Bukan barang mudah ketika kebersamaan yang terjalin dalam kurun waktu 6 semester lamanya, seketika direnggut jarak dan masa. Hal ini semata hanya untuk menggugurkan kewajiban mencari pengalaman di luar institusi kampus (baca: magang). Saya tengah menghadapinya. Satu persoalan mahasiswa semester tua yang terpisah dengan kawanannya. Sebagai individu yang baru melewati garis marka 20-an di tahun yang sama. Serta sebagai pribadi yang menulis dan mengotak atik daftar putar sebagai wujud katarsis yang praktis sekaligus efisien.
Sampai suatu ketika pencarian saya terhenti pada duo pop asal ibu kota, The Cottons. Samar-samar lewat dalam linimasa Twitter pada awal juni lalu, sampul album dengan citra dua gadis berlarian di taman bernuansa blurry serta bertuliskan “The Cottons” cukup membuat saya tertegun. Sampul tersebut tak lantas menyihir saya untuk menyelam lebih dalam. Baru setelahnya, sepenggal verse “Harapan, Pt. 3” terputar dalam cuplikan video–yang juga tak sengaja tampil di beranda-seketika pula “harapan” itu tumbuh dan menggerenjal di kepala.
Teringat betul, kali pertama saya mendengar EP Harapan. Dikatakan Twee pop, tidak juga. Lebih progresif dari Blueboy, namun tak lebih “ngebut” dari Thee Marloes. Vokalnya sedikit beririsan dengan The Softies, namun kental nuansa popish ala selekta pop Indo 70-an. Yang pasti “Harapan, Pt. 3” berhasil lekat di telinga saya pasca itu. Klik secara tiba-tiba. Seolah mengisi ruang yang ganjil di alam bawah sadar, akan arti harapan itu sendiri.
Bagi mahasiswa yang tengah kusut dengan persoalan magang, mendengarkan The Cottons layaknya menyusuri kembali wahana bermain saat seusia belia. Ada perasaan nostalgia yang hangat. Isian lirik EP Harapan banyak menangkap isu atas kasih, cinta, jalinan personal dan seolah membersamai usia yang rawan akan krisis eksistensi diri.
Pola yang diusung The Cottons, bukan yang terbaru, tapi masih cukup diminati. Keempat lagu saling bertautan dan memainkan dioramanya masing-masing. “Harapan, Pt. 1” memulai dengan doa dan harapan yang terus dipanjatkan meski tak jelas arah harapan itu tertuju. Dilanjutkan oleh “Harapan, Pt. 2” yang melihat bagaimana harapan itu mulai pupus sebab tak ada haribaan yang dapat menampungnya. Namun, “Harapan, Pt. 3” hadir seperti dalam scene kehangatan matahari terbit, yang menggarisbawahi arti harapan itu melalui paduan ritmik ceria. Lantas “Ashes of Hope” menutup rangkaian kisah Harapan dengan cemerlang.
Pula, kematangan pola pikir The Cottons terpaut jelas dalam setiap lirik yang direka. Menyoal hal-hal yang kerap ditemui saban hari, dirangkum dalam penulisan sederhana dan lugas. Tipikal adult contemporary, yang dikemas dalam perspektif urban Jakarta. Seperti sepenggal “Harapan, Pt. 1” yang mengajak kita untuk terus menjaga harap dan doa. Meski selalu berjibaku dan bertahan atas gilanya dunia, beruntungnya selalu ada telinga yang senantiasa mendengar dan mulut yang ringan mengaminkan doa.
Dan tuliskan
Apa saja ingatanmu
Dalam setiap harimu
Doa dan harapan kan selalu bersama
“Harapan, Part 1”
Sewindu Bercinta, Kembali tuk Bercerita
The Cottons adalah Kaneko Pardede dan Yehezkiel Tambun. Sejatinya The Cottons sempat siesta dalam kurun 8 tahun, pasca merilis maxi single bernuansa tweepop yakni It’s only a day di penghujung 2016 lalu. Awal kemunculan, The Cottons banyak menarik atensi pencinta indie pop kala itu. Meski scene indie Jakarta sudah lama akrab dengan twee pop, tetap saja The Cottons banyak mencuri panggung melalui nomor debut mereka.
Setidaknya sewindu vakum dari blantika musik, mereka membagi fokus terhadap hal penting lainnya: keluarga, pekerjaan, dlsb. Penantian lama itu berbuah manis dengan kehadiran 4 nomor cantik dalam repertoar Harapan. Meski jauh berbeda dari kedua track pendahulunya, rilisan terbaru The Cottons masih mendapat hati pendengar baru maupun basis pendengar lama. Terlihat jelas bagaimana kerinduan akan The Cottons terbayar lunas di beberapa panggung terakhir. Banyak terucap suka cita, haru, dan selamat atas kelahiran EP Harapan.
Atas euforia itu, EP Harapan tak serta merta hadir hanya karena menggugurkan hasrat bermusik kedua penggawanya. Lebih dari itu, The Cottons ingin membagikan percikan ode tentang “harapan” dalam gugusan lirik yang sederhana serta isian musik yang mengalun indah dan pop-ish.
Saya mengerti betul akan arti “harapan.” Manusia dihadirkan-Nya di muka bumi untuk berdoa dan berharap. Harapan pula terjalin antara satu manusia dengan manusia lain. Pada akhirnya harapan yang akan menyimpul erat, dan tugas manusia untuk terus menjaga ikatan itu atau malah sebaliknya.
EP Harapan setidaknya memiliki cukup ruang untuk mendekap hari-hari sendiri saat ini. Sembari menjaga nyala api untuk terus menghargai makna berkawan meski terbentang akan jarak. Menegaskan kembali bahwa doa baik senantiasa melintas ruang dan waktu. Kemanapun tertuju. Seperti “Harapan, Pt. 2”,
Tak terukur dalamnya rasa pilu
Saat ku kehilangan harapan
Anganku melintasi samudra
Berakhir dalam mega yang sunyi
Hingga kini, mendengarkan Harapan menjadi satu kegiatan yang rutin sekaligus gemar saya lakukan. Perasaan muram yang bergumul di hari-hari ini, dipurifikasi oleh lirik segar dari The Cottons. Meski usia 21 serba diselimuti kegamangan serta ketidakpastian, setidaknya menemukan The Cottons jadi satu pengalaman terbaik saya menjangkau musik di paruh akhir 2024.
Mengutip “Ashes of Hope”, “I don’t mind if one day / You came off from a quite sad awful things / I’ll be your home now.”
Melalui EP Harapan, The Cottons berhasil mencipta sebuah kehangatan yang dirajut dengan benang doa, harapan, dan kesederhanaan dari kacamata pop progresif. Selamat merayakan Harapan!
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: @hafizanshidqi