Belajar di negeri lucu ini sebenarnya susah-susah gampang, kadang susah dan ya, kadang gampang. Omong-omong tentang belajar, penulis jadi ingat lirik lagu “1, 2, 3, 4” ciptaan Pak Kasur yang sering diajarkan sewaktu Taman Kanak-Kanak dulu.
Kalau tidak salah, begini bunyinya,
Siapa rajin ke sekolah / cari ilmu sampai dapat
Sungguh senang / amat senang
Bangun pagi-pagi / sungguh senang
Bisa diantisipasi bahwa sebagian dari baitnya sama sekali tidak cocok dengan pengalaman saya bersekolah. Bangun pagi senang, bersekolah senang, dan tidak lupa kalau semua dikerjakan dengan amat senang, wah positive vibes sekali ternyata lagu dari Pak Kasur.
Selain daripada yang sudah dibahas di atas, mencari ilmu itu menyenangkan dan kebetulan saya sangat doyan melakukannya. Entah itu apapun jenisnya, paradigmanya, pencetusnya, teorinya, dan klasifikasinya ya pasti tumbuh rasa penasaran untuk mendalami ilmu tersebut lebih lanjut.
Sewaktu masih di bangku kuliah dulu, perpustakaan kelihatan sangat menjengkelkan. Pasalnya, ada aneka macam buku perpustakaan yang tidak tersortir cukup baik oleh para pustakawannya. Belum lagi judul-judul buku yang perlu pembaharuan oleh penulis setelahnya supaya kelanjutan teori tersebut bisa disampaikan dengan jelas kepada para pembaca. Eh, tunggu kadang juga dosen sebenarnya masih menjelaskan mata kuliah dengan paradigma super jadul sih, mungkin poin ini masih bisa diterima.
Namun, intinya pasti, perasaan getir nan kecut tersebut terbawa hingga kini. Lulus dari fase kuliah saya penasaran dengan salah satu hobi yang masih lestari sejak kelas 4 SD, yaitu bermain gim. Gim bisa diterjemahkan sebagai media yang punya andil cukup besar di dunia hiburan kini. Dominasinya yang terjadi dalam waktu singkat sudah bisa menyikat keuntungan industri musik dan film di medan internasional, bahkan bersatunya mereka pun belum mampu menggeser podium gim.
Melalui gubahan luar biasa kilat dan masif tersebut, bagaimana industri gim Indonesia menerjemahkan gelombang kelajuan ini?
Ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi pertumbuhan industri gim di Indonesia, salah satu yang menonjol adalah modal pasar dengan kualitas serta kuantitas yang mumpuni. Menurut analisis data dari DataReportal di tahun 2024, penetrasi populasi penduduk dari usia 16 hingga 64 tahun yang bermain gim di berbagai perangkat sudah mencapai angka 96,5% jauh melampaui hasil pada tahun 2022 yang berada di posisi kedua setelah Filipina.
Pembuatan gim di negeri ini pun tidak ingin tertinggal oleh jumlah pemain yang harus mereka layani. Walaupun masih terlalu awal untuk bisa dinilai keseluruhannya, rasa takjub saya rasakan ketika melihat gim kreasi studio lokal masuk ke nominasi The Game Awards tahun 2023. Meski tidak masuk ke kategori utama Game of the Year, kategori yang dimasuki gim lokal ini tidak kalah bergengsi kok. Kasih mereka napas lah.
A Space for the Unbound menjadi salah satu kandidat di kategori Games for Impact yang berlabel, “For a thought-provoking game with a pro-social meaning or message”. Dulu juga sempat ramai Dreadout dan baru-baru ini sebelum perilisan A Space for the Unbound, Coral Island menjadi alternatif tersegar gim untuk relaksasi.
“Wah kedengarannya mengasyikkan ya terjun ke industri yang lagi manis-manisnya?”
Itu adalah ungkapan paling masuk akal dan menggiurkan bagi mereka yang penasaran dengan aksi kreatif di balik tiap studio gim. Namun, tulisan ini berdiri jauh di ujung kemeriahan industri gim karena saya prihatin dengan pembelajaran teori gim di belakang dinding dingin industri. Obrolan hangat mengenai diskursus gim jarang mencapai layar masing-masing pemain.
Apakah mereka (yang punya kuasa besar di industri gim) pernah berpikir tentang kemauan orang yang penasaran dengan gim, bukan untuk membuat atau hanya sekadar bermain, tapi benar-benar tertarik berbicara teori akademik di gim?
Baiklah, tidak perlu terlalu jauh membahas teori (karena keseriusan semacam itu memang tidak pernah laris sebagai produk jual massal), pernahkah mereka yang berada di puncak itu berpikir mengenai korelasi gim dengan budaya bermain yang melekat ke banyak kolektif masyarakat.
Ada banyak celah untuk bisa mengupayakan eksplorasi lebih jauh supaya masyarakat dunia maya paham dengan posisi gim di dunia ini. Mengemas gim sebagai produk produktivitas, edukatif, preservasi sosial, kesenian, dan lain sebagainya. Maklumlah, ekspektasi ini mencuat karena gim sendiri mengusung banyak media yang tersusun secara rapi sehingga bisa sekompleks itu.
Kompleksitas tersebut tersusun oleh media audio, visual, dan kinetik yang bercabang lagi kategorinya berdasarkan rancangan produksi proyeknya. Saya merasa momentum ini bisa dirasakan juga oleh lini lain yang dapat meresap secara nyaman di gim, musisi lokal/nasional; perupa yang naik daun; koreografer tari atau film; dan yah itu saja masih secuil yang bisa saya sebutkan.
Saya gelisah dan hanya ingin menyuarakan pendapat. Tulisan ini mungkin berfungsi sebagai penyampai pesan kepada pihak dengan perasaan serupa, mirip pun juga tak apa. Mengetahui mayoritas kurikulum pendidikan gim di Indonesia diperuntukkan bagi mereka yang ingin membuat gim merupakan perasaan yang tidak mengenakkan, tapi mau bagaimana lagi bila sokongan biaya utama mereka ya dari sana juga, kan?
Oh ya, ada yang tahu lirik “Nowhere Man”? Bagian ini sangat lekat dengan posisi kegelisahan hari ini, “He’s a real nowhere man / Sitting in his nowhere land / Making all his nowhere plans for nobody”.
Semoga hari kalian menyenangkan dan kita bisa ngobrol seru di lain hari.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: redaksi sudutkantin.com
