‘Sabung’: Langgam Pertarungan Punk Rock Sempoyongan Asal Kulon Progo

Setelah dikerjakan selama setahun, Capellen akhirnya rilis EP bertajuk “Sabung” sebagai bentuk pertarungan atas keterbatasan dan kemiskinan. 

Lahir dari kondisi yang jauh dari kata mapan, dengan musik ala kadar dan murahan, Capellen berhasil mengukir prasasti pertamanya: “Sabung”. Album ini mampu merepresentasikan kisah pemuda dan pekerja kabupaten dengan segala problematika kehidupan khas warga pinggiran.  

Terbentuknya Capellen memiliki cerita unik nan menarik yang mungkin hanya ditemukan di desa. Pada sebuah malam, seorang pemuda yang kelak menjadi vokalis Capellen, tiba-tiba mengambil dan menggenjreng gitar di gardu ronda. Kala itu, gardu ronda sedang ramai dengan kegiatan khas pemuda desa, yakni bermain kartu. 

Ketika sedang asik bermain kartu dengan serius dan kadang gelak tawa menyertai, tiba-tiba mereka semua terdiam. Nuansa yang semula ramai, tiba-tiba berubah saat pemuda yang mengambil gitar itu memainkan Blitzkrieg Bop milik Ramones. 

Sontak, semua orang di gardu ronda menatapnya. Tatapan itu menyiratkan jika lagu yang dinyanyikan sangat asing dan aneh bagi mereka. Terlebih, suara parau dan genjrengan gitar yang fals begitu mengganggu. 

Pada malam-malam berikutnya, setiap pemuda itu datang ke gardu ronda, gitar selalu disembunyikan. Namun, hal itu justru menjadi embrio terbentuknya Capellen. Seorang pemuda lain ternyata memiliki keinginan untuk membentuk sebuah band punk. Keinginannya itu bertambah kuat setelah melihat ada yang memainkan Ramones. Akhirnya, pada 2019, Capellen terbentuk. 

Dengan formasi Wicak Item (Vokal), Dion Marco (Gitar), Vian (Bass), dan Catur (Drum), empat pemuda desa itu memutuskan memainkan musik punk 70-an. Memadukan Ramones, Sex Pistols, dan Black Flag, Capellen memberi warna baru dalam belantika musik di Kulon Progo. Apalagi dengan attitude Wicak yang kerasukan Iggy Pop dan Johnny Rotten ketika di atas panggung, menambah corak yang khas untuk band punk kabupaten ini. Rock sempoyongan!

Pada, 22 Desember 2023, band yang bertemu di gardu ronda Desa Kedundang, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo ini akhirnya melahirkan extended play (EP) pertamanya. Setelah sebelumnya merilis single berjudul Franky. 

EP bertajuk “Sabung” ini digarap selama satu tahun dan bekerja sama dengan Repertoire Records Indonesia. Sesuai namanya, “Sabung” adalah bentuk pertarungan Capellen. Pertarungan atas keterbatasan dan kemiskinan. 

“Sabung” berisi enam lagu yang berkisah soal kondisi sosial warga desa. Mulai dari hiburan malam, etos kelas pekerja, balada romansa, hingga kemarahan terbalut apik dalam prasasti pertama Capellen. 

EP yang berdurasi hampir 12 menit dengan musik ala kadar dan murahan, seakan menyiratkan jika warga pinggiran tak bisa dilepaskan dari keterbatasan. Namun, hal itu tak memudarkan semangat untuk berkarya. 

Kemarahan dan Etos Pekerja

“Sabung” dibuka dengan lagu Jackie is A Punk. Dengan tempo yang ganas nan beringas, lagu ini begitu cocok menjadi pintu pembuka sebuah karya pertarungan. 

Kisah dalam lagu ini diangkat dari pengalaman sang vokalis kala menggenjreng Blitzkrieg Bop di gardu ronda. Semua orang sangat terganggu dengan lagu yang dibawakan dan menyarankan untuk berhenti.  

“Jackie hentikan nyanyianmu // Kami merasa terganggu dengan suara burukmu”

Begitulah kiranya suara-suara yang terdengar ketika sang vokalis menyanyikan karya andalan Ramones. Namun, suara-suara itu dibalas dengan nada ngenyek di lirik selanjutnya. 

“Apa aku harus bernyanyi // Hanya tentang seorang wanita
Yang pergi mengkhianatiku // Agar terdengar merdu di telingamu”

Lirik itu merujuk pada lagu-lagu patah hati yang sering dimainkan teman-temannya di gardu ronda. Dan tentu saja dengan musik favorit khas warga desa, yaitu dangdut. Sebenarnya, sang vokalis ingin memberi warna baru di tongkrongan dengan membawakan lagu-lagu yang jarang dimainkan. Namun, hal itu justru mendapat penolakan. Dari situ lah kemudian lahir Jackie is A Punk. 

Lagu kedua berjudul Dominasi Gila. Dibuka dengan dentuman drum yang keras dan genjrengan gitar yang cadas, seakan mengajak untuk bertempur dan berperang. Alunan musik dengan tempo cepat menunjukkan bahwa kemarahan sedang didendangkan dalam karya ini. 

“Muakku tinggi menjulang // Tekanan tak kunjung padam // Ku ingin upper cut
Ku ingin upper cut di dagumu // Lepaskan upper cut // Lepaskan uppercut di wajahmu”

Dari lirik itu, bisa dilihat sebuah kemuakkan dan kemarahan. Kemarahan atas kondisi yang timpang. Kemuakan karena ekonomi yang tak kunjung membaik karena aset hanya dikuasai segelintir orang. Dan, sepertinya lagu ini sangat pas untuk melihat kondisi menjelang Pemilu seperti hari ini. Realisasi janji para politisi hanya berfokus di pusat saja, sedangkan warga pinggiran jarang terkena dampaknya.  

Selanjutnya, di susul lagu ketiga. Dengan durasi 2:24 menit, Tekad! Membawakan cerita tentang etos kelas pekerja. Sebagai warga pinggiran, menempuh perjalanan ke pusat kota untuk bekerja membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Jika dari Kulon Progo, butuh 45-60 menit untuk sampai di Kota Yogya. Dan hal itu harus dilakukan setiap hari untuk tetap hidup. 

“Pukul tujuh mesin menyala // Gas kencang datangi tuan
Tabrak silau rasa bosan // Lawan arus ketiadaan // Tekadku merekat tak berkarat”

Jika di lagu pertama dan kedua merangkum kemarahan dan kemuakan, pada nomor ketiga ini begitu berbeda. Meski masih tersiratkan kegusaran, namun lagu ini lebih menonjolkan semangat sebagai kelas pekerja. 

Walaupun menempuh jarak yang jauh, dan wajib bangun pagi, namun tekad untuk tetap bekerja harus tetap menyala. Begitulah kira-kira yang ingin disampaikan band rock sempoyongan ini kepada pendengarnya. 

(dok. Capellen)

Hiburan Warga Pinggiran 

Keluh kesah sebagai warga pinggiran sudah terangkum dalam tiga lagu awal. Kini saatnya kisah soal senang-senang dan romansa khas pemuda desa di lagu berikutnya. 

Lagu keempat berjudul Ladies Companion. Diawali dengan distorsi gitar yang berat, dan disusul sebuah teriakan, membuat lagu ini memiliki nuansa gembira. Sebelum rilisnya “Sabung” lagu ini menjadi nomor andalan Capellen kala bermain dari gigs ke gigs. 

Dengan lirik yang padat dan singkat, membuat track ini mudah dihafal pendengarnya. Ketika Capellen membawakan lagu ini, secara spontan semua penonton akan sing along bersama.

“Sarafku terbius // Semerbak parfummu // Nafsuku terpantik // Ketat rok minimu
Ladies co ladies companion // Ladies co ladies companion”

Ide penulisan lirik Ladies Companion lahir dari pengalaman pergi ke tempat hiburan malam. Berbekal uang Kartu Prakerja, empat pemuda ini memutuskan bersenang-senang. Dengan alkohol, lampu remang-remang, dan di pandu penyanyi karaoke, mereka sejenak melepaskan kepenatan dari kehidupan warga pinggiran. 

Track selanjutnya masih bertema soal kesenangan, berjudul Jhonny Jackpot. Yap, seperti namanya, lagu ini berkisah soal sebuah permainan penghasil uang. Selayaknya pemuda pinggiran yang dekat dengan kemiskinan, judi menjadi jalan pintas untuk mencari pundi-pundi kekayaan. 

“Goresan angka di kertas bekas // Rumus strategi kolaborasi // Gelar ritual yang tlah di sakralkan // Jhonny sialan // Malam ini menang lagi // Perangkapnya tepat // Empa tangka terpenuhi”

Dari lirik di atas, terlihat bagaimana etos kolektif dan kolaboratif untuk menerka angka yang akan keluar. Semua cara dilakukan, mulai dari menghitung rumus secara teliti, hingga menggelar ritual untuk meminta penerangan pada sang ghoib. Akhirnya, semua jalan yang ditempuh membuahkan hasil. Jackpot! 

Setelah senang-senang yang dibalut dalam dua lagu, sekarang giliran cerita romansa yang muncul dari pandangan pertama. Dia yang Merona Di Arena muncul sebagai track terakhir. Dengan tempo pelan dan tidak secepat lagu-lagu lainya, track ini menggambarkan suasana hati yang senang dan sedang berbunga-bunga. 

“Bola hujam di gelanggang // Dipaksakan lampu terang // Tak terpantau di lingkaran // Duduk di bangku cadangan // Seraya mata terpana semampai gadis idola // Berharap malam datang berjalan // Mampusku merekam wajahmu” 

Lagi-lagi, ada kisah menarik di lagu ini. Cerita yang dimulai dari pertandingan voli Tarkam. Sebuah kejuaraan antar kampung yang memertemukan dua tim voli perempuan. Meski disorot lampu seadanya, dan lapangan yang juga ala kadarnya, namun pertandingan tetap berlangsung meriah. 

Di tengah meriahnya pertandingan, ada satu perempuan yang begitu memesona duduk di bangku cadangan. Meski jarang dimainkan, namun parasnya yang menawan selalu menarik perhatian. Mata tak bisa dilepaskan dari parasnya, dan akhirnya muncul benih-benih asmara. 

Track ini mampu menunjukkan romansa yang begitu khas. Perpaduan pertandingan Tarkam dan keterbatasan warga pinggiran, bisa melahirkan kisah yang antik nan unik. 

Dengan hadirnya “Sabung”, Capellen berhasil membingkai semua hal tentang pinggiran. EP ini mampu mengisahkan kehidupan yang jauh dari pusat perkotaan, sekaligus membuat warga desa bangga dengan identitasnya. Long live Punk Rock Sempoyongan!


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: dok. Capellen

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Selama Mahasiswa UIN Jakarta hanya Sibuk Menonton Festival Musik, Ekosistem Sastra di Ciputat Tidak Baik-Baik Saja

Next Article

Inclusive Writing for Young Professionals: Gemuruh Inklusivitas Jurnalis Muda Yogyakarta

Related Posts