EP ‘Hyacinth’: Repertoar Ketidakbahagiaan yang Menenangkan dari Noire

Mendengarkan EP “Hyacinth (Prologue To Three Stages Of Unhappiness At The Remains And…)” seperti melamun dengan tatapan kosong tanpa memikirkan apapun.

Noire tampaknya merupakan band yang tergolong cukup produktif. Setelah pada Record Store Day (RSD) Yogyakarta 2024 kemarin mereka merilis split album bersama Individual Life, pada RSD Yogyakarta 2025 ini mereka kembali mengeluarkan rilisan berupa mini album (extended play/EP) dengan judulHyacinth (Prologue To Three Stages Of Unhappiness At The Remains And…)”. Judulnya memang sengaja tak rampung. 

Dibuka dengan Kota Luka Fragmen Pertama, dilanjutkan dengan Kota Luka Fragmen Kedua, Noire pasti memiliki alasan tersendiri ketika menciptakan dua track dengan lirik yang tidak jauh beda dan menjadikan keduanya sebagai track pembuka di EP baru mereka. Mendengarkan 2 track pembuka ini, rasanya Noire sudah tidak semarah-marah rilisan sebelumnya (split album “Menaung Lara, Merawat Luka” feat. Individual Life). Terlebih pada lagu Kota Luka Fragmen Kedua. Rasa yang menenangkan coba ditawarkan oleh Noire dibanding emosi yang menggebu-gebu.

Setelah mendengarkan 2 track ini secara berulang, saya menyadari bahwa keduanya ini pun tersambung. Ada akhiran suara gitar dari fragmen pertama yang terdengar di awal fragmen kedua disusul langsung dengan petikan bass yang menjadi intronya. 

Ternyata tidak hanya pada dua track itu saja, pada track kedua menuju ketiga juga dirancang dengan perlakuan yang sama. Suara gitar berdistorsi dengan efek delay yang menjadi “akhiran” Kota Luka Fragmen Kedua masih terdengar di beberapa detik pertama track ketiga, Hyacinth. Lagu dengan judul yang sama untuk album ini jelas terdengar sangat berbeda dari lagu Noire yang lain. Gitar akustik menjadi instrumen pokok dan jika saya tidak salah juga terdapat isian piano yang terdengar tipis di belakang gitar akustik. Ini semakin meyakinkan saya bahwa Noire sudah tidak semarah-marah itu. 

Jika pada lagu lain Noire mengandalkan spoken word dan juga scream dari sang vokalis, pada lagu ini suara vokalis bernyanyi dengan melodi vokal menjadi kuncinya. Sebagai pribadi yang kesehariannya lebih banyak mendengarkan lagu pop—atau setidaknya lagu-lagu dengan vokal yang bermelodi, Hyacinth menjadi lagu Noire favorit saya. Meski terdengar tidak berbeda seperti band emo, pop-punk, atau melodic-punk yang membuat lagu akustik, tetapi eksperimen Noire dengan menghadirkan sesuatu yang berbeda ini sangat perlu diapresiasi.

Perlakuan track bersambung juga terjadi pada berikutnya. Artinya semua track dalam EP ini saling bersambung dan lebih baik didengarkan secara utuh dan berurutan dari awal hingga akhir. Track penutup berjudul Usai terasa lebih emosional jika dibandingkan dengan 3 track sebelumnya dengan porsi scream yang lebih banyak dan aransemen yang lebih intens dan memuncak di akhir lagu. Akan tetapi, entah mengapa rasanya tetap tidak semarah-marah split album “Menaung Lara, Merawat Luka”. 

Saya kemudian mencoba membandingkan dengan cukup seksama, kira-kira apa yang menjadi EP ini terdengar tidak lebih emosional dari split album sebelumnya? Saya kemudian menyadari bahwa “Menaung Lara, Merawat Luka” terdengar lebih bulat dengan aransemen yang lebih intens dan rapat. Cukup berbeda dengan apa yang dihadirkan di EP Hyacinth (Prologue To Three Stages Of Unhappiness At The Remains And…)”. Suara yang terdengar lebih renyah, raw, dan aransemen yang tidak se-intens dan serapat “Menaung Lara, Merawat Luka”.

EP “Hyacinth (Prologue To Three Stages Of Unhappiness At The Remains And…)” (dok. Asyam Ashari)

Setelah sempat berbincang dengan Hafid, gitaris Noire ternyata EP ini direkam secara live. Mungkinkah perlakuan rekaman yang berbeda ini yang kemudian juga menyebabkan EP ini tidak lebih emosional jika dibandingkan dengan rekaman sebelumnya?

Jika mendengarkan “Menaung Lara, Merawat Luka” rasanya seperti ikut ke dalam emosi dengan dada yang penuh sesak dengan hal-hal yang tidak bisa diutarakan. Sedangkan mendengarkan Hyacinth (Prologue To Three Stages Of Unhappiness At The Remains And…)” rasanya mengajak kita untuk merenung, merefleksikan banyak hal yang sudah terjadi, atau sekadar melamun dengan tatapan kosong tanpa memikirkan apapun.

Menariknya, keduanya bermuara pada satu hal: ketenangan. Jika diibaratkan dengan stages of grief, rasanya EP “Hyacinth” sudah tiba pada tahap acceptance atau penerimaan.

Kata “usai” pada judul track terakhir seolah penanda bahwa EP ini juga usai. Menyerupai apa yang dilakukan oleh Individual Life dalam split album dengan menutupnya pada track berjudul “Paripurna”. Apakah ini menjadi ciri khas Noire dalam menyusun repertoar atau setidaknya menentukan judul lagu penutup untuk rilisan mereka? Walau rasanya cukup dini untuk menarik kesimpulan, rasanya hal ini menarik jika diperhatikan. Mari kita tunggu rilisan Noire selanjutnya, apakah di RSD tahun depan mungkin?


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Asyam Ashari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

“Jiwa Ketok” Seni dan Kebebasan Berekspresi

Next Article

Dari Tribun Jadi Gerakan Jurnalisme Akar Rumput Zine Sepak Bola di Yogyakarta

Related Posts