Album ‘Siapa Suruh Datang Jakarta’ Trendkill Cowboys Rebellion: Potret Kelam yang Mengenaskan

Album “Siapa Suruh Datang Jakarta” Trendkill Cowboys Rebellion sukses memotret isu pinggiran kota Jakarta yang gelap.

Ulasan ini ditulis oleh seseorang yang pada saat artikel ini ditulis belum pernah tinggal di Jakarta.


Pada tahun 2013, saya hanyalah seorang pemuda SMA yang suka sekali pergi ke gerai Disc Tarra yang berlokasi di Ayani Megamall Pontianak. Saya mencari-cari rekaman album musik dan sering membeli CD di sana. Lalu, pada suatu waktu, saya menemukan suatu album musik dengan cover foto Tugu Monas dengan latar hitam putih bernuansa sangat mengintimidasi.

“Keren!” pikirku yang memang selalu mencari musik sangar di gerai tersebut, dikarenakan itu adalah satu-satunya toko CD yang menjual kaset musik original di Pontianak. Jadi, dengan uang jajan yang diberikan oleh ortu, saya pun membeli CD tersebut tanpa mengetahui band Trendkill Cowboys Rebellion (TCR) ataupun musik yang mereka mainkan. Setelah membeli album “Siapa Suruh Datang Jakarta” (2013) oleh band TCR dan album “Venomous” (2011) dari band Burgerkill, saya pun pulang ke rumah dengan hati senang.

Tahun 2013 bukanlah era di mana streaming musik bisa sebebasnya seperti di zaman sekarang. Kemampuan smartphone masih sangat terbatas dengan kualitas jaringan 3G dan layanan streaming belum dikenal luas. Boro-boro mau streaming YouTube, jaringan WiFi di Pontianak pada saat itu saja sangat terbatas dan kuota internet sangatlah mahal.

Oleh karena itu, kebanyakan orang lebih senang mencari file-file musik bajakan dengan mencari “nama_album.zip” atau “nama_album.rar” di internet. Namun bukan ini yang akan kita bahas di artikel ini.

Singkat cerita, saya pun terkesima dengan album “Siapa Suruh Datang Jakarta”. Di rumah saya hanya berani mendengar musik ini dengan headphone yang dicolok ke alat pemutar CD portabel yang waktu itu saya punya. First impression saya terhadap album itu mengingatkan saya pada band Pantera dan Lamb of God.

Secara musikal memang menarik untuk diceritakan, tetapi tema lirikal yang ada di album ini jauh lebih menarik lagi dan mungkin telah menanamkan mindset ke dalam otak saya betapa buruknya Jakarta sehingga ketika artikel ini ditulis saya pun merasa takut untuk tinggal di sana. Dan bukankah itu berarti album ini telah berhasil meyakinkan saya mengenai Jakarta dengan segala problematika yang dipaparkan di dalamnya?

Rilisan fisik album “Siapa Suruh Datang Jakarta” Trendkill Cowboys Rebellion (dok. Antonius Wendy)

Track pertama pada album itu adalah intro album dengan pembacaan dramatik yang berjudul Doktrin Baru. Jujur saja ini adalah pertama kalinya saya mendengar pembacaan dramatik sehingga intro album tersebut membekas di ingatan saya. Saya memang dibesarkan di lingkungan yang kurang mengapresiasi puisi ataupun seni pembacaan dramatik, sehingga lagu ini sukses mengenalkan saya pada pembacaan puisi.

Sebagian dari mereka berkata, Jakarta adalah tempat yang indah di mana mimpi, cita-cita dan ambisi bergumul dalam masturbasi etika kekinian,” adalah kalimat pertama yang terdengar dengan latar alunan gitar yang mengintimidasi.

Saya kagum dengan sang vokalis yang bisa membaca intro dengan suara garang tetapi nyaring dan tetap bisa didengar secara jelas bahkan tanpa sambil membaca lirik yang ada di booklet album tersebut.

Dan ngomong-ngomong mengenai booklet, saya cukup “takut” dengan foto-foto yang memang bisa menakut-nakuti siapapun yang melihatnya. Ini bukan foto-foto penuh imaji setan/iblis seperti album metal generik lainnya, tetapi foto-foto mengenai kemiskinan, penderitaan, kebisingan, dan hawa nafsu. Foto-foto tersebut menampilkan sisi gelap Jakarta yang seolah tidak layak huni untuk orang yang masih waras.

Setelah intro Doktrin Baru, saya pun digandeng langsung menuju lagu Sistem Proletariat dengan riff-riff gitar dan vokal sangar yang langsung mengisi lubang telinga saya. Saya sangat terkesima dengan lirik yang berbunyi “tergilas roda kehidupan / munafik roda pembangunan” yang langsung disusul dengan riff gitar yang sangat groovy. Lagu itu juga berisi kalimat “… di mana sistem hidup hanya untuk rampas-merampas” yang sangatlah menghantui saya yang mendengar lagu tersebut.

Lagu berikutnya berjudul Budaya Tikam yang saya rasa siapapun yang mendengarnya akan merasa sangat tidak nyaman dengan lirik “kota ini predator nomor satu” dan terus membicarakan kompetisi antar para pekerja yang sangat tidak sehat. Selain itu, membuat pendengar merasa tidak nyaman memang merupakan intensi dari lagu ini sehingga saya rasa lagu ini telah berhasil mencapai tujuannya. Ada bagian yang saya sangat suka di lagu ini, yaitu ketika sang vokalis meneriakkan “tikam / tikam / tikam / tikam” dengan riff gitar yang menghentak-hentak selaras dengan vokal yang dibawakan.

Lagu berikutnya berjudul Kerja Gak Kerja (Sama Saja). Yang paling berkesan di lagu ini adalah chorus nya yang berbunyi “kerja gak kerja ya sama saja / belum tentu jadi orang kaya / kerja gak kerja ya sama saja / lebih baik main musik saja”. Lagu ini juga menuturkan bahwa “hidup sederhana itu cerita lama” seolah setiap pekerja yang tinggal dan bekerja di Jakarta menginginkan gaya hidup yang hedonis. Hal ini pun dikonfirmasi dengan lirik di bagian lain yang berbunyi “ego dan hedonis membakar upahmu”.

Selanjutnya adalah lagu berjudul Jalan Jalan Stress yang liriknya penuh dengan imaji kebisingan. Lirik lagu ini pun bahkan ditulis dengan foto kemacetan yang ada di booklet album.

Selain imaji kebisingan dan polusi suara, lagu ini juga menyuarakan lirik ironis dengan ujaran “katanya metropolitan, warganya terpelajar kok malah ugal-ugalan seperti jagoan” yang tentu sangat menohok ketika didengar.

Disusul kemudian dengan lagu PKI (Potret Kelam Ibukota). Lirik yang membekas di lagu ini adalah chorus lagu yang berbunyi “doktrin-doktrin komersil / konsumsi masal rakyat kecil / di mana kita terlihat begitu kerdil”. Saya menyukai riff-riff gitar yang dibawakan di lagu ini dikarenakan terdengar sangat sangar, terutama ketika sang vokalis meneriakkan “yeeaahhhh”. Lagu ini ditutup dengan penggalan lirik “ibukota berbagi cerita / potret kelam”.

Narko & Tika jadi tembang selanjutnya yang membahas mengenai penggunaan NAPZA. Yang paling berkesan di lagu ini adalah riff-riff gitar di pembuka lagu yang sangat mudah diingat dan siap untuk mengguncang pendengarnya, bahkan ketika sang vokalis meneriakkan kata “narkotika” di awal lagu, riff-riff tersebut terus-menerus mengguncang pendengar dengan musikalisasi yang sangat groovy. Di lagu ini, sang vokalis menuturkan “di kota ini dosa adalah having fun”. Yang membuat saya terkesima dengan lagu ini adalah permainan gitar yang melakukan solo di beberapa bagian bersamaaan dengan rhythm yang sangat enerjik.

Lagu ada lagu APKP yang membahas mengenai prostitusi. Saya secara pribadi tidak menyukai lagu ini dikarenakan lirik lagunya yang berisi ajakan untuk ikut berkecimpung di dunia gemerlap tersebut, sebagaimana liriknya yang berbunyi “untuk kalian para lelaki / ayo pergi ke prostitusi / ke lokalisasi”. Meskipun begitu, saya akui riff-riff gitar yang dibawakan di lagu ini memang tidak kalah sangarnya dibandingkan dengan lagu-lagu lain yang ada di album ini.

Sebelum lagu terakhir, ada lagu Wacana Retorika. Liriknya yang berbunyi “suara minoritas menjadi dagangan / kampanye mereka menjadi hiburan” sepertinya masih relavan bahkan hingga pada saat artikel ini ditulis. Menjelang akhir lagu, ada lirik yang berbunyi “semua hanya wacana tentang ibu kota / di mana janji hanyalah sebuah retorika” yang merupakan ungkapan pesimistik mengenai para politisi.

Sebagai pamungkas ada lagu terakhir berjudul Jakarta Underground. Lagu ini merupakan lagu favorit saya bersama dengan lagu Narko & Tika karena riff-riff gitar yang gampang diingat, mudah dicerna dan siap untuk mengguncang pendengarnya. Lagu Jakarta Underground juga sangat mudah diingat dengan chorus lagu yang berbunyi “undercover / motherfucker” yang dinyanyikan bersama dengan riff gitar yang menghentak-hentak. Hal lain yang mudah diingat dari lagu ini adalah penggalan lirik yang berbunyi “Jakarta yang kau bayangkan / tak seperti yang kau impikan” dan juga “kami tidak butuh keyakinan / kami pecinta kenikmatan” yang melukis Jakarta dan para penghuninya dengan warna yang sangat gelap.

Lagu-lagu yang ada di album “Siapa Suruh Datang Jakarta” ini memang rata-rata berdurasi pendek, sekitar 2 hingga 3 menit saja. Akan tetapi suasana dan musik yang hingar-bingar sangatlah kentara dan sangat pas dengan tema yang diangkat album ini. Musik yang terasa keras sangat cocok dengan kerasnya kehidupan di Jakarta sebagaimana yang diangkat dan dibicarakan oleh album ini.

Menurut saya album ini sukses memotret isu-isu yang dibahas mulai dari budaya lingkungan kerja yang tidak sehat, polusi suara dan kebisingan Jakarta, mirisnya penggunaan NAPZA dan para pekerja seks yang diincar lelaki hidung belang, hingga para politisi di Jakarta yang “iklan wajah mereka penuh senyuman” seperti yang dikutip dari lirik lagu Wacana Retorika.

Sekarang ketika saya sedang menulis artikel ini, saya pun merasa sangat beruntung telah menemukan band TCR dan album “Siapa Suruh Datang Jakarta” di gerai Disc Tarra pada tahun 2013. Pada saat artikel ini ditulis, Pontianak sama sekali tidak ada toko yang menjual rilis fisik untuk album musik. Disc Tarra telah menutup semua gerainya di seluruh Indonesia. Satu-satunya cara bagi saya untuk mendapat rekaman album musik adalah dengan belanja online jika saya menginginkan rilis fisik dalam bentuk CD.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Demajors Records

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Putar Saja Lebih Pelan: Kumpulan Puisi Weliya Alfin Robeth Khoironi

Next Article

Menelan Duka: Kumpulan Puisi Muhammad Ridwan Tri Wibowo