EP ‘Angkat dan Rayakan’ Ananda Badudu: Walau Terjal, Hidup Harus Tetap Dilanjutkan

Merayakan, dalam album “Angkat dan Rayakan” Ananda Badudu, tidak selalu dengan pesta meriah yang gemerlap, melainkan tetap melanjutkan hidup pun adalah perayaan.

Ada tiga belas pengertian dari kata “hidup” dalam kamus dan semuanya tampak masuk akal. Namun, sulit untuk merangkumnya dalam satu kalimat utuh yang sempurna sesuai panduan umum berbahasa. Mungkin saja bisa, tetapi akan buang-buang waktu untuk membiarkannya menjadi pembuka di paragraf ini. Ada ratusan lagi pengertian yang masing-masingnya berbeda pula seturut dari mulut siapa pengertian tersebut dikeluarkan.

Bagi orang-orang yang keranjingan mengenakan seragam pada tubuh mereka, misalnya, hidup adalah tentang membela bangsa dan negara dari invasi dedemit teranyar. Sedang bagi orang-orang yang (selalu) berada di sisi tak diuntungkan, bisa saja, hidup hanyalah menunggu mati. 

Kepada yang kedua, saya kira,  mini album Angkat dan Rayakan karya Ananda Badudu ditujukan. Bukan untuk orang-orang yang lebih membutuhkan slogan dan orde untuk disemat di dada mereka, tapi untuk mereka yang tersisih dan diabaikan. Mereka yang tetap menjalani atau sekadar melanjutkan hidup, sekalipun nasib buruk tak henti-hentinya menimpa, dan yang tak pernah berhenti menjadi wong kalahan di hadapannya. Untuk kita.

Nanda membuka mini album (EP) yang rilis di 2021 ini dengan lagu yang berjudul sama, “Angkat dan Rayakan.” Diproduseri oleh Indra Perkasa, lagu ini menceritakan seseorang yang kecewa dan tak tahan dengan hidup, kemudian memutuskan memungkasi segalanya lewat bunuh diri.  Lewat lagu ini pula, Nanda berusaha memotret relasi Tuhan dengan hamba yang penuh sesak dosa. Bukan relasi antara majikan dengan bawahan, tetapi relasi perkawanan yang menghangatkan dan membangun. 

Tali tambang. Revolver. Pestisida. Meminum obat-obatan hingga overdosis. Membenamkan kepala ke dalam oven. Mungkin satu di antaranya jadi cara yang dilakukan si aku untuk mengakhiri hidupnya dalam lagu tersebut. Namun, sebelum itu terjadi, saat kematian hanya berjarak sejengkal dari tubuh, Tuhan turun untuk menenangkannya. 

Dia menghampiri / Lalu tanya-tanya / Kamu sedang apa? Kenapa? mengapa?
Sudah, sudah tak apa / Aku tidak murka / Kamu pasti lapar / Ayo cari makan”

Ia tidak memarahi si aku tersebut musabab upayanya mengakhiri diri, yang dalam beberapa teks agama merupakan terlarang, tetapi mencoba mengobrol untuk mengetahui kenapa si aku melakukannya; masalah seperti apa dan kehidupan yang bagaimana yang membuat si aku hendak memutuskan kontrak dengan hidup. Selanjutnya, Tuhan mencoba membantu si aku agar lebih tenang. 

Dengan gaya monolog dan dinyanyikan seperti orang sedang melenguh, ditambah instrumen dari suara artifisial elektronik, bikin lagu pada track pertama ini makin menguat secara suasana juga pengalaman mendengar. 

Dan kita berjalan / Seperti kawan lama” yang dilanjutkan “Maut aku lupa / sebab ia berkata” adalah lirik yang sedap ketika Ananda  hendak memperlihatkan hubungan karib (Tuhan dan hamba) ini, yang ternyata secara samar-samar, si aku telah banyak mencuapkan segala keluh kesah tentang hidupnya dan perasaannya kepada Tuhan.

Kemudian, pada lirik selanjutnya, si aku melungsurkan apa yang dikatakan Tuhan kepadanya: hidup harus terus berjalan, seberengsek apa pun dan bagaimanapun juga, angkat dan rayakanlah.

Lihatlah ke depan / Dan semua yang tlah lalu / Yang jauh terbentang / Itulah jalanmu
Yang salah dan benar / Yang kalah dan menang / Angkat dan rayakan”

Sikap penerimaan ini berlanjut pada lagu “Kita Berangkat Saja Dulu” yang berkolaborasi dengan Monita Tahalea. Pada lagu ini kita disuguhkan tentang jalan yang tak selalu mulus. Tentang masa depan yang abu-abu nan kabur. Tentang hidup yang terasa buntu dan tak selalu mendapatkan arah serta petunjuk. Kombinasi ini semua menciptakan kelimbungan dan kesulitan yang berujung kesedihan dalam hidup. Akan tetapi, pasrah atau menyerah bukan jawaban, sebagaimana judulnya, terkadang yang diperlukan hanyalah menerima dan tetap melangkah maju.

Barangkali kita berangkat saja dulu / Meski tau jalan nanti kan berbatu
Tak kau tahu berapa jauh / Tapi pasti kita berangkat saja dulu / Meski tau barangkali

Kolaborasi dengan perempuan kelahiran ’87 itu berlanjut pada lagu “Apa Mimpimu?”, yang menceritakan bagaimana hubungan dapat dijalin dengan baik ketika saling membantu satu sama lain. Lewat liriknya, pendengar disuguhkan bahwa kehidupan bersama adalah kehidupan timbal balik. Tidak ada yang mendominasi di antara salah satunya, baik yang satu maupun yang lain saling mengisi dan membentuk—menguatkan.

Tidak luput juga album mini berdurasi setengah jam ini untuk memasukkan orang kesayangan dalam hidup Nanda, yaitu ibu. Lagu “Air Matamu, Ibu” merupakan manifestasi tentang ibu yang menguatkan kita untuk tetap hidup serta menenangkan kalut. Dengan kata lain, meminjam kata-kata dari belakang truk, bahwa bukan diri yang hebat, tapi doa ibulah yang kuat. 

“Air matamu, ibu / Yang tumpah di hayalku / Tanpa kau tahu / Tlah menenangkanku
Air matamu, ibu / Yang tumpah di hayalku / T’lah  menjauhkanku
Dari segala pikiran untuk mengakhiri kemenangan ini”

Rasa sayang ini dibuktikan pula pada bait penutup yang jelas menampakkan kerinduan dirinya untuk pulang, lalu memeluk ibu. Di detik-detik terakhir lagu, kita diperdengarkan suara riang anak-anak yang sedang bermain, menambahkan kesan nostalgia masa kanak-kanak yang begitu dan tidak perlu jauh dari orang tersayang.

Cover album “Angkat dan Rayakan” Ananda Badudu.

Menerima Hidup dan Merayakannya

Nanda banyak melakukan eksplorasi dalam hal musikalitas pada mini albumnya. Tidak seperti, katakanlah,  Banda Neira yang cenderung bertumpu pada akustik. 

Meski lagu-lagunya cenderung pasrah dan melankolis, Nanda tidak mengizinkan ruang bagi hidup yang hanya nrimo-nrimo saja; pasif dalam sikap atau jinak dalam tindakan. Di track kedua, “Pada Nasib, pada Arus”, kita disuguhkan sikap yang perlu ditanamkan pada setiap diri: melawan. Dengan piano sebagai instrumen dengan tempo yang mendekati lambat, lagu dibuka dengan pernyataan untuk tidak menyerahkan diri.

Takkan kuserahkan garis hidupku / Pada nasib, pada arus
Dan pada rasa-rasa yang tak menentu / Yang mengikatku
Takkan kubiarkan arah hidupku dihempas nasib, dibawa arus / akan kutentang tantang
Dan tanggalkan itu yang kutahu” 

Nasib dan arus adalah dua hal yang punya makna hampir mirip dalam konteks ini. Namun, di tangan musisi duo Banda Neira tersebut, timbul beragam makna yang lain. Nanda kerap menyuguhkan lirik yang sederhana tetapi punya kedalaman. 

Nasib adalah takdir yang sudah diguratkan Tuhan.  Manusia hanya memiliki kemampuan untuk menerima dan bersabar pada apa yang sudah diputuskan dalam hidupnya. Namun, tak satu pun setan yang tahu bagaimana rincinya nasib tersebut, dan Nanda mengerti hal ini seringkali dipelintir oleh orang-orang yang punya kekuasaan. Nahasnya, mengakar menjadi budaya dalam masyarakat. Contohnya saja: kemiskinan yang lebih dianggap karena kemalasan dan kebodohan, alih-alih masalah struktural seperti akses terhadap pendidikan, upah, harga pokok, dan seterusnya.

Arus mungkin hampir sama, tetapi maknanya lebih menyiratkan tentang individu yang vis-à-vis dengan sekitarnya, dengan masyarakatnya. Dengan kata lain, istilah arus ini mengguratkan ihwal keberanian untuk tetap berada dalam pendirian, seperti orang yang sedang menyebrangi sungai. Bila yang dituju berada di depan, seseorang akan menahan dinginnya air serta arus (yang bisa jadi deras) yang menghalangi langkahnya. 

Sederhananya, nasib tidak lahir di ruang kosong. Tidak ujug-ujug. Selalu ada penyebabnya.

Pada bait selanjutnya, sikap ini menguat. Nanda tegas tetap melawan segala yang merintang, aral begitupun kendala. “Aku kan melawan” dengan “sekuat-kuatnya melawan” dan mau bagaimanapun “Takkan kuserahkan garis hidupku / Pada nasib, pada arus”  memungkasi lagu berdurasi hampir enam menit ini.

Mirip dengan visi lagu demikian, Nanda memilih gaya estetis lain dalam track “Hiruplah Hidup” yang lebih terkesan tenang. Dengan kata lain, jika “Pada Nasib, pada Arus” adalah kemarahan yang meluap-luap, maka di lagu terakhir ini kesan yang timbul adalah ketenangan laut, yang dalam ketenangannya pada permukaan, ia sanggup menenggelamkan kapal besar sekalipun.

Di lagu yang lebih dahulu terbit sebagai single ini, Nanda mengulurkan tangannya seperti sahabat lama yang mengajak kita untuk tetap hidup. “Hiruplah hidup”. Segala yang bikin kita lusuh dan ringkih, dan takut yang selalu lebih besar ketimbang keberanian, “Akan jua semu / Ditenangkan waktu”. Tugas kita, kata Nanda selanjutnya, adalah tetap meradang. 

“Dan teruslah, terus / Berkeras mengarung / Ke lautan luas / Dan menerang tenang”

Pada akhirnya, Angkat dan Rayakan adalah upaya untuk tetap hidup; menyalakan api dalam diri kita dan merayakan segala sesuatu yang didapat dari hidup, sekalipun, dan meskipun atau seringnya, hanyalah kekalahan. Merayakan, dalam album ini, tidak selalu dengan pesta meriah yang gemerlap, melainkan tetap melanjutkan hidup pun adalah perayaan. Sebab perlu keberanian lebih untuk hidup ketimbang untuk mati. Hanya kehidupan satu-satunya yang kita miliki, dengan begitu pula hanya kehidupan yang dapat kita perjuangkan. Rayakan.


Editor: Hifzha Aulia Azka
Foto sampul: @putrabaskara__

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Menjadi Petani, Antara Pekerjaan Mulia dan Hidup yang Tak Pernah Sejahtera

Next Article

'Sembojan' Tigapagi: Satu Lagu untuk September

Related Posts