Etnografi Biografi Soerjopranoto: Telur Busuk untuk Habib Gadungan, Hardik Gebuk untuk Belanda Peranakan

Den Mas Landung membuat onar! Pada suatu hari Jumat di halaman Masjid Agung Pura Pakualaman, ia hajar rentenir yang mengaku-aku sayyid Arab. Pedagang agama itu lari tunggang-langgang ditimpuk telur busuk dengan bau yang menyebar tak karuan. 

Perkelahian antara Den Mas Landung dengan sinyo-sinyo Belanda, contoh yang lain lagi. Bukan tanpa alasan. Ia melawan orang-orang yang mengaku atau merasa pembesar, tetapi sewenang-wenang menghujat, menjerat, dan memperalat rakyat yang melarat. 

Kisah-kisah demikian itulah yang membuat julukan Den Mas Landung erat pada Raden Mas Iskandar, yang tak lain adalah nama lahir Raden Mas Soerjopranoto. Secara genealogi, ia putra sulung Kangjeng Pangeran Harya Soerjaningrat, seorang aristokrat dari Kadipaten Pakualaman―putra sulung Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Soerja Sasraningrat (yang baru mendapat gelar Paku Alam III di kemudian hari setelah mangkat). Singkatnya, Soerjopranoto merupakan cucu dari Paku Alam III. 

Tetapi, K.P.H. Soerjaningrat tak bisa melanjutkan takhta Kadipaten Pakualaman karena mengalami kebutaan. Versi lain mengatakan kalau kebutaan itu disebabkan karena ia tak berkehendak.

Satu lagi, yang juga perlu disebut, R.M. Soerjopranoto adalah kakak kandung, tunggal bapa biyung, R.M. Soewardi Soerjaningrat, yang kemudian lebih kawentar dengan nama Ki Hadjar Dewantara.  

Narasi di atas penting ditamsilkan merujuk judul pentas (Den Mas Landung) Soerjopranoto Bertukar Jalan. Pertunjukan arahan sutradara Irfanuddin Ghozali ini merupakan salah satu tubuh dari proyek pementasan Soerjopranoto: 6 Tubuh si Raja Mogok yang diprakarsai Komunitas Sakatoya dalam program Fasilitasi Bidang Kebudayaan Teater Kepahlawanan 2024, Kementerian Kebudayaan. Naskah disusun Ikun Sri Kuncoro bersumber dari buku Anak Bangsawan Bertukar Jalan (LKiS, 2006) karya Budiawan. 

Suatu performative knowledge. Pertunjukan teater sebagai etnografi biografi. Apa itu konstruksi pertunjukan teater untuk menghasilkan pengetahuan etnografi biografi? 

“Jika sebelumnya adalah praktik pembacaan teks tertulis (buku biografi), sekarang pengetahuannya kita baca lewat pengalaman ketubuhan dan konteks budaya nilai-nilai sosial di sekitar biografi itu pada saat ini (pengalaman etnografi). Itu yang dimunculkan,” demikian Irfanuddin Ghozali menggarisbawahi.

Selama mengikuti alur pertunjukan, tokoh, latar, dan audiens dijumpai dalam matra sebagai riil, sebagai fiksi, dan sebagai ilusi. Bayangkan, apa saja kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dengan rangkaian pertunjukan yang berlangsung selama seharian pada Rabu Kliwon 4 Desember 2024 sejak pukul 09.00 hingga pukul 17.00? Mulai dari Gedung Madu Candhya Madukismo, Kompleks Makam Raja-Raja Mataram Kotagede, Masjid Gedhe Mataram Kotagede, dan berakhir di Emplasemen Pabrik Gula Madukismo

Bentangan sosial yang melingkupi pertunjukan ini berada di ruang realitas lintas waktu, membawa peristiwa lampau ke dalam konteks kekinian secara luwes. Inilah teater etnografi biografi itu. Inikah teater pasca-drama itu?

Enji Sekar sebagai Pembayun (dok. Komunitas Sakatoya)

Kenyataan dan Rekaan

Sebuah fenomena kontemporer dalam seni teater. Teks naskah beranjak dari kelazimannya menuju konteks. Panggung dikeluarkan dari kotak gedung ke lokasi yang luas dan leluasa menyesuaikan realitas domainnya. Ada banyak eleman yang terlibat. Variabel jalannya pementasan pun terbuka di sekitar peristiwa. 

Di sini, teater dimulai dari realita yang membaur dengan fiksi. Realitas dan realisme lebur membentuk pemaknaan tertentu yang dijangkau dengan konsep presentasi dan representasi.

Paduan pendekatan etnografi dengan biografi menjadikan perjalanan Soerjopranoto mesti diikuti dari titik pantul ke titik simpul. Hal tersebut untuk menatap anasir-anasir biografi Soerjopranoto yang melatarinya melakukan resistansi-resistansi. Karena berangkat dari biografi, maka selanjutnya teks tertulis, konteks budaya, dan nilai-nilai sosial yang ada dalam narasi Soerjopranoto dihidupkan melalui ruang-ruang, bentuk-bentuk, fenomena, peristiwa, dan wacana hari ini. 

Kisah dimulai dari keberangkatan Soerjopranoto (diperankan Margono Wedyopranasworo) ziarah ke makam leluhur di Kotagede didherekake adiknya, Soewardi Soerjaningrat (diperankan Patah Ansori), dan rombongan kerabat yakni ahli waris Soerjopranoto, Musyawarah Guru Mata Pelajaran IPS Kab. Bantul, Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejarah Kota Yogyakarta, Persatuan Tunanetra Indonesia DPC Bantul, dan Persatuan Tunanetra DPD DIY, semua lebih kurang seratus orang. Dengan demikian, (Den Mas Landung) Soerjopranoto Bertukar Jalan dapat disaksikan, bahkan dialami oleh siapa saja, tak terkecuali penonton tunanetra. Sebuah teater yang inklusif.

Soerjopranoto dan rombongan yang sebagian besar mengenakan pakaian peranakan sebagaimana abdi dalem jaler, berjalan kaki menelusuri lorong-lorong ciut perkampungan Kalurahan Jagalan menuju kompleks Masjid Gedhe Mataram dan Makam Raja-Raja Mataram Kotagede. Unsur-unsur artistik lokasi menjadi setting teater sekaligus sebagai keadaan itu sendiri. 

Simbol-simbol pada wacana Soerjopranoto berupaya dimuncul-kembalikan dalam pementasan ini.

Beruntung, pada bagian awal, simbol yang ada dengan segera dapat dimengerti audiens. Simbol yang dekat dan dibela oleh tokoh utama pementasan ini. Kemunculan sosok anonim, seseorang dengan perangkat yang melambangkan bahwa ia adalah rakyat. 

Rakyat (diperankan Ficky Tri Sanjaya) yang tengah menjemur gabah di halaman Masjid Gedhe Mataram itu menyambut hangat Soerjopranoto dan Soewardi Soerjaningrat beserta rombongan. Laiknya benang merah, ia menjadi juru penghubung adegan pementasan sesuai alur.

Kotagede menjadi lokasi potensial untuk mempertemukan tokoh-tokoh dari berbagai masa. Ada situasi-situasi yang mencoba mengusik audiens untuk melihat peristiwa dalam berbagai matra ruang dan waktu. Walhasil terjadi hubungan bolak-balik, masa kini membaca masa lalu dan masa lalu membaca masa kini.

Lokasi dan situasi kompleks makam sebagai panggung diberdayakan. Keberadaan Sendang Seliran sesuai realitas sejarah digunakan sesuci sebelum nyekar. Di situ, para pelakon dan audiens dipertemukan dengan air sebagai simbol dan dalam pengertian yang sesungguhnya. Simbol yang lebih tegas terkait penanda pada lokasi ini adalah sosok Pembayun (diperankan Enji Sekar). Keberadaannya merekatkan lompatan matra waktu yang jauh antara Soerjopranoto dengan leluhurnya. 

Ritus bertemu situs. Mengenakan pakaian beledu hitam, Pembayun yang sendu sedang duduk termangu di bibir sumur timur sendang. Ia ayunkan siwur hilir mudik menyiramkan air kembang ke latar beriring tembang pethilan babad “Bedhahipun ing Mangir”. Soerjopranoto dan rombongan mengerumuni adegan itu hingga satu persatu beranjak tanpa kecuali setelah sosok Pembayun paripurna menyiramkan air kembang dari kuwali yang dipeluknya. 

Beranjak ke kompleks pemakaman tua yang menampakkan kesunyian: ketenteraman yang sesungguhnya tak selesai, bahkan mungkin tak tercapai. Serpih-serpih biografi Soerjopranoto dirangkai.

Diarahkan seorang abdi dalem, Soerjopranoto beserta rombongan yang berpakaian peranakan lengkap bagi laki-laki dan mengenakan kemben bagi perempuan―memasuki kompleks Makam Raja Kotagede. Kemudian dipandu memasuki Bangsal Prabayaksa, Bangsal Witana, dan Bangsal Tajug. Kembang ditabur di atas nisan, dupa dinyalakan di sisinya, mulai dari makam Pangeran Jayaprana, Nyai Ageng Nis, Sultan Hadiwijaya, Ki Ageng Pamanahan, Panembahan Senapati, Ki Juru Mertani, Hamengku Buwana II, Paku Alam I, Paku Alam II, Paku Alam III, dan berakhir di makam K.P.H. Soerjaningrat dan Raden Ayu Sandiah. 

Ya, di kompleks pemakaman itu ada makam kedua orang tua Soerjopranoto. Demikianlah para pelakon dan rombongan ziarah membaca dan mengalami etnografi. Diperlihatkan situasi politis dan masalah kultural, misalnya melalui bahan dan tata nisan di dalam kompleks Makam Raja Kotagede. Hampir seluruh nisan di dalam cungkup menggunakan batu marmer, kecuali nisan trah Pakualaman yang menggunakan batu putih dengan ornamen ukir-ukiran. Sesuatu yang mengesankan, untuk tidak mengatakan kalau hal itu ganjil.

Secara politis, biografi menjadi pijakan memunculkan pengetahuan itu. Biografi menjadi media untuk menghadirkan kenyataan-kenyataan kebudayaan hari ini yang tersisihkan. Misalnya, kehadiran tunanetra yang selama ini sedikit mendapat akses tentang pengetahuan-pengtahuan besar. Di situlah perilaku dan peristiwa yang bertemu.

Sebagai pertunjukan yang berangkat dari biografi, pertunjukan ini tentu saja tidak sedang menghidupkan teks begitu saja. Teks yang ada sebelumnya telah menjadi teks baru. Seluruh peristiwa tak luruh menjadi fakta, ada narasi adegan yang difiksikan.  

Jarak antara audiens dengan aktor, antara teks dan konteks, diretas. Di satu sisi, tali sejarah disambung meski tidak mutlak dan mudah.

Landung Simatupang membacakan “Setya Rinonce” karya Soerjopranoto (dok. Komunitas Sakatoya)

Matra ruang dan waktu berlapis-lapis, bahkan memutar balik secara fiksional. Misalnya pada adegan pembacaan nukilan “Setya Rinonce” karya Soerjopranoto oleh sosok anonim (diperankan oleh Landung Simatupang). Pada adegan ini Soerjopranoto dan para pelakon yang lain telah menyatu dengan audiens. Soerjopranoto kemudian dimunculkan dalam sebongkah patung lempung yang masih basah (karya Purwanto dari ABDW Art Project) dan direspons saudara-saudara tunanetra yang memiliki kesamaan nilai dengan K.P.H. Soerjaningrat dengan meraba-raba seluk-beluk wajahnya. Suatu upaya menyampaikan teks dan konteks melalui simbol tertentu yang boleh jadi secara konvensi tidak serta-merta dapat dengan mudah dimengerti.

Pemaknaan Manasuka

“Mogok… Mogok… Mogok…”

Kata-kata itu seperti diteriakkan kembali dan terdengar gemuruh. Demo pemogokan buruh pertama kali dalam sejarah bangsa ini, yang kemudian meluas di Jawa. Aksi pemogokan buruh di Pabrik Gula Padokan pada 1920 yang diinisiasi dan diorganisir oleh Soerjopranoto. Di sinilah tonggak ketokohan Soerjopranoto. Sejak saat itu ia terkenal dengan julukan “si Raja Mogok”, sebutan yang dipopulerkan pertama kali di harian de Express.

Ornamen visual dengan spirit Soerjopranoto dalam pertunjukan “Den Mas Landung Bertukar Jalan” (dok. Komunitas Sakatoya)

Nuansa dan perangkat demo tampak marak di Emplasemen Pabrik Gula Madukismo. Panji-panji berwarna merah dan putih yang dibentangkan pada rusuk-rusuk lori dan perancah, memapar setiap orang yang menatapnya. Panji-panji bergambar figur Soerjopranoto dan teks-teks propaganda itu dibuat oleh ABDW Art Project. Tak ketinggalan, patung Soerjopranoto kembali dihadirkan, seumpama janji, tugur di antara kibaran panji-panji.

Panji; simbol yang mengingatkan pada pangkat Soerjopranoto ketika diangkat sebagai wedana sentana di Pura Pakualaman. Hal tersebut juga dapat dikaitkan pada cerita panji untuk membaca Soerjopranoto sebagai pengelana, keluar dari diri, membuka jalan baru, menjadi semangat zaman, sosok pionir, sekaligus juga sosok yang tak pernah mapan. Nalar seorang kesatria Jawa yang tak pernah selesai melakukan pencarian. 

Lebih tegas, pada bentangan kelir kecil, Fitri Bima Asih―seorang dalang perempuan―membabar satu babak biografi Soerjopranoto lewat lakon “Laire Kakrasana”. Soerjopranoto diasosiasikan memper dengan tokoh wayang Kakrasana, yang dikeluarkan dari istana lalu tumbuh di tengah masyarakat yang selalu ia bela. Dari situ terdapat pengertian bahwa untuk menjadi satria seseorang tidak mesti bertakhta. 

Tampilnya grup musik tunanetra Puser Bumi yang berkolaborasi dengan Bagus Mazasupa menyampaikan kedudukan lain tunanetra yang tidak hanya duduk di tepi, tetapi menjadi pusat perhatian. Riska, vokalis Puser Bumi, meraba huruf-huruf braille pada kertas di genggamannya, membacakan saduran tembang kinanti karya Soerjopranoto. Sekali lagi, titik pantul latar resistansi yang dilakukan Soerjopranoto muncul. 

Kemudian titik simpul itu. Adegan tentang sikap seorang priyayi dalam pergerakan kebangsaan melawan tekanan-tekanan bangsa asing. Penegasan sikap dan kedudukan nasionalisme seorang bangsawan-cendekiawan Jawa. Dialog antara Soerjopranoto dengan Soewardi Soerjaningrat menyoal gagasan-gagasan pergerakan nasional dalam artikelnya, “Als Ik Eens Nederlander Was”.

Melalui sebuah adegan, diperlihatkan bahwa perlawanan terhadap tipu daya orang asing masih kontekstual dan relevan dengan fenomena saat ini. Pertunjukan ini dimainkan oleh Kagama Teater, yakni Eko Yuwono, Landung Simatupang, Margono Wedyopranasworo, Patah Ansori, Marwan Er, Gutheng Samsi, Taufiq Nur Rachman berkolaborasi dengan Enji Sekar dan Davin Vinayaka.

Lalu layar latar matra itu pun turun. Dengan jelas audens diajak menatap Soerjopranoto dengan kacamata dunia saat ini melalui lecture performance oleh Budiawan. Sebagaimana Soerjopranoto yang menolak kenyamanan privilese kebangsawanannya, Budiawan pun menolak duduk di kursi empuk yang sudah disediakan di panggung. Ia tengah membawa Soerjopranoto kepada realitas hari ini, dengan bertumpu pada peristiwa 104 tahun silam di Pabrik Gula Madukismo. 

Budiawan menceritakan pengalamannya menyusun skripsi biografi Soerjopranoto yang diujikan pada 1991 di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, UGM. Ia pertanyakan mengapa ada seorang bangsawan yang justru menjadi tokoh gerakan buruh. Sementara itu para bangsawan lain menjadi penggerak untuk kalangannya sendiri. Privilese kemapanan menjadi laten berkepanjangan di kalangan elite politik. Berlandas pada wacana itu, jadilah skripsi yang kemudian terbit menjadi buku berjudul Anak Bangsawan Berukar Jalan pada 2006. 

Rangkaian pertunjukan ini diakhiri dengan penampilan Los Pakualamos, sebuah grup hiphop-oldschool beranggotakan pemuda-pemuda Pakualaman yang notabene adalah mantan berandalan. Latar tersebut menjadi jumbuh dengan apa yang dinarasikan dalam etnografi dan biografi Soerjopranoto. Diiringi musik yang khas, Los Pakualamos membaca Pamflet Soerjopranoto yang berisi protes soal resesi penindasan buruh.

Sebagai pertunjukan, (Den Mas Landung) Soerjopranoto Bertukar Jalan mewujudkan bentuk-bentuk yang kaya dari referensi kehidupan nyata dan sejarah yang panjang dan berarti. Teater ini mestinya mengusik penonton dengan wacana yang jarang dikemukakan dalam lintasan sejarah besar bangsa Indonesia. Praktik semacam ini menunjukkan peluang bagi teater kontemporer untuk keluar dari kejumudannya. Soerjopranoto, juga teater, tidak lagi terbelenggu sejarah. 


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: dok. Komunitas Sakatoya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Nara Rilis Album 'Selamat': Menembus Batas Yogyakarta dan Adonara di Ruang MES 56