Puisi adalah puncak pencapaian derita penyair.
(Titik Mula Puisi karya Octavio Paz)
Kemiskinan adalah salah satu akar penderitaan penyair di Indonesia. Ketika membaca riwayat hidup mereka, sebagian berada dalam kondisi miskin, bahkan melarat. Misalnya Chairil Anwar, di balik nama besar “Pelopor Angkatan 45”, ia hidup menggelandang. Ia suka berutang kepada kawan, atau minta makan ke rumah H.B. Jassin.
Hasan Aspahani dalam bukunya, Chairil: Sebuah Biografi (2016) menyebut, honor Chairil hanya Rp.50,00 untuk satu buah puisi. Bermodal pendapatan itu, Chairil nekat mempersunting Hapsah. Menurut Hapsah, andai suaminya mengirim tiga buah puisi dalam sebulan, kebutuhan hidup keluarganya tercukupi. Dengan catatan, harus ditopang gaji Hapsah sebagai pegawai negeri. Alih-alih menuruti bininya, Chairil menolak menulis puisi untuk ekonomi keluarga. Baginya puisi bukan untuk mencari materi. Idealisme itu membawa Chairil ke meja persidangan, Hapsah menuntut cerai.
Selain perceraian, idealisme membawa Chairil pada penyesalan. Ia rindu pada anak-bininya. Ia menyadari betapa pentingnya uang bagi sebuah keluarga. Kejadian itu dituturkan Nasjah Djamin dalam buku Hari-Hari Akhir Si Penyair (1982), “Kalau sudah dapat honorarium dari buku, ia (Hapsah) akan kurebut kembali. Kami akan honeymoon ke Bali,” pamer Chairil kepada Djamin dan kawan-kawan lainnya. Saat itu, Chairil tibatiba datang membawa lembaran-lembaran sajaknya. Tapi nahas, ia lebih dulu mati sebelum bukunya, Yang Terampas dan Yang Putus terbit.
Dua dekade setelah Si Binatang Jalang mati, di wilayah lain, muncul sekelompok penyair yang berkeliaran di Malioboro. Di bawah asuhan Umbu Landu Paranggi, mereka menamai dirinya Persada Studi Klub (PSK). Kehidupan penyair PSK tak kalah menggetirkan. Pernah, Eka Ardhana, salah satu penyair PSK, belum makan seharian karena tak mampu membeli sebungkus nasi. Ia hanya mampu membeli jagung rebus untuk dimakan berdua bersama kawannya.
Biarpun begitu, penyair PSK memang tidak sibuk menumpuk materi. Mereka adalah kumpulan gelandangan yang menghimpun kata-kata untuk dijadikan puisi. Sebagaimana dituliskan Asef Saeful Anwar dalam Persada Studi Klub dalam Arena Sastra Indonesia (2015), mereka tidak punya pekerjaan tetap untuk menopang kebutuhan hidup dari segi ekonomi. Kemudian, dari mana sumber penghidupan mereka?
Menjamurnya koran pada periode itu tak bisa diabaikan. Sebagaimana ditengarai Ahmadun Yosi Herfanda dalam esai Evolusi, Genre, dan Realitas Sastra Koran (2004/2005), media massa seperti Pelopor Yogya, Kompas, Sinar Harapan, Kedaulatan Rakyat, Berita Buana, dan Suara Karya menyediakan kolom puisi di halaman mereka. Penyair yang puisinya termuat, mendapat honorarium berupa uang. Seringkali, pemuatan puisi merupakan rezeki untuk teman sesama penyair dengan mentraktir makan.
Menginjak dasawarsa 2000, koran mengalami lonjakan popularitas. Hal ini menjadikan koran ladang bercokolnya karya sastra. Para penyair berlomba mencari eksistensi melalui koran. Dari sini persaingan yang ketat tercipta. Penyair baru tumbuh subur, dan perlahan menggeser penyair lama. Kans mendapat honorarium lebih menantang dan sulit didapatkan.
Mengutip dari Kedaulatan Rakyat, 17 Februari 2009, “Berat sekali kalau mengandalkan hidup dari honor puisi. Lha bagaimana, sekarang penyair banyak sekali, (puisiku) tidak bisa termuat di koran setiap hari. Mau tidak mau, ya, harus bekerja biar bisa makan dan bayar sekolah anak,” keterangan Fauzi Absal, mantan anggota PSK, setelah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Walhasil, Absal membuka usaha reparasi sandal dan sepatu untuk bertahan hidup, berkat keterampilan yang diwariskan ayahnya.
Seiring waktu berjalan, peralihan media cetak ke digital memengaruhi koran maupun pembaca. Bergesernya iklan dan pembaca ke platform digital, membuat keuntungan koran menurun. Agar dapat bertahan, banyak koran meniadakan honorarium kolom sastra untuk menekan pengeluaran. Dalam esai Vis a Vis: Sastra Koran dan Sastra Digital yang termuat di Kedaulatan Rakyat, 22 Januari 2021, Angga T. Sanjaya, menuliskan, “Apabila koran tutup usia, maka dalam konteks sastra, banyak koran telah membatasi kolom bagi sastra.” Seperti halnya Kompas yang menutup kolom puisi pada awal 2020.
Bagi penyair, mungkin ini semacam kutukan kedua. Honor tidak seberapa, tapi kolom sastra dikebiri. Ditambah, kenaikan harga barang dan jasa terus melambung, membuat jarak antara honor dan kebutuhan hidup makin melebar. Walakin, terjadi juga transformasi media massa cetak menuju format digital. Sebagian media kemudian membuka kembali kolom sastra. Seperti Kompas yang mengucurkan kembali keran puisi pada 2023 berbasis daring.
Ruang daring yang lebih luas daripada cetak, tak mengubah kesempatan hidup layak bagi para penyair. Kehidupan penyair tetap sama sebagaimana ketika media cetak berjaya. Hal ini dibuktikan oleh tiga penyair yang saya temui.
Mereka adalah Jemi Batin Tikal dari komunitas Jejak Imaji, Rifdal Ais Annafis dari komunitas Kutub, dan Polanco S. Achri dari komunitas Susastra. Ketiganya penyair yang diperhitungkan dalam jagad kesusastraan dan tercatat sebagai penyair ASEAN oleh Yayasan Kajian Nusantara Raya.
Jemi, sapaan akrab Jemi Batin Tikal, mengutarakan, “Tidak bisa seseorang hidup dari puisi, termasuk aku.” Meskipun royalti dari penjualan buku puisinya yang berjudul Yang Tidak Mereka Bicarakan Ketika Mereka Berbicara tentang Cinta mencapai 20%— lebih tinggi daripada standard royalti penerbit mayor untuk rata-rata penulis yang hanya 8% sampai 15%—ia jadikan itu sebagai pendapatan tambahan saja.
Hal senada diucapkan Rifdal Ais Annafis, atau sering dipanggil Ais, “Menjadi penyair di Indonesia adalah pertaruhan besar.” Meskipun tergolong penyair yang produktif—seminggu sekali mengirim puisi ke media—honorarium itu tidak mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Belum lagi betapa kompetitifnya bila mengirim puisi ke media-media besar. Sebagai perbandingan, dari sepuluh puisi yang dikirimkan, hanya lima puisi yang dimuat.
Tantangan lainnya, “Kurangnya media yang memuat puisi dan berhonor. Dan, semisal puisiku termuat di Tempo sekarang, perlu beberapa bulan untuk dimuat lagi. Jadi, aku harus mikir media mana yang bisa aku dapat uang dari puisi,” keluh penulis buku puisi Artefak Kota-Kota di Kepala.
Sama halnya Polanco S. Achri, ia merasa honorarium puisi seringkali rendah. Sebagai penyair yang berciri khas puisi panjang, ia merasa tidak diuntungkan. “Media online cenderung memakai puitika dan dramaturgi koran dengan puisi yang pendek,” ungkap Polanco di bawah pohon mangga depan rumahnya.
Oleh karena itu, ia mencoba peruntungannya ke majalah. Sebab, majalah memuat puisi panjang, juga honorariumnya cukup besar. Misalnya, Mata Jendela dan Majas yang memberi Rp1.000.000 untuk sepuluh puisi. Akan tetapi, terbitnya majalah tidak sesering media massa yang lain.
Polanco bukan seorang mata duitan. Ia juga mengirim puisi ke media tak berhonor. Kalau begitu, apakah puisi tidak punya harga? “Hitung-hitung sebagai sedekah kebudayaan,” jawab Polanco dengan bijak.
Hal ini disayangkan bagi sebagian media yang tidak memberi honor. Padahal, media online bisa mengkapitalisasikan dalam bentuk iklan. Penghasilan dari iklan itu yang bisa dibagikan kepada kontributor tulisan, termasuk kontributor puisi.
Pendek kata, apresiasi terhadap puisi dari segi materi sangatlah minim. Dibanding UMR Yogyakarta, masih lebih pedih upah penyair! Sementara, untuk menghasilkan sebuah puisi bisa memakan waktu berbulan-bulan. Lalu, bagaimana tiga penyair di atas menyiasati situasi demikian?
Bagi Jemi, puisi adalah media paling pas untuk menampung perasaannya. Sehingga uang baginya bukan persoalan. “Honorarium hanya bonus belaka,” ujar Jemi di kontrakannya.
Ia juga mengatakan, “Penyair yang hidup dari puisi bisa terhitung jari. Bahkan, para penyair besar memiliki pekerjaan lain seperti editor, ilustrator dan content writer.” Pun dirinya, mengandalkan pekerjaan sampingan sebagai pengarsip di penerbit Jejak Pustaka cum guru ekstrakurikuler jurnalistik di SMA Ali Maksum. “Hidupku ditopang dari situ, bukan puisi,” ucap Ketua Divisi Sastra Jejak Imaji.
Berbeda dengan Jemi, Ais tidak hanya mengandalkan honorarium puisi untuk hidup. Ia merambah penulisan esai, cerpen, dan resensi. “Kalau semua honorarium digabung, baru bisa menghidupi. Itu pun mepet. Harus menekan pengeluaran,” kisahnya.
Saat ditemui di Kutub, penyair kelahiran Madura itu mengakui sering mengikuti sayembara puisi. Pernah ia memenangkan Payakumbuh Poetry Festival dan Fun Bahasa. Hadiah yang diterimanya berkali lipat dibanding honor dari media massa.
Tidak ubahnya Jemi dan Ais, Polanco juga mempunyai pekerjaan sampingan sekaligus ikut serta dalam sayembara puisi. Kini, ia bekerja sebagai guru hononer di SMK Assalafiyah Mlangi, Sleman. Polanco pernah memenangkan sayembara puisi di Festival Sastra Yogyakarta 2023. Selain itu, ia bersama Jemi menjadi penyair undangan dalam Festival Kebudayaan Yogyakarta 2023. Mereka diminta mengisi acara, sekaligus menulis 5 buah puisi dengan imbalan mendekati UMR Yogyakarta.
Sayembara puisi menjadi alternatif pemasukan bagi para penyair. Namun seberapa rutin sayembara itu diadakan dan oleh siapa? Memang ini soal keberuntungan, tetapi dapat memperlebar nasib para penyusun kata-kata luhur itu.
Puisi Adaptif atau Penyair Apatis
Mereka yang memilih jalan puisi, dihadapkan pada tuntutan kreativitas dan kemauan keras. Tanpa keduanya, penyair akan mengalami kekalahan.
“Mereka yang semata hidup dari menulis puisi, tak lain hanyalah pilihan naif,” tegas Jemi. Iklim perpuisian di Indonesia belum mendukung. Ia tidak menyarankan menggantungkan hidup pada puisi. “Bergantung pada Tuhan, tentunya,” tutur Jemi yang akrab dijuluki “penyair yang dimuat 1000 tahun sekali”.
Penyair yang tinggal di Pleret, Bantul itu melihat kemungkinan lain jika mengirim puisi ke media luar negeri. “Di Amerika, ada media yang ngasih honorarium $100 untuk satu puisi. Jika untuk sekali pemuatan empat puisi, berarti bisa dapet $400 atau setara dengan enam juta rupiah,” terangnya
“Atau, nasib mereka kayak Martin Bell, penyair Inggris yang dapet beasiswa puisi dari Dewan Seni Inggris. Sangat mungkin hidup dari puisi,” tutup Jemi sambil terkekeh.
Tidak jauh berbeda dari Jemi, Ais turut menegaskan, “Hidup dari puisi itu nonsense.” Penyair yang membeli ponsel Samsung a01 dari honorarium puisi itu menambahkan, “Alangkah baiknya kita berikan jiwa dan perasaan untuk puisi. Seni untuk seni, bukan seni untuk profit.”
Sambil sesekali membuka ponselnya yang memiliki RAM 2GB itu, Ais mengatakan, “Ya, sebaiknya penyair punya pekerjaan lain.”
Di sisi lain, Polanco mencermati peluang puisi di era siber ini. Melalui platform seperti Instagram, Tiktok dan YouTube, puisi dapat menghidupi penyairnya. “Toh buktinya, Daruz Armedian dan Alfin Rizal, melalui media sosial mereka bisa menghasilkan (pendapatan),” ia mencontohkan.
Penyair beralis tebal itu juga melihat ruang potensial yang lain. Puisi dapat dialihwahanakan menjadi souvenir, kaos atau barang dagangan lain. “Maksudku, tidak menutup kemungkinan puisi bisa menghidupi,” pungkas Polanco.
Media bagi puisi perlu diperluas karena sebenarnya puisi bisa sangat adaptif. Apabila puisi disandarkan pada media cetak dan siber, penyair akan selalu kalah dalam finansial. Jika di koran puisi menjadi kolom bacaan, puisi di media sosial menjadi konten. Jika puisi bisa beradaptasi, kini giliran penyairnya, bersedia adaptif atau apatis?
Tampaknya, peluang yang tersaji di era siber ini belum diambil Polanco. “Aku memilih corak konvensional, suka di media cetak, media massa,” ia beralasan. Padahal, menyandarkan hidup dari mengirim puisi ke media massa tidaklah realistis. Atau, puisi akan lebih mudah tercipta jika penyair tertekan karena lapar?
Simak puisi Polanco yang dimuat Nusa Bali, 28 Juli 2022 berikut.
Rasa Lapar di Malam-Malam Purnama
I
Apabila pantul bulan, di atas genangan, bisa dimakan,
tentulah hati senang, sebab kenyang perut ini malam.
Akan tetapi, pantul bulan bukan roti atau ubi rebusan;
hanya dapat dipandang, berikan secuil rasa tenteramII
Di bawah bulan bundar, perut terasa amatlah lapar;
hasil kerja belum dibayar nantikan bulan berganti gelar.
Dengan tidur lupakan lapar, tetapi lapar sulitkan pejam;
andai ada yang beri roti tawar atau ubi segenggam.III
Ini malam rembulan begitu besar dan dekat kelihatan;
rasanya, angkat tangan pun bisa dapat sentuh-tergenggam!
Akan tetapi, apalah guna sentuh-menggenggam bulan,
bila tak bebaskan dari penderitaan, nestapa, jua kelaparan?(2020-2021)
Puisi di atas merekam lintasan pengalaman yang dialami si aku-lirik; sebagai manusia yang lapar dan menderita. Puisi yang terbagi atas tiga bagian itu menghadirkan rembulan sebagai metafora dari adanya harapan. Harapan aku-lirik yang menginginkan lepas dari rasa lapar dan cemas. Namun, apalah daya, meminjam kalimat Iwan Simatupang dalam Merahnya Merah, “Mengharap adalah kerja sia-sia belaka.”
Puisi memang tidak membuat penyair kaya. Namun, puisi dapat menjadi tiket bagi penyair memasuki dunia sastra yang lebih luas. Produktivitas sebagai penulis membuka peluang bagi penyair untuk mensejahterakan dirinya. Tidak hanya dalam bentuk karya, tetapi juga media dan jejaringnya.
*) Esai ini pertama kali di buku Upaya Menemukan Yogya, hasil program volunteer Radiobuku batch 10.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: redaksi sudutkantin.com