Melipat Kehidupan dalam Membaca ‘Urip Urup’ karya Fitri DK

Lebih dari semua simbol dan filsafat yang melingkupinya, karya Fitri DK berjudul ‘Urip Urup’ adalah doa dalam bentuk instalasi.

Di sebuah lapangan terbuka milik warga yang menghadap temaram Gunung Muria, senja menggantung hangat di langit. Aroma tembakau, kayu, dan tanah menyambut setiap langkah dengan pelan, mengantar pada kesenyapan yang dalam. Di tengah hening itu, berdirilah sebuah instalasi besar—bulat dan mengundang seperti pelukan. Karya ini diberi nama Urip Urup oleh sang perupa, Fitri DK. Sebuah tajuk yang tampak sederhana, tetapi menyimpan lapisan makna yang tak serta-merta bisa disentuh oleh pandangan pertama: hidup yang menyala.

Di sinilah, dalam pameran bertajuk “Tapangeli: Muria, Santri, Kretek”, sebanyak 15 karya seni dipamerkan dalam sebuah gelaran yang dinamai Folktarium Muria—sebuah “museum terbuka” yang tak biasa, di mana pohon-pohon, angin pegunungan, dan suara masyarakat menjadi bagian dari instalasi yang hidup.

Pameran yang digelar pada Senin (21/4) hingga Sabtu (26/4) ini bukan sekadar ruang pajang karya. Pameran ini menjadi semacam peristiwa budaya yang menjembatani seniman dan masyarakat melalui karya-karya yang ditampilkan. Beragam karya itu adalah tafsir personal dari para peserta residensi terhadap kisah-kisah lokal yang selama ini hidup dalam bentuk tembang, tutur lisan, atau ritual keseharian.

Dalam menjelajahi satu demi satu karya yang dipamerkan, perhatian saya tertumbuk pada salah satu karya yang begitu kuat secara visual maupun emosional: karya seni Fitri DK.

Karya ini tidak hanya menyajikan estetika rupa, tapi juga seperti membuka pintu menuju memori kolektif yang mungkin nyaris terlupakan.

Ada sesuatu dalam goresannya—entah itu simbol-simbol yang dipilih, warna yang dipakai, atau susunan objek—yang membawa saya pada suasana antara magis dan nyata, antara lereng Muria dan dunia batin sang seniman.

Melalui Folktarium Muria, saya belajar bahwa cerita rakyat bukan sekadar warisan masa lalu. Cerita rakyat bisa menjadi ruang penciptaan, dialog, bahkan perenungan tentang siapa kita hari ini. Di tengah semua itu, karya-karya seperti milik Fitri DK menjadi penanda bahwa seni masih memiliki daya untuk menghidupkan kembali yang lama, dan menyampaikannya dengan cara yang segar.

Ketika saya memasuki instalasi ini, saya seperti sedang berada di ruang meditasi kolektif; empat lembar kain batik membentuk dinding-dinding halus yang tak membatasi, tapi memeluk. Motif gunungan dari empat perayaan Pager Mangkok di Piji Wetan—setiapnya berbeda—merekam irama panen, doa, dan syukur. Kain itu tidak diam; ia bicara dalam bahasa warna, corak, dan aroma malam basah yang tergambar pada motif. Di tengahnya, menjulang sebuah tangga bambu. Ia tegak dan sunyi, tetapi tegas menyampaikan pesan: naik dan turun bukan hanya gerak fisik, melainkan laku batin.

Bambu itu tak menjulang ke atap, tak pula berpijak pada keangkuhan. Ia seperti tangga sosial yang dibayangkan Simone de Beauvoir: selalu ada yang di bawah dan di atas, tetapi keberadaan keduanya tak bisa dilepaskan dari sistem nilai yang membentuk mereka. Fitri memaku tangga itu di tengah lingkaran tujuh mangkok dan satu kendi. Sebuah lingkaran seperti mandala, penuh ketenangan dan makna. Tujuh mangkok—”pitu” dalam bahasa Jawa—berisi benih kehidupan: biji-bijian, beras, dan cacahan tembakau. Tiga di antaranya ditutup dengan kain lino yang memuat cetakan tangan. Tangan yang memelihara. Tangan yang tidak memetik, tapi menumbuhkan.

Urip Urup karya Fitri DK (dok. Imam Khanafi)

Kendi di tengah lingkaran berisi air. Di dunia yang kering oleh ketamakan, air tak hanya simbol kesegaran—ia adalah kehidupan itu sendiri. Dari pemikiran Herakleitos tentang air sebagai arus perubahan hingga filsafat Zen yang menjadikan air sebagai cerminan batin yang bersih, kendi dalam karya Fitri menjadi pusat kontemplasi – Bagaimana manusia memandang sumber daya? Apakah kita meminumnya dengan rasa syukur atau merampasnya dalam kerakusan?

Sebelum lanjut, perlu sekali kita mengenal Fitri DK. Fitri adalah seorang seniman visual dan musisi asal Yogyakarta yang dikenal karena dedikasinya pada isu-isu sosial, lingkungan, dan perempuan. Ia menggunakan teknik hardboard cut print untuk menyuarakan kritik sosial yang tajam, tapi tetap estetis. Melalui karya grafisnya, Fitri secara konsisten menghadirkan perspektif perempuan yang berani, kerap melawan, dan membangun solidaritas dengan komunitas akar rumput. Seni baginya bukan sekadar ekspresi, melainkan ruang perjuangan yang menyatukan suara-suara yang selama ini dipinggirkan.

Selain aktif di ranah seni rupa, Fitri juga adalah vokalis band Dendang Kampungan yang memainkan lagu-lagu rakyat dengan muatan kritik sosial. Ia merupakan bagian dari kolektif seni progresif seperti SURVIVE!Garage dan Taring Padi yang menggunakan seni sebagai alat perjuangan politik dan kultural. Melalui aktivitas kolektif ini, Fitri terlibat langsung dalam berbagai gerakan sosial, membela hak-hak petani, buruh, komunitas perempuan, dan kelompok marginal lainnya.

Karya-karya Fitri telah tampil di berbagai panggung seni terkemuka domestik dan internasional, seperti ArtJog dan Jogja Biennale hingga panggung internasional seperti Framer Framed di Amsterdam dan Documenta 15 di Jerman. Dalam setiap pameran dan pertunjukan, Fitri membawa semangat perjuangan akar rumput dan menjadikan seni sebagai alat perlawanan dan pengharapan. Melalui pendekatan yang kolektif dan membumi, ia menunjukkan bahwa seni dapat menjadi medium transformasi sosial yang nyata.

Pager Mangkok: Bukan Hanya Tradisi, tapi Etika Sosial

Pagerono omahmu nganggo mangkok, pager mangkok luwih becik timbang pager tembok.” 

Kalimat ini terpajang di sudut karya seperti bisikan leluhur. Dalam ajaran Sunan Muria yang mengilhami tradisi Pager Mangkok di Kudus, mangkok adalah simbol keterbukaan dan keramahan. Tak seperti tembok yang memisahkan, mangkok mengundang dan memberi. Mangkok mengajarkan bahwa rumah bukanlah tentang batas, tetapi tentang relasi.

Fitri menangkap esensi ini dengan jernih. Instalasinya menjadi ruang liminal antara seni dan kehidupan, antara museum dan ladang.

Ia mengajak pengunjung untuk tidak sekadar melihat, tetapi masuk, merasakan, dan barangkali tersentuh. Dalam laku semacam ini, kita diingatkan pada pemikiran Emmanuel Levinas yang menyebut bahwa etika dimulai dari wajah orang lain—dari pengakuan atas keberadaan yang berbeda dari kita. Dalam karya ini, “wajah” itu hadir dalam bentuk mangkok, kendi, batik, dan tangan yang merawat.

Estetika dalam karya Fitri bukan sekadar bentuk, tetapi pengalaman. Ini sejalan dengan pemikiran John Dewey dalam Art as Experience. Dewey mengatakan bahwa seni harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan benda mati yang dipajang di dinding putih galeri. Ketika pengunjung masuk dan mengelilingi instalasi Urip Urup, mereka tidak hanya melihat, tetapi mengalami — posisi mereka berubah, arah pandang berubah, dan perlahan-lahan nilai-nilai yang diangkat karya ini merembes masuk ke ruang batin.

Urip Urup karya Fitri DK (dok. Imam Khanafi)

Gunungan pada batik tidak hanya menjadi simbol panen, tetapi juga representasi mikrokosmos Jawa — di dalamnya terkandung relasi manusia, alam, dan Tuhan. Simbol ini juga dapat dibaca melalui pendekatan semiotik Roland Barthes: setiap elemen dalam budaya membawa myth—mitos kolektif yang membentuk cara pandang masyarakat. Dalam hal ini, Fitri tidak sedang melanggengkan mitos, tapi menafsirkannya ulang menjadi kritik sosial yang kontemporer.

Tangga yang menjulang, misalnya bisa dibaca sebagai refleksi tentang fluktuasi sosial, sebagaimana dikritik oleh filsuf Prancis Pierre Bourdieu. Bourdieu menyebutkan bahwa struktur sosial tidak hanya ditentukan oleh kapital ekonomi, tetapi juga oleh kapital simbolik dan budaya. Tangga dalam karya ini bukan sekadar jalan naik, tapi juga metafora atas jebakan status dan kuasa yang kerap menggerus nilai-nilai egalitarian.

Sebuah Doa Lewat Instalasi

Lebih dari semua simbol dan filsafat yang melingkupinya, karya Urip Urup adalah doa dalam bentuk instalasi. Sebuah doa untuk dunia yang lebih empatik. Sebuah permohonan agar manusia abad ke-21 yang larut dalam individualisme dan laku konsumtif mau kembali ke nilai-nilai dasar, seperti saling membantu, merawat yang lemah, dan berbagi rezeki, bahkan sebelum mereka merasa memiliki sepenuhnya.

Urip Urup karya Fitri DK (dok. Imam Khanafi)

Dalam dunia seni kontemporer yang kerap jatuh pada estetika kekosongan atau kepongahan teknis, karya Fitri DK berdiri sebagai penyeimbang. Ia bukan sekadar seniman. Ia adalah perawi zaman, pewarta nilai, dan penyulam ruang dialog antar manusia. Urip Urup bukan hanya karya. Urip Urup adalah ajakan untuk menjadi manusia yang berpagar mangkok: terbuka, menerima, dan memberi.

Ketika pengunjung keluar dari instalasi ini, mungkin tak ada yang mereka bawa pulang selain gambar mangkok dalam ingatan. Tapi seperti kata Lao Tzu, “A bowl is useful not because of its form, but because of its emptiness.Mungkin, dari kekosongan mangkok itu, kita bisa mulai mengisi ulang hidup kita—dengan urip yang kembali urup.


Editor: Hifzha Aulia Azka
Foto sampul: Imam Khanafi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Hilmy Fadiansyah: "Zine itu penghubung kabar gerakan di berbagai kota!"

Related Posts