penting dalam membangun identitas politik. Fungsi estetik dan politik berkelindan di dalam suatu karya sinematik.

Jagal dan Senyap adalah contoh dari dua dokumenter yang mengantarkan pada inisiatif pembentukan International People’s Tribunal 1965. Membaca dua dokumenter tersebut dan juga The Globalization Tapes adalah sebuah upaya untuk memperluas spektrum diskursus kekerasan oleh negara secara partikular kepada diskursus ekonomi-politik untuk mengenali wajah kapitalisme global hari ini. Pembacaan ini seperti misalnya, menautkan hubungan antara proyek globalisasi, pembantaian ’65, dengan kekerasan-kekerasan oleh aparat negara-cum-perusahaan terhadap masyarakat adat, rakyat miskin kota, dan pelajar/mahasiswa yang melakukan demonstrasi/protes menolak ekspansi kapital yang lain.

Film dokumenter, dengan memanfaatkan piranti estetik dan strategi naratifnya, masih menjadi medium yang signifikan dalam upaya menghalau ekspansi kapitalisme dan ekses-ekses yang bakal ditimbulkannya, seperti bencana. Salah satu dokumenter teranyar yang berhasil menyabet piala FFI 2025 kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik adalah Tambang Emas Ra Ritek (Alvina N. A., 2025), dokumenter yang mengangkat suara-suara masyarakat yang menolak aktivitas tambang di Trenggalek.

Dalam upaya menghadirkan representasi yang politis itu, kita tidak perlu menunggu satu dokumenter selesai dibuat untuk mendiseminasikan wacana yang diangkatnya. Dokumenter, sebagaimana yang diuraikan oleh Bill Nichols (2010), adalah representasi dari dunia yang kita singgahi. Dan strategi representasi itu tidaklah objektif, yang secara konservatif mengupayakan objektivitas informasi yang mustahil. Alih-alih, subjektivitas dokumenter terletak pada kreativitas yang digunakan dalam menarasikan sejarah kehidupan sang subjek dan dunia yang direpresentasikannya. Dokumenter adalah “creative treatment of actuality”. Dan semoga kita semua belum kehabisan daya kreatif untuk menyuarakan kebenaran di bawah rezim yang semakin amburadul ini.


Editor: Hifzha Aulia Azka
Foto Sampul: Wikimedia Commons/ButetSinaga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Pertunjukan Panjang: Perayaan Dua Tahun 'Sambutlah' dan Dasawarsa Pertama The Jeblogs

Related Posts