Menjadi Petani, Antara Pekerjaan Mulia dan Hidup yang Tak Pernah Sejahtera

Selama ini, petani selalu disebut sebagai garda terdepan dalam pembangunan, sayangnya kesejahteraan mereka terus digerogoti.

Beberapa tahun terakhir pemerintah Indonesia tengah gencar mendorong para pemuda untuk bertani. Bahkan, Kementerian Pertanian Indonesia telah menyiapkan program khusus seperti Petani Milenial dan Brigade Pangan. Namun, masih banyak problem klasik petani yang belum terselesaikan hingga saat ini.

Apakah petani muda akan sejahtera atau hanya akan mewarisi masalah-masalah dari para pendahulunya?

Terjun di dalam dunia pertanian bisa menjadi alternatif mencari pekerjaan, di saat lapangan pekerjaan sulit digapai. Anda bisa memulainya dari satu petak lahan atau dari pekarangan rumah yang dimanfaatkan menjadi lahan produktif. Coba saja dulu, mungkin anda bisa melakukannya dengan lebih baik hingga meraup untung jutaan rupiah. Namun, berhati-hatilah ketika menjadi seorang petani dan menganggap pekerjaan ini bisa sembari menikmati keindahan alam, slow living, dan kebebasan individu. 

Setelah saya lulus kuliah, saya mencoba untuk menjadi petani dengan menyewa lahan milik orang lain dari hasil kerja serabutan saat menjadi mahasiswa. Akhir-akhir ini, saya baru sadar menjadi seseorang yang berprofesi sebagai petani desa memiliki banyak sekali tantangan mulai dari harga panen fluktuatif, middleman, jeratan mafia pupuk, dan mungkin masih ada lagi masalah yang selalu menghantui para petani. 

Keputusan tersebut saya ambil dikarenakan ada perasaan tenang ketika menyentuh tanaman, melihat pertumbuhan, dan tentu pada saat momen panen. Ditambah dengan konten di media sosial yang mengatakan menjadi petani dengan lahan sempit bisa mendapatkan cuan lebih.

Berangkat dari kesenangan tersebut akhirnya saya mencoba menanam dengan skala yang cukup luas dan mulai menekuni menjadi petani. Saya tidak melakukannya sendiri, ada beberapa kawan yang lebih tua di bidang pertanian yang telah menghabiskan waktunya untuk bertani. Saya belajar banyak hal mengenai tanaman dan problem di sektor pertanian. Seiring berjalannya waktu, saya mulai memahami setiap proses pengolahan tanah, pemupukan, perawatan, hingga waktu panen.

dok M. Jia Ulhaq

Kini saya merasakan betul jika situasi sedang tidak menguntungkan bagi para petani, ditambah dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi produktivitas tanaman. Faktor tersebut dapat dirasakan secara langsung ketika memulai menggarap lahan, para petani harus menghadapi harga pupuk dasar yang cukup mahal. 

Problem pupuk sudah menjadi problem yang tak kian menemui solusinya. Pupuk menjadi salah satu kunci keberhasilan untuk mengedepankan hasil tani yang maksimal. Saya sendiri mencoba mencari alternatif pupuk dengan mengusulkan dengan penggunaan pupuk organik. Namun, Para petani masih menganggap bahwa pupuk organik akan memakan waktu lebih lama ke masa panen, sedangkan mereka tidak memiliki pekerjaan lain selain bertani, ditambah dengan di desa kami tidak banyak peminat tanaman organik karena harganya masih sama-sama ditentukan oleh tengkulak. 

Para petani yang tidak memiliki modal untuk memulai menanam akan meminjam kepada tengkulak. Meminjam kepada tengkulak berarti terikat, artinya pada saat panen petani harus menjual hasil tani ke pemodal/tengkulak. Sedangkan, permainan harga yang dilakukan tengkulak kadangkala tidak menguntungkan petani. Keterikatan inilah, titik awal bagaimana kontrak tersebut menjerat petani bagai lingkaran setan.

Petani yang lebih tua sebetulnya tidak ingin adanya hubungan dengan pihak lain apalagi tengkulak, akan tetapi tidak ada jalan lain selain meminjam.

Pupuk subsidi yang disediakan oleh pemerintah disumbat oleh dedemit pemerintah. Mereka (pemerintah) tetap mengharuskan adanya uang jalan, bahkan pernah suatu waktu pupuk sengaja disulap menjadi kualitas busuk. Yang kita tahu, pupuk sebenarnya merupakan input penting dalam meningkatkan produktivitas tanaman. Sulitnya mendapatkan pupuk berarti menyulitkan peningkatan kesejahteraan petani.

Pada saat memasuki masa perawatan, tanaman tentu membutuhkan pupuk baru lagi untuk mempercepat pertumbuhan. Di masa ini juga merupakan kunci keberhasilan, namun kadangkala daun yang tengah menghijau, batang yang mulai bertumbuh, seringkali dihinggapi oleh hama. Oleh karena itu, petani harus menguras dompet mereka lagi dan lagi untuk membeli pupuk dan obat pengusir hama.

Memang, bagaimana pun para petani sebenarnya sudah memprediksi biaya produksi. Sayangnya, selalu ada saja faktor di luar kendali yang tidak bisa diprediksi, hal tersebut yang selalu membuat petani khawatir akan hasil pertanian.

Badai masalah akan terus berlanjut ketika setan-setan desa mulai mengintip ketengah ladang, mereka mendekati para petani yang tengah menggarap lahan bahwa harga pasar sedang merosot. Para petani yang dipinjami modal akan diam karena dia terikat kontrak. Seleksi alam memang sudah usai. Namun, saat panen pertarungan dengan lintah darat baru dimulai.  

Dialog antara Petani Tua dan Muda

Pak Ilyas yang sudah menginjak usia senja, kini memilih berprofesi menjadi seorang petani yang harus ia tempuh. Performa di usia tua dan batasan usia di lowongan pekerjaan mengharusnya kembali ke kampung. Tidak mengherankan menjadi petani di usia tua menjadi salah satu jalan untuk melanjutkan hidup dengan menginjakan kaki ke tanah, mengolah lahan, dan memetik hasil layaknya part of life in the old age.

Bermodalkan hasil dari merantau yang tidak seberapa. Beliau mempertaruhkan sisa uang untuk bertani. Tak jarang mereka harus memulainya dari nol, mempelajari cara mengolah lahan, mempertimbangkan ongkos produksi, mencari pasar, dan bargaining dengan para tengkulak. Selain itu, untuk mereka yang tidak memiliki lahan garapan, terkadang harus menyewa lahan sehingga harus menambah biaya modal. 

“Terjun ke dunia pertanian, jangan memikirkan keuntungan, bisa-bisa stress,” ujar Pak Ilyas.

Apa yang dikatakan Pak Ilyas memang benar adanya, kadang kala setelah muncul buah lalu siap panen. Pikiran menjadi kaya dari hasil pertanian menjadi pelipur lara atau menjadi obat dari letihnya bertani. Sayangnya, petani akan selalu mengharap pada ketidakpastian. 

Harga jual yang awalnya tinggi bisa terjun bebas sebebas-bebasnya hanya dalam satu atau dua hari. Keadaan yang tidak menguntungkan tersebut terkadang ada campur tangan para setan-setan desa. Tengkulak bermain harga, alhasil petani lebih baik membagikannya ke tetangga atau membuangnya ke sungai dari pada harus menjual dengan harga yang tidak masuk akal.

Banyak sekali petani yang saya temui menganggap profesi ini sebagai ibadah atau hanya memperpanjang jangka waktu habisnya uang. Bagaimanapun mereka selalu memuliakan pekerjaan yang terus diinjak-injak. 

“Hidup menjadi petani itu ibadah, menanam itu pekerjaan mulia, setiap tanaman yang kita siram akan mendoakan kita,” tutupnya.

Permasalahan yang pelik di dunia pertanian akan berimbas pada minimnya minat anak muda untuk terjun langsung ke lahan. Saya bersama dengan seorang kawan, Mazhumi namanya. Selama proses pengolahan tanah hingga proses panen, dirinya terpaksa pergi ke sawah. Baginya, sektor pertanian mengandung banyak resiko. 

Melihat orang tua Mazhumi yang terjun di dunia pertanian memperlihatkan realitas yang terjadi jika seseorang memilih menjadi seorang petani. Menurutnya, pekerjaan menjadi seorang petani penuh dengan tantangan. Cuaca yang tidak menentu, harga pupuk yang mahal, harga hasil panen yang tidak sebanding dengan keringat, dan yang paling menjijikan adalah permainan tengkulak. Namun, bagaimanapun nantinya, ia bilang kelak dirinya akan menjadi petani di masa tua. 

Tidak banyak anak muda di desa kami yang terjun di dunia pertanian. Kebanyakan para pemuda lebih memilih pergi meninggalkan desa untuk mendapatkan kepastian hidup dengan bekerja di dunia industri. Pilihan para pemuda untuk meninggalkan kampung halaman merupakan pilihan rasional yang tidak bisa disalahkan. Ada anggapan bahwa petani merupakan pekerjaan kotor yang tidak bisa meningkatkan kesejahteraan. Belum lagi dengan stereotip petani yang masih identik dengan kelas bawah dan tidak mampu meningkatkan status sosial.

Hal ini tentu mengakibatkan sulitnya regenerasi petani di desa saya sendiri.

dok M. Jia Ulhaq

Omong Kosong Kesejahteraan Petani

Petani muda maupun tua memiliki kerentanan yang sama jika kebijakan dan keberpihakan jauh dari para petani. Terlebih petani yang tidak memiliki lahan, mereka sangat rentan jatuh kepada lingkaran kemiskinan. Bayangkan saja, Pak Ilyas yang telah menghabiskan masa hidupnya untuk bertani masih harus menyewa lahan, membeli pupuk, dan merawatnya. Sedangkan harga hasil panen ditentukan pasar. Belum lagi, cuaca yang tidak menentu dapat mengakibatkan gagal panen.

Kami sebagai petani yang masih amatir tentu perlu belajar dari pengalaman pengalaman Pak Ilyas bahwa bertani bukan hanya tentang proses penanaman. Akan tetapi perlu juga mendiskusikan situasi dan arah kesejahteraan petani. Selama ini, petani selalu disebut sebagai garda terdepan dalam pembangunan, sayangnya kesejahteraan mereka terus digerogoti.

Masa depan petani generasi selanjutnya akan sama terjerat pada masalah-masalah klasik yang kian tak kunjung usai. Jika tidak ada perbaikan, maka generasi petani akan mewarisi keletihan. Sistem ekonomi yang selama ini hadir justru menjadi lintah darat, ongkos produksi yang tidak sebanding dengan harga panen, middleman yang menguras keringat. Bertani menjadi arena pertarungan yang melelahkan, angka kemiskinan masih disandang oleh para petani dan setan desa masih bergentayangan menghantui setiap petani di sawah-sawah hingga saat ini.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: M. Jia Ulhaq

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Terapi Minor: Dari One Piece, Sudah Waktunya untuk Marah

Related Posts