Tambo Podcast, Cuan yang Bisa Kita Rengkuh

Uang dari podcast

Sebuah tulisan tentang tren podcast di era milenial. Bukan sekadar hiburan, namun mampu menjadi ladang cuan.


P

P

P

Tulisanmu kurang satu kalimat biar halaman penuh.

Cepat bikin sebelum deadline!!!

Notif berbunyi bubble meletup berulang kali dari gawai Ben Hamersley seorang jurnalis The Guardian. Jam kerja harusnya sudah selesai, dan lagian ini hari Jumat. Sebagai jurnalis, tentu ia paham konsekuensinya. Dia merengkuh gawai dari sakunya dan mulai mengintip sedikit. Editornya dari kantor mengirimkan rudal balistik dengan dua misscall dan serentetan huruf P. Alamat celaka ini pikirnya. Dengan buru-buru dia balas pesan itu.

Film di layar bioskop setengah jalan. Setelah memberi penjelasan pada kekasihnya, ia berjinjit meninggalkan gedung pertunjukan. Ia memelintir kumisnya di kaca toilet sebelum ia basuh mukanya, berharap tetap tajam dan terjaga. Dengan bersungut-sungut, ia masuk bilik, mengunci pintu, menurunkan tutup kloset, dan duduk di atasnya. Ia baca lagi artikelnya hari itu, sebaris demi sebaris.

“But who to call it? Audioblogging? Podcasting? GuerillaMedia?”

Itu ya Bung tambahan untuk artikel saya, maaf agak lama, terima kasih.

Pada hari itu, bulan Februari tahun 2004, pertama kali kata podcast digunakan untuk menyebut kegiatan merekam suara untuk disiarkan ke publik, atau secara singkat disebut radio amatir. Kata podcast sendiri ditengarai berasal dari perangkat pemutar musik milik perusahaan Apple, iPod. Beberapa sumber juga menjelaskannya sebagai kependekan dari Playing on Demand (POD). Sedangkan, cast merupakan kependekan dari broadcasting.

Baca juga: Musik: Mengerti dan Belajar

Konon, sebulan setelah artikel itu terbit, ia menerima telepon dari Oxford English Dictionary. Mereka menanyakan apakah benar bahwa Ben Hammersley yang pertama kali menggunakan kata podcast. Pasalnya, mereka tidak bisa menemukan kutipan yang pertama kali menggunakan kata podcast sebelum artikelnya.

Mungkin kata podcast tidak lahir hari itu, tetapi mereka membaptisnya malam itu juga. Kalimat sebelum ini adalah kutipan asli dari BBC.com, saya tulis ulang karena bagus.

Dalam artikelnya, Ben Hammersley mengatakan, MP3 Player yang lebih merujuk pada iPod, software produksi yang murah bahkan gratis, dan weblogging yang jadi bagian dari kebiasaan orang di internet adalah bahan baku untuk menggebrak tren untuk membuat podcast. Tentu saja itu untuk konteks tahun 2004.

Awalnya, podcast adalah produk yang diunduh dan bisa didengarkan berulang-ulang oleh pendengarnya. Namun, belakangan yang kita akrabi adalah bentuk mutakhirnya karena bisa di-streaming melalui berbagai medium seperti Spotify, Soundcloud, Apple Podcast, Pocket Cast, Overcast, dan Google Play Music. Meskipun sebenarnya kita bisa saja mengunduhnya terlebih dahulu ketika menemukan sinyal Wi-Fi.

Baca juga: Handpicked: 5 Episode Podcast yang Patut Disimak Sebelum Menyimak yang Lain

Sebuah prinsip ekonomi purba mengatakan ke mana kerumunan pergi, maka uang ada di tengah-tengahnya. Begitu juga pengiklan yang mulai melirik podcast sebagai lahan baru. Mengutip dari BBC.com, di Inggris sejak tahun 2017 sampai 2018, uang yang dihabiskan perusahaan untuk mengiklan di podcast naik $9,1 Juta dari $10,6 Juta ke $19,7 Juta. Kenaikannya sekitar 85%. Angka ini juga diprediksi akan naik dua digit pada lima tahun mendatang.

Misal dihitung menggunakan kurs dollar ke rupiah yang sekitar Rp14.500, maka uang yang dihabiskan untuk memasang iklan tahun 2018 sekitar Rp287,26 Miliar. Uang sebanyak itu sama dengan gaji Alexis Sanchez saat masih berseragam Manchester United. Mungkin itu juga yang membuat dia dijual klubnya. Atau, bisa juga digunakan untuk menyewa 4.103 baliho seukuran 5×7 meter selama sebulan di Yogyakarta.

Yang unik, derasnya angka pengiklan di Inggris bukan semata-mata karena jumlah pendengar. Sebagian pengiklan lebih fokus pada siapa yang mendengarkan podcast. Ini yang membedakan podcast dengan media lain, ia mampu menarik orang dengan kualifikasi spesifik, baik itu umur, pekerjaan, sampai mungkin juga daya belinya. Hal ini dimungkinkan karena sebuah podcast biasanya memiliki satu tema khusus dan spesifik, sehingga pendengarnya pun bisa dipetakan.

Sementara itu, podcast di Indonesia mulai bergeliat beberapa tahun belakangan. Lapak yang mulanya diisi amatiran kini mulai sesak dengan penyiar terkenal dan selebritas. Tentu di sisi lain ini membawa dampak baik juga karena mereka membawa massa. Harapannya, podcast mereka dapat membuat masyarakat mulai mendengarkan podcast.

Curi dengar dari podcast yang menduduki peringkat pertama di chart Spotify, pendengar mereka sudah mencapai angka lima juta. Jumlah yang lumayan seksi untuk dipresentasikan kepada pengiklan. Perusahaan lama-lama juga akan terbiasa untuk menaruh uang di iklan podcast.

Seperti pepatah yang sudah dijelaskan di atas, maka ada baiknya kamu segera bergegas membuat podcastmu sendiri. Selamat mencoba, rengkuh cuanmu.

 

Editor: Endy Langobelen

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts