Suara gemuruh dari ladang membuat Darman terjaga di tengah malam. Ia berlari keluar gubuk dengan obor di tangan, hanya untuk menemukan kawanan celeng mengobrak-abrik jagung yang seharusnya dipanenya dua hari lagi. Puluhan, bahkan ratusan, hewan liar itu bergerak seperti badai, mencabut tanaman dari akar, meninggalkan jejak kehancuran di belakang mereka. Darman berteriak, mencoba mengusir mereka dengan suara dan api, tetapi kawanan itu tidak gentar.
Di sudut ladang, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku: bola kecil dari kulit jagung, diselipkan rapi di antara daun-daun yang hancur. Tanda itu tidak pernah muncul lagi sejak puluhan tahun lalu— setidaknya ia hanya mendengarnya dari cerita neneknya. Sebuah peringatan bahwa mitos Dadung Kawuk mungkin bukan sekadar cerita kosong.
***
Telogo adalah desa kecil yang dikelilingi oleh hamparan ladang jagung dan hutan lebat. Di sinilah mitos Dadung Kawuk hidup dan tumbuh, diceritakan dari mulut ke mulut, melekat dalam ingatan orang-orang tua. Bagi anak-anak, itu hanyalah dongeng untuk menakut-nakuti agar mereka tidak bermain terlalu jauh. Tapi bagi orang dewasa, terutama mereka yang hidup dari hasil ladang, Dadung Kawuk adalah kenyataan yang tak bisa diabaikan.
Hutan sebelah selatan desa itu bukan sekadar hutan biasa. Di dalamnya terdapat jobo larangan, area terlarang yang dihuni oleh penunggu bernama Dadung Kawuk, yang mengemong kawanan celeng. Patung celeng di tengah jobo larangan adalah pusat mitos itu. Patung tersebut diyakini bisa memutar kepala, menentukan arah pergerakan kawanan celeng. Jika kepala mengarah ke utara, berarti bencana bagi warga. Kawanan celeng akan turun dari hutan, merusak ladang, memakan jagung, dan menghancurkan kerja keras berbulan-bulan.
Cerita ini kembali terngiang di benak Darman suatu malam ketika ia duduk di depan tungku, mendengar neneknya menceritakan kisah itu untuk kesekian kalinya.
“Dulu, sebelum ada orang yang tinggal di sini, tanah ini milik celeng,” kata neneknya. “Orang-orang pertama yang membuka desa Telogo membuat perjanjian dengan mereka. Utara untuk kita, selatan untuk mereka. Tapi celeng itu tidak seperti binatang biasa, mereka punya pemimpin, punya aturan. Dan jika aturan itu dilanggar, mereka tidak terima.”
“Bagaimana caranya balas dendam?” tanya Darman kecil waktu itu, sambil menyandarkan kepalanya di lutut nenek.
“Kalau hutan mereka rusak, atau kalau kita tamak dan mengambil lebih dari yang diperbolehkan, celeng akan turun ke ladang. Mereka dipimpin oleh Dadung Kawuk.”
Darman mengingat cerita itu sampai ia dewasa. Kini ia tinggal di Telogo bersama istrinya, Sarti, dan dua anak mereka. Kehidupan di Telogo tak pernah berubah. Ladang jagung adalah tumpuan hidup, dan hutan selatan tetap menjadi batas yang tidak boleh dilanggar.
***
Suatu pagi, Darman bangun lebih awal dari biasanya. Sarti sedang menanak nasi di dapur, sementara anak-anak mereka masih tidur pulas. Ia melangkah ke pintu depan, menghirup udara pagi yang segar. Ia bergegas menuju ladang di selatan desa, tapi kemudian langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu dari arah gubuk ladang. Tak jauh dari bangunan beratap reot itu ada satu pohon jagung yang menguning seperti hampir mati.
Bola kulit jagung.
Hatinya mencelos. Kulit jagung itu dilipat rapi menjadi bola kecil, diselipkan di antara daun-daun jagung di ladang. Itu pertanda yang sudah lama ia dengar, tapi tak pernah ia alami sendiri.
Satu bola berarti satu malam. Malam itu, celeng akan turun ke ladang. Darman meraih bola itu dengan tangan gemetar. Ia ingat petuah neneknya: bawa pulang dan bakar bola itu.
Namun, saat ia berdiri di depan tungku, ia ragu. Api yang menyala kecil tampak seperti lidah ular, menunggu ia melempar bola kulit jagung ke dalamnya. Tapi benaknya dipenuhi pikiran: Bagaimana kalau ini tidak berhasil? Bagaimana kalau celeng tetap datang?
Ia mengurungkan niatnya. Sebaliknya, ia membawa bola itu ke ladang dan meletakkannya kembali di tempat semula.
“Sarti,” panggilnya kepada istrinya. “Malam ini aku akan berjaga di ladang.”
Sarti mendongak dari pekerjaannya, tatapan khawatir mengintip dari balik wajahnya yang lelah. “Kenapa? Ada apa?”
“Celeng mungkin akan datang.”
Malam itu, Darman menghabiskan waktu di gubuk kecil di ladang. Ia menyalakan obor dan membawa cangkul untuk berjaga-jaga. Langit gelap pekat tanpa bintang, dan hanya suara jangkrik yang menemani. Tapi menjelang tengah malam, suara itu menghilang. Hening menggantung di udara, seolah-olah alam sedang menahan napas.
Kemudian, ia mendengar suara itu: langkah kaki berat di tanah, diikuti gemerisik daun jagung. Darman berdiri, cangkul di tangan. Ia mengintip dari celah gubuk dan melihat bayangan hitam bergerak di antara barisan jagung. Celeng. Tapi bukan hanya satu atau dua. Puluhan, bahkan mungkin ratusan.
***
Keesokan paginya, ladang Darman hancur. Jagung-jagung tercabut dari akar, daun-daunnya robek, dan tanah berantakan. Tapi yang paling membuatnya gelisah adalah apa yang ia temukan di tengah ladang: dua bola kulit jagung.
Dua malam.
Ia tahu ia tidak bisa melawan celeng itu sendirian. Ia pergi ke rumah Pak Jono, sesepuh desa yang dikenal sebagai penjaga cerita-cerita lama. Pak Jono tinggal di rumah kecil dengan tembok yang penuh retakan, seolah-olah waktu berusaha menghapusnya dari dunia.
“Pak, ladang saya…” Darman memulai, tapi Pak Jono sudah mengangkat tangan, menghentikannya.
“Aku tahu apa yang kau lihat,” kata Pak Jono. “Celeng-celeng itu tidak datang begitu saja. Mereka dipanggil.”
“Dipanggil oleh siapa?”
“Dadung Kawuk.”
Pak Jono menjelaskan bahwa perjanjian lama antara manusia dan celeng sudah mulai rusak. Hutan selatan, yang seharusnya menjadi wilayah celeng, kini sering diganggu. Orang-orang menebang pohon untuk kayu bakar, memburu binatang untuk dijual.
“Jadi apa yang harus saya lakukan?” tanya Darman.
“Kau harus pergi ke jobo larangan dan berbicara dengan Dadung Kawuk.”
***
Malam berikutnya, dengan hati yang penuh ketakutan, Darman memasuki hutan selatan. Ia membawa lentera kecil dan berbekal doa yang diajarkan Pak Jono. Pohon-pohon tinggi menjulang di sekitarnya, membentuk dinding gelap yang tampak tidak berujung.
Setelah berjalan selama satu jam, ia menemukan jobo larangan. Patung celeng itu berdiri di tengah, berlumut dan penuh retakan, tetapi kepala patung itu jelas mengarah ke utara.
Darman berlutut di depan patung. “Dadung Kawuk,” bisiknya, suaranya bergetar. “Aku datang untuk meminta maaf. Kami tidak bermaksud merusak hutanmu. Tapi keluargaku, anak-anakku… mereka bergantung pada ladang itu.”
Tidak ada jawaban. Hanya angin dingin yang berembus melalui pepohonan.
Darman menggali sakunya dan mengeluarkan bola kulit jagung yang ia temukan. Ia membakarnya di depan patung, seperti yang neneknya katakan. Api kecil menyala, menghabiskan bola itu hingga menjadi abu.
Saat itu, suara gemuruh terdengar di kejauhan, seperti langkah kaki yang berat. Darman membeku. Apakah itu kawanan celeng? Atau Dadung Kawuk sendiri? Tapi ketika ia menoleh, ia hanya melihat pohon-pohon yang bergoyang pelan.
Ketika ia kembali ke ladang keesokan paginya, ladangnya tetap hancur. Tapi tidak ada bola kulit jagung. Tidak ada tanda-tanda bahwa celeng akan datang lagi.
***
Hari-hari berlalu, dan Darman mulai memperbaiki ladangnya. Setelah beberapa hari, ia kembali menemui Pak Jono untuk bercerita. Pak Jono mendengarkan dengan seksama, matanya menerawang seolah menembus waktu. Setelah hening beberapa saat, ia berkata pelan, “Apa yang kau lihat di jobo larangan bukan sekadar kebetulan, Darman. Mereka—Dadung Kawuk dan anak-anaknya—tidak pernah pergi. Mereka hanya menunggu. Kau melakukan yang bisa kau lakukan, tapi ingat, perjanjian itu bukan hanya milikmu. Itu milik kita semua.”
Darman terpaku mendengar kata-kata Pak Jono. “Tapi bagaimana jika mereka kembali?” tanyanya.
Pak Jono menghela napas panjang, suaranya semakin dalam. “Yang kembali bukan mereka, tapi kita yang lupa. Hutan selatan itu bukan cuma pohon dan tanah; ia adalah nafas bagi desa ini. Selama kita ingat untuk menghormati, kita bisa hidup berdampingan. Kalau lupa… ya, kau tahu akibatnya.”
Sejak hari itu, Darman mulai mengikuti Pak Jono untuk membawa dupa dan makanan menuju perbatasan hutan. Sebuah tradisi yang disebut sebagai ngabei yang telah lama ditinggalkan. Dupa dinyalakan doa bersama dilakukan dan makanan disantap bersama-sama, tidak ada yang spesial dari apa yang Darman dan Pak Jono lakukan. Mula-mula hanya keluarga mereka, lambat laun seluruh penduduk desa turut serta dua kali setiap tahun. Awal musim hujan dan awal musim kemarau.
Setiap kali angin berembus dari selatan, membawa aroma tanah dan daun, Darman selalu ingat malam itu, ketika ia berbicara dengan Dadung Kawuk di tengah hutan, di bawah bayang-bayang pohon yang tak pernah tidur.
Penyelaras aksara: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: PxHere