Menolak Lupa Bagaimana Awal Mula Subkultur Punk Terbentuk

History of Punk

Punk yang merupakan sebuah subkultur adalah gabungan antara beragam filosofis perlawanan dan juga berbagai musik cadas. Bahkan sekarang ini, punk telah menjadi ideologi hidup bagi gerakan anak muda dan berbagai kelas pekerja yang mencakup aspek sosial dan politik. Latar belakang para pencetus punk yang berasal dari keluarga broken home, kalangan pekerja serabutan, dan kondisi psikis maupun mental yang kacau membuat mereka semua mempunyai impian yang jauh lebih kelam daripada kaum borjuis di akhir abad 20-an.

Mereka tidak ingin terlalu kalut dengan musik yang rumit agar menghasilkan suara yang indah ataupun pakaian yang harus selaras agar terlihat keren ketika dikenakan. Mereka hanya ingin menunjukkan rasa amarah yang ada dalam dirinya terhadap apapun yang ada di hadapannya.

Mereka tak ingin larut dalam bayang-bayang dan khayalan masa depan yang indah seperti kaum hippies. Mereka lebih mendambakan kehancuran serta kehidupan dystopia. Maka dari itu, mereka mampu bertahan dua dekade lebih lama ketimbang para hippies.

Walaupun punk memiliki perjalanan sejarah yang panjang, namun buku ini lebih berfokus pada era punk di tahun 70-an yang berada di empat kota dan dua negara. Buku ini ingin menunjukkan adanya peran besar empat kota tersebut pada satu kelahiran sebuah subkultur paling fenomenal di abad-20.

Dengan membaca buku ini, kita menjadi lebih sadar konteks punk lahir dilihat dari empat kota kelahirannya dan bagaimana punk bisa menjadi sebesar sekarang ini.

Atolah sangat piawai dalam mengolah kata-kata yang rumit namun enak untuk dibaca dan tidak terlalu sulit untuk dimengerti. Ia berhasil membangun imajinasi para pembaca untuk membayangkan situasi skena punk pada masa awal kelahirannya.

Alur yang disusun sedemikian rapi membuat satu sama lainnya terlihat berkesinambungan. Selama membaca halaman demi halaman, pembaca akan disuguhkan bagaimana dialog yang unik nan khas dilontarkan oleh para rockstar. Atolah juga menjelaskan bagaimana kehidupan pribadi dari personil band-band tersebut.

Musik dan Perlawanan

Ketika mendengar kata punk, yang terpikirkan olehku adalah musik cadasnya dengan lirik penuh pemberontakan, atau sekumpulan anak di pinggiran lampu merah dengan pakaian lusuh dan rambut acak-acakan sembari membawa ukulele dengan senar seadanya bernyanyi menghibur kendaraan yang sedang berhenti menunggu lampu merah.

Jika dikaitkan dengan musik punk di era 70-an pasti langsung tertuju pada Ramones, Sex Pistols, ataupun The Clash. Mereka adalah dewa bagi para punk di seluruh dunia. Begitu pula di buku History of Punk ini, Atolah Y. Rafi yang menjadi penulis dalam buku ini menjelaskan perjalanan band-band punk itu dari mulai latar belakang terbentuknya, perjalanan karirnya, hingga kehidupan dan kontroversi yang terjadi pada setiap personel dari band-band tersebut.

Tak hanya tiga nama band yang saya sebutkan diatas tadi, Atolah juga menyebut nama-nama band lain seperti MC5, New York Dolls, bahkan nama band yang jarang terdengar di telinga orang awam seperti Pure Hell, Buzzcock, Death, dan Warsaw. Bukan hanya sebatas band dan personilnya saja, namun Atolah juga mencoba untuk memasukan para pelaku musik di luar itu seperti kritikus musik, manajer band, hingga venue fenomenal yang sering digunakan band-band punk besar main.

Lewat musik punk, mereka dapat melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan dan kesenjangan yang terjadi di dunia ini. Lirik dan musiknya dapat menjadi propaganda yang epic untuk memberitahu masyarakat jika ada beberapa hal yang sudah melewati batas dan berbelok dari kodrat semestinya. Jika dilihat dari awal terbentuknya pun, punk memang lahir dari sebuah perlawanan. Dimana ia mencoba menggantikan subkultur hippies yang telah murtad karena selling out yang mereka lakukan.

Hal ini juga dijelaskan oleh Atolah dalam buku ini, dimana John Sinclair memutuskan untuk bergabung dengan MC5 di tahun 1967 sebagai manager. Saat itu, Sinclair menyaksikan kekacauan parah di Detroit dengan sekiranya terdapat 43 manusia tewas, 7.231 orang dipenjarakan, dan lebih dari 2.500 bangunan hancur. Sinclair menganggap bahwa inilah saat untuk dirinya mengajak MC5 berperan menjadi simbol perlawanan budaya konsumen.

Jika dilihat dari perlawanan kaum muda pasca perang dunia II, penentangan mereka lebih kepada kapitalisme dan juga komunisme. Mereka yang dianggap edgy dan berwawasan berpendapat bahwa kedua pemikiran itu telah patah pucuk dalam mengorganisir berbagai hal di dunia ini. Maka dari itu, mereka yang berdiri sendiri akan membangkang terhadap pasar dan menolak tunduk pada kekuasaan otoriter.

Bukan hanya dari skena punk saja, Atolah juga menjelaskan bagaimana musik reggae mengkritik kerasnya kehidupan kaum kulit hitam yang mendapatkan rasisme. Seperti yang dikatakan Peter Harris, jika orang-orang Irlandia seperti Rotten dan anak muda kulit hitam sama-sama terpinggirkan karena salah satu plang di pub bertuliskan “No Irish, No Blacks, No Dogs”. Yang artinya adalah orang Irlandia, orang kulit hitam, dan anjing dilarang masuk. Mereka seakan disamakan dengan anjing yang statusnya adalah hewan peliharaan. Maka dari itu, tak ada pilihan lain selain anarkisme yang digunakan sebagai lencana pergerakan. Di akhir abad ke-20, mereka mulai pelan-pelan masuk dalam berbagai macam budaya populer seperti musik, puisi, gambar, dan lainnya.

Semangat Keputusasaan

Dalam buku ini juga diceritakan bagaimana kerasnya lika-liku perjalanan setiap band dalam merintis karirnya. Mereka bergerak secara berani menabrak pasar dengan ideologi yang mereka pegang sendiri. Seperti kisah band Pure Hell yang merintis karirnya dari bawah sebagai band punk berkulit hitam. Ini menjadikan ia sulit diakui ketimbang Death yang mendapatkan julukan “band punk berkulit hitam pertama” yang mendapat banyak pujian setelah beberapa dekade setelahnya diketahui bahwa Death adalah band punk dengan ide progresifnya itu.

Pure Hell mulai bergabung dengan skena musik bawah tanah New York pada tahun 1975, di sana Pure Hell pun nampak masih menggembel karena sempat pula diusir dari tempat mereka menginap yaitu Chelsea Hotel dikarenakan tak membayar uang sewa. Tidak sampai disitu, setelah pergi dari Chelsea Hotel, mereka lalu berpindah ke kontrakan The Doors. Dimana saat itu mereka memiliki reputasi yang buruk karena hubungannya dengan New York Dolls yang bermasalah. Mereka tak dianggap, bahkan tampang mereka lebih cocok jika menjadi gangster.

Namun, hal itu tak berlangsung lama. Mereka mulai bisa diterima oleh skena bawah tanah New York. Bahkan Curtis dan Kathy Knight sangat tertarik pada mereka sampai-sampai harus merelakan uang untuk membayar studio tiga bulan demi Pure Hell. Dari situ, Pure Hell mulai dikenal khalayak ramai dan Namanya melejit hingga mampu melakukan tour ke berbagai negara. Walaupun Pure Hell telah dikenal oleh masyarakat luas, mereka masih mendapatkan banyak rasisme dan sentimental terutama oleh para label rekaman.

Para majer label menginginkan Pure Hell sebagai band kulit hitam untuk menampilkan musik yang dapat digunakan untuk berjoget seperti yang dilakukan oleh kaum hippies dengan bunga-bunganya. Tak sampai disitu, Pure Hell juga sempat mengalami pertengkaran dengan Kathy Knight yang mengakibatkan Knight harus balik dari Eropa sendirian dan Pure Hell tetap berada di Eropa tanpa bisa mengakses rekaman mereka sendiri. Pada akhirnya, Pure Hell dapat kembali lagi ke Amerika Serikat namun sayangnya mereka telah kehilangan momentum kejayaannya dan beberapa dekade kemudian Pure Hell mulai dilupakan dan luntur dari sejarah.

Kisah Pure Hell tadi menyiratkan bagaimana kerasnya perjalanan mereka untuk menembus skena musik yang ada. Bahkan setelah mereka terkenal pun, mereka dapat kembali redup karena tidak adanya peran manajemen yang baik di dalamnya. Walaupun karir musiknya tak dapat membawa mereka pada ketenaran maupun kemakmuran, mereka tetap mendapatkan kesenangan dan rasa semangat dalam menjalani karir musiknya. Mereka menjadikan keputusasaan dan keterpurukan itu sebagai semangat untuk terus mendobrak kedepan.

Hidup Singkat dengan Sejarah Panjang

Setelah membaca buku ini, saya rasa banyak band-band dengan umur yang tidak terlalu lama namun memiliki pengaruh dan dampak yang besar bagi perkembangan musik dunia khususnya skena musik punk. Band seperti Detroit, Ramones, dan Pure Hell adalah salah satu contoh band yang tidak bertahan lama namun ceritanya abadi hingga sekarang.

Lambang Ramones masih sering kita jumpai dimana-mana walaupun tak jarang ada juga yang tidak mengetahui jika itu adalah lambang dari sebuah band punk. Tak hanya band saja, namun personil dari band-band punk ini pun ikut abadi walaupun mungkin mereka memiliki tingkah laku yang buruk semasa hidupnya.

Seperti Sid Vicious yang masih menjadi idola setelah kematiannya 43 tahun lalu itu. Walaupun Sid memiliki sejarah yang kelam karena dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab atas matinya punk di era 70-an serta kasusnya pembunuhannya terhadap Nancy Spungen yang saat itu berstatus sebagai kekasihnya, namun Sid tetap menjadi idola bagi para penggemar musik cadas dan para kaum punk pinggiran. Dengan kalung gembok dan rambutnya yang jabrik itu, Sid meninggalkan kesan mendalam dari kekacauan hidupnya.

Berbeda dengan Sid, Jim Morrison menjadi legenda dengan setumpuk kisah yang menginspirasi. Ia meninggalkan jejak karya berupa 6 album bersama The Doors, 5 film, dan 5 buku puisi. Ia juga pembaca buku yang rakus, tak ayal jika banyak lirik The Doors yang puitis, gelap, dan satir. Ia juga sangat keras dalam mengkritik kondisi sosial yang terjadi di negaranya. Ini terbukti saat ia tidak setuju dengan perintah ayahnya yang menyuruh Jim untuk memotong rambut agar dapat mengikuti wajib militer. Namun Jim menolak hal tersebut, ia lebih memilih untuk keluar dari rumah dan menyampaikan ketidak sepakatannya melalui musik dan puisi. Bahkan di saat masa kepopulerannya, ia pun masih sering menyuarakan hal itu di atas panggung dan di interview berbagai media massa.

Walaupun begitu, Jim juga merupakan pecandu narkoba yang hebat. Ia tak bisa mengendalikan kecanduannya akan narkoba dan alkohol dengan baik. Sehingga ada pula rumor yang mengatakan jika kematian Jim disebabkan oleh overdosis bukan serangan jantung. Berita seperti ini mungkin sudah banyak beredar dalam dunia permusikan, dan tidak sedikit musisi yang sudah terjerat kasus penyalahgunaan obat-obatan terlarang, mungkin begitulah potret kehidupan para rockstar. Apalagi mereka yang hidup di negara Barat sana.

 

Editor : Tim Editor Sudutkantin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Kabar dari Kupang, SkolMus Bikin Pameran Arsip Publik 'MEREKAM KOTA 2022' dengan 500 Arsip!

Next Article

Dialog Langit: Kumpulan Puisi Angela Ardhika