Leluasa (Sukoharjo): Zine Sebagai Metode Alternatif untuk Kolektif

Edisi pertama Jalar Liar membawa Sudut Kantin Project ke Sukoharjo bertemu Leluasa, sebuah media independen yang konsisten membangun jejaring melalui zine, gigs, dan reportase.

Di banyak tempat, media komunitas tumbuh dari kebutuhan untuk menyuarakan hal-hal yang tak tersentuh media arus utama. Terkadang memulainya justru bukan karena memahami penuh kaidah jurnalistik, tetapi memahami apa yang dibutuhkan oleh komunitas di sekitarnya. Lebih sering justru dimulai dari obrolan tongkrongan dan kesenangan menulis.

Media seperti ini hidup dalam kerja kolektif, semangat mutualisme, dan ketekunan dari orang-orang yang percaya bahwa menulis adalah kesenangan. Geliatnya mungkin tidak terlihat, tapi sumbunya tetap menyala dari pinggiran kota. Program Jalar Liar lahir dari kesadaran itu: bahwa kerja-kerja media komunitas yang menjalar seperti rimpang dan tak berpusat adalah bentuk penting dari keberlangsungan ekosistem kreatif yang beririsan dengan budaya dan wacana di sekitarnya.

Edisi pertama Jalar Liar membawa Sudut Kantin Project ke Sukoharjo, sebuah kabupaten di selatan Surakarta. Perjalanan ditempuh sejak pukul 8 pagi dengan commuter line Yogyakarta menuju Surakarta. Setelahnya, perlu berganti kereta lokal untuk menebus jarak 17 kilometer dengan waktu 34 menit hingga sampai Stasiun Sukoharjo. Di antara jalur rel yang memotong Surakarta dan sawah pinggir kota, Sukoharjo menyambut dengan kesederhanaan khas kota pinggiran. 

“Selamat datang di basecamp kami, maaf agak berantakan,” ujar Dian Permana menyambut Sudut Kantin Project.

Di sebuah rumah kontrakan, kami bertemu dengan Leluasa — sebuah media independen yang sejak 2017 konsisten membangun jejaring melalui zine, gigs, reportase, dan ragam aktivasi lainnya. Di ruang tengah, sebuah gong gamelan bertuliskan “Red Hot Chili Peppers” tergantung menjadi saksi obrolan panjang dengan Dian Permana dan Munanda Okki Saputro, juga gerombolan rekanan Leluasa yang asyik duduk melingkar bersama. Kedua nama tadi adalah sebagian dari penggerak utama Leluasa hari ini. 

Dian Permana (dok. Firgiawan Ristanto / @firgiawanrist)

Cikal bakal Leluasa bermula dari rangkaian pengalaman Dian di tahun 2017. Sebagai anggota band The Suse — pionir lokal dengan raw energy khas hardcore punk 80-an, masa itu adalah masa di mana band emerging (awalan) kesulitan mendapat panggung karena karakter musiknya tak lazim di telinga kebanyakan promotor lokal. Gigs-gigs yang kosong, kesunyian tongkrongan, dan kebutuhan untuk berbagi informasi akhirnya memunculkan gagasan untuk membuat zine, sebuah media cetak sederhana, mandiri, dan tentu saja do-it-yourself

“Sering nongkrong setelah acara, kayaknya bagus juga kalau nggak cuma musik,” kata Dian membuka obrolan.

“Jadi orang-orang yang datang bisa baca, bisa tukar informasi, terus aku kepikiran bikin zine itu. Bebas. Intinya ingin sebebas-bebasnya. Terus pakailah Leluasa, tambah Dian.”

Kata “leluasa” dipilih karena makna kata tersebut spesifik mengandung semangat yang sangat mendasar: kebebasan. Zine pertama Leluasa terbit pada Juni 2017, dikerjakan sendiri oleh Dian sendiri. Isinya mencampur laporan peristiwa, wawancara musisi, opini sosial, dan karya ilustrator muda. 

Bagi Dian, dunia zine seperti dunia paralel: tumbuh liar di ruang-ruang yang tidak diatur institusi — gigs, kolektif seni, lapak jalanan. Energi keliaran itulah yang ingin diteruskan di Leluasa. Salah satu pengaruh awalnya datang dari tradisi zine lokal yang ia temui di sebuah festival arsip di PKKH UGM Yogyakarta.

“Zine-nya Mas Indra Menus di-display di situ semua terus bisa difotokopi. Ada mesin fotokopinya,” ucap Dian sambil tertawa, “Aku fotokopi banyak banget. Aku bahkan pertama kali nemu zine buatan Sukoharjo ya dari sana.”

Di masa itu, beberapa kali Dian bahkan mendapat kiriman zine dari Senartogok, seorang musisi dan sosok gerilyawan yang menghidupi lanskap hip-hop lokal. Koleksi zine itu yang membuka pandangan Dian tentang kultur zine dan musik bawah tanah hingga memengaruhi Leluasa. Secara bentuk, Leluasa hadir dalam dua wujud yaitu zine cetak (dalam jumlah sangat terbatas) dan versi daring. Dengan cara ini, Leluasa menjaga dua hal sekaligus: tradisi distribusi fisik kultur zine dan keterbukaan akses melalui internet.

Sebagai sebuah media online, Leluasa dapat diakses melalui situs leluasaproject.com. Meski awalnya ingin fokus ke isu sosial dan advokasi pada rubrikasi, tetapi bentuknya justru berkembang secara organik. Sebut saja kini Leluasa mengakomodasi tulisan terbaru tentang musik lokal, obrolan tentang film, kecintaan akan puisi, dan opini atas isu sosial yang terjadi.

“Aku seneng tulisan yang mereka pakai sudut pandangnya, misal tentang film atau karya album [musik]. Jangan yang netral-netral banget, kurang suka,” ujar Dian.

Dari satu orang, Leluasa perlahan dikerjakan secara bersama-sama. Ada Dian yang menjadi nahkoda untuk bermacam aktivasi seperti tulisan, gigs, diskusi, listening session, atau kerja-kerja yang berhubungan dengan relasi kerja sama. Okki bertugas mewawancarai narasumber, menulis liputan, dan mengulas karya seni sesuai minat kepenulisannya. Ada lagi Beryl Krisna yang menjadi reporter, Rudi Agus Hartanto mengisi editorial, dan Wisda Bintang juru foto media.

Dian Permana dan Munanda Okki Saputro (dok. Firgiawan Ristanto / @firgiawanrist)

Mereka berbagi tugas sesuai keseharian masing-masing, bukan berdasarkan jabatan atau kewajiban struktur, tapi karena ketertarikan personal dan rasa saling percaya. Hal ini diakui Okki karena beberapa tulisannya berawal dari kebiasaan meliput acara kampus teman.

“Aku lihat proses TA (tugas akhir) kan panjang ya, waktunya panjang, biayanya besar juga. Terus sayang banget kalo cuman [pameran] gitu tok. Paling nggak ada wawancara dikit,” ucap Okki tentang ketertarikannya mendukung pameran seni mahasiswa kampus.

Menurut Okki, kehadiran media alternatif seperti Leluasa di pusaran Sukoharjo dan sekitarnya, menjadi penting. Selain mendukung scene musik lokal, sebagai sebuah platform Leluasa membuka peluang para penulis untuk menyalurkan gagasannya. 

“Menurutku pekerjaan menulis itu berat. Memang penting untuk mendapat apresiasi dulu, kayak diterbitin, nanti dia bakal semangat nulis lagi,” ungkap Okki.

Media alternatif, apapun bentuknya, setidaknya mampu menjadi laboratorium menulis bagi penulis-penulis awalan. Jangka panjangnya adalah media-media alternatif ini bisa membuka ruang belajar bersama untuk mengembangkan kemampuan menulis para kontributornya. Tidak bergantung pada media arus utama, Leluasa meyakini bahwa alternatif menjadi tandingan atas suatu dominasi.

“Pastikan alternatif berbeda dengan yang umum. Selama masih bisa sak penak e dewe tapi ketika bekerja sama dengan yang lain tetep bisa kompromi juga, nggak yang saklek,” kata Dian soal praktik alternatif.

“Menurutku alternatif itu jalan yang lain ya, [seperti] kita menuju ke satu hal yang sama terus kita bisa bikin jalannya sendiri,” pungkas Okki menyambung obrolan.

Delapan tahun perjalanan Leluasa, Dian merasa bahwa praktik media arus utama dan alternatif mulai bias. Beberapa media arus utama yang tumbuh dalam ekosistem industri media raksasa, kini mulai melakukan pendekatan yang serupa seperti degan media alternatif. Sebaliknya, media alternatif beberapa kali juga memodifikasi apa yang dilakukan media arus utama.

Meskipun begitu, satu hal tak pernah berubah dari Leluasa adalah keinginan menulis, berkolektif, dan membuka ruang bagi mereka yang tak memiliki kesempatan berekspresi. Semangat inilah yang menjadi pembeda antara media alternatif dan media arus utama.

“Mungkin semangat di dalamnya yang berbeda,” pungkas Dian.

Budaya Kerja Kolektif dan Media Alternatif

“Aku pernah bikin acara musik dan cari penampil di tempat itu, nggak ada [orangnya],” cerita Dian sambil tersenyum.

Berbicara tentang Sukoharjo, ada geliat seni dan budaya yang tumbuh dalam kesunyian. Kota yang lebih dikenal karena kawasan industri tekstil dan pabriknya ini, diakui Dian belum menemukan bentuk ekosistemnya. Setidaknya di tahun 2017, tak banyak teman seumuran yang antusias membuat sebuah aktivasi.

Kesunyian ini perlahan pecah dan digaungkan kembali dengan membuka jaringan mutual di kota-kota sekitarnya. Bersama Leluasa, Dian berkenalan dan berkegiatan bersama orang-orang tidak hanya di Sukoharjo, tetapi juga luar kota, seperti Solo, Klaten, Salatiga, hingga Yogyakarta. Setidaknya pasca pandemi, titik cerah mulai terlihat.

Jejaring ini bukan hasil proyek terstruktur atau hasil rapat-rapat panjang, melainkan tumbuh dari kebiasaan nongkrong, main bareng, dan membantu satu sama lain saat acara berlangsung. Budaya tidak ikut rapat, tapi saling bantu jadi semacam kultur bagi beberapa ruang yang ditemui Leluasa.

Aktivasi berkelanjutan mulai menjadi estafet di setiap tahunnya. Namun seringnya justru jadi nombok. Setahun ini Dian bersama Leluasa dan kolektif lain yang terhubung mulai mengupayakan kerja kolektif yang adil dan mandiri. Dimulai dengan menyiapkan fee untuk band yang proper, jualan merchandise, atau mencari sponsor yang ideal dengan karakter kolektif. 

“[Dulu] di sini itu cuma untuk senang-senang, titik. Nggak yang ingin kembangkan untuk profit,” kata Dian, “Nah ini baru diupayakan, setahun ini.”

Darsa Kolektif (dok. Rohmad Dwi N / @rohmad._)

Dalam ekosistem ini, muncul simpul-simpul yang saling menopang. Di Sukoharjo, Leluasa tidak sendiri. Darsa Kolektif, sebuah kolektif musik lokal, jadi salah satu teman seperjalanan yang selalu hadir di tiap aktivasi. Sejak awal berdiri di tahun yang sama, keduanya sering berbagi peran: satu bikin panggung, satu bikin liputan. Ketika satu kolektif membuat panggung, media menulis reportase. Atau sebaliknya, gagasan dilempar media, kolektif mewujudkannya. Di titik ini, kerja kreatif menjadi jaringan yang bergerak bukan karena imingan profit besar, melainkan oleh semangat mutualisme.

“Darsa Kolektif, itu hampir semua bantuin pasti, misal di luar saya bikin aktivasi, pasti mereka bantuin,” kata Dian.

Dian menyebut keberhasilan beberapa band kabupaten naik ke permukaan seringkali berkat kolaborasi antara media alternatif dan kolektif gigs independen yang telah dirawat jauh sebelumnya. Sebut saja ada The Jeblogs yang membersamai kelahiran kolektif gigs bernama God Save The Gigs di Klaten sejak masa awal bermusik.

Di Solo, Salatiga, hingga Yogyakarta, pola ini berulang. Musik menjadi pintu masuk, tapi relasi yang tercipta jauh melampaui pertunjukan. Beberapa tahun terakhir, hasilnya mulai dirasakan. 

“Beberapa acara yang mereka bikin, kita sedikitnya juga dilibatkan di situ. Karena semangatnya itu seneng menjalin pertemanan,” kata Dian.

Menurut Dian dan Okki, geliat gigs hingga kehadiran media-media alternatif mulai mengisi ruang-ruang kosong. Walaupun tak sedikit kelompok media hanya berfokus pada distribusi poster acara. Banyak media berbasis Instagram hanya berfungsi sebagai penyebar poster.

Munanda Okki (dok. Firgiawan Ristanto / @firgiawanrist)

Di antara media-media itu, sedikit sekali yang memilih jalan rumit: mengurus tulisan, menerbitkan opini, atau menulis ulang laporan acara menjadi bahan baca yang layak simpan. Leluasa adalah salah satu dari sedikit yang konsisten menekuni jalan rumit ini. Itulah mengapa kemudian Leluasa mengukuhkan diri sebagai media alternatif.

“Menurutku alternatif itu jalan yang lain ya, [seperti] kita menuju ke satu hal yang sama terus kita bisa bikin jalannya sendiri,” kata Okki.

Menjaga Kemandirian

Setiap tiga bulan sekali, Leluasa berusaha menyelenggarakan aktivitas. Dari pemutaran film, diskusi kecil, sampai sesi baca puisi. Bukan sekadar untuk berkegiatan, tetapi sebagai ruang berkumpul, bertukar kabar, dan menjaga rasa saling memiliki. Salah satu tantangannya adalah persoalan dana. Sejak awal, banyak aktivasi Leluasa dimulai tanpa anggaran, bahkan tak jarang memakai uang pribadi.

“Kalau awal-awal dulu pakai uang pribadi, tapi apakah sampai seperti ini terus?” kata Dian.

Meski sejak awal mereka menghindari sponsor, belakangan Leluasa membuka kemungkinan kompromi, tentu dengan catatan. Pintu terbuka untuk kerja sama, tapi dengan seleksi.

Beberapa pengalaman sebagai media partner membuat mereka merasa perlu membuat semacam rate card. Langkah kecil tapi penting dengan menyusun biaya media partner dengan sistem sukarela. Bukan soal nominalnya, tetapi soal kesadaran: bahwa mendukung media alternatif adalah bagian dari membangun ekosistem yang sehat. 

Tujuannya bukan sekadar memberi tarif, tetapi menilai apakah suatu acara dibangun dengan modal besar atau dengan gotong royong. Biaya yang diterima Leluasa nantinya akan dikembalikan lagi dalam bentuk aktivasi yang melibatkan partisipasi kolektif lainnya, bukan keuntungan pribadi.

Aktivasi lapakan zine Leluasa (dok. City Of Laboratory)

Selain itu, beberapa kali Leluasa juga telah membuka kesempatan untuk bekerja sama dengan beberapa sponsor dan brand ternama. Cukup dilematis bagi Leluasa, tetapi Dian menggarisbawahi bahwa yang terpenting mereka tetap membuka akses seluas-luasnya bagi komunitas, mahasiswa, dan teman-teman kampus. Bentuk kerja sama bersama sponsor semata dilakukan untuk dapat memperpanjang napas media dan mendukung gerakan bersama kolektif sekitar. 

 “Aku yakin juga teman-teman dapat memahami dan memaklumi. Biarkan Leluasa tumbuh dengan keleluasaannya sendiri,” ucap Dian.

Dari keterbatasan itu, Leluasa belajar bahwa keterbukaan adalah modal paling awal dari kerja kolektif. Jika ada dana, mereka akan terbuka sejak awal. Jika tidak ada, keputusan tetap bisa diambil bersama.

“Biasa aku bilang ra enek duite blas ki, tapi tetep gas,” kata Dian, “Tapi kalau ada [duitnya] pasti aku bilang.”

Mengelola media alternatif seperti Leluasa bukan perkara mudah. Di balik setiap zine yang dicetak, setiap artikel yang terbit, dan setiap acara yang diselenggarakan, ada kerja sunyi yang kerap tak terlihat. Media semacam ini lahir dari semangat, maka hidupnya ditentukan oleh konsistensi, solidaritas, dan kecermatan membaca situasi. Tantangan lainnya adalah regenerasi.

“Kadang ada rasa sedih juga waktu teman-teman yang dulu bareng di awal nggak lagi bisa ikut. Karena kerja, kesibukan, atau sudah pindah,” keluh Dian.


Setiap kali datang orang baru, kerja harus dimulai ulang — menyelaraskan kebiasaan, membagi nilai, dan menguji kecocokan. Setidaknya itu yang kemudian dirasakan Dian ketika bertemu dengan Okki dan Rudi yang mulai intens merawat Leluasa dari dalam. Sebagai orang yang melahirkan Leluasa, Dian merasa perlu bekerja dengan orang baru untuk menemukan perspektif lain yang positif.

Tawaran pandangan baru membuat Leluasa menerka praktik yang relevan dengan zaman hari ini. Apapun pilihannya, Leluasa tetap menjaga rohnya sebagai sebuah media alternatif. Bukan hanya membuat acara, tapi tentang bagaimana mendokumentasikan apa yang dilakukan teman-teman terdekat dan menyebarkan ceritanya ke tempat lain.

“Aku pingin tetep punya waktu luang bersama temen-temen. Karena fokusnya di Leluasa, ingin memberitakan dan mencatat temen-temen yang ada di sini, nggak perlu jauh-jauh,” tutup Dian.


Foto sampul: Arsip Leluasa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Dressed Like an Ocean Ajak Pendengar Mencari Makna dalam Samudera Emosi

Next Article

Oei Sian Yok dan Lupa Kita pada Kritikus Seni Perempuan