Only Yesterday: Quarter Life Crisis yang Nggak Krisis-krisis Amat

Quarter life crisis, isu terhangat di rentang usia 20 sampai 30 tahunan, rupanya bukan perkara baru yang kerap disangkutkan dengan Generasi Milenial atau Generasi Z.

Telisik punya telisik, ternyata hal itu juga pernah diangkat sutradara kawakan Studio Ghibli, Isao Takahata, dalam film Only Yesterday (1991). Saat dirilis, film itu menuai sorotan luar biasa dari masyarakat Jepang. Sinema berdurasi 118 menit ini bahkan menjadi film terlaris di Jepang tahun itu, dengan pendapatan lebih dari ¥3 juta.

Disclaimer: mengandung spoiler!

Menggunakan latar 1982, Only Yesterday menceritakan Taeko Okajima, wanita berusia 27 tahun yang memutuskan cuti selama 10 hari untuk berlibur ke desa. Seumur hidupnya, Taeko tinggal di kota Tokyo yang ramai. Cuti ke desa, mendadak membuat ia punya waktu untuk berefleksi tentang momen-momen kecil dalam hidup. Masa kecilnya yang tergambar dalam sosok Taeko-kelas-5 SD- pada 1966 kerap muncul dalam diri Taeko dewasa.

Rupanya semua fragmen masa lalu itu berkelindan dengan setiap keputusannya saat dewasa; tentang menikah dan caranya memandang hidup. Kenangan akan Taeko muda menjadi caranya wawas diri.

Ia menyadari masa kecilnya tidak sebahagia film kartun yang sering ditonton bersama neneknya. Taeko kecil adalah anak yang biasa-biasa saja, tidak menonjol dan tidak terlalu pintar. Taeko juga kerap dimarahi ibunya karena tidak menghabiskan bekal sekolah.

“Daripada anak yang pintar mengarang, Ibu selalu lebih suka anak yang tidak pilih-pilih makanan,” kata Nyonya Okajima setelah melihat ada sisa asinan di kotak bekal putrinya.

Mendengar teguran ibunya, Taeko hanya menundukkan kepala. Padahal ia baru saja menunjukkan hasil karangannya yang diberi nilai bagus.

Sutradara Isao Takahata mengisahkan setiap kenangan dengan halus melalui gambar cat air. Setiap tepiannya memudar dan menjauh, layaknya kita mengingat memori pada umumnya. Hanya potongan fragmen saat itu yang terekam jelas.

Termasuk saat Taeko—untuk pertama dan terakhir kalinya—ditampar sang ayah. Momen itu terasa sunyi dan menyesakkan.

Namun bertahun kemudian, Taeko hanya terkikik dan melihat saatnya sebagai bagian dari masa lampau. Mungkin kini ia lebih memahami ayahnya. Meskipun penuh kasih sayang, Pak Okajima serupa ayah lain pada umumnya; dingin dan berjarak. Perhatiannya hanya ditunjukkan melalui gestur sederhana seperti lirikan dan gumaman.

Kisah pertama kali makan nanas, larangan ayah Taeko untuk jadi aktor cilik, dan hal-hal kecil lainnya itu ia bawa ketika bertemu Toshio, pemuda pemilik lahan pertanian yang ia kunjungi. Toshio pun mampu menanggapinya dengan cara yang berbeda (bahkan menggemaskan!). Alih-alih menasihati, dengan canggung Toshio malah membicarakan cuaca sebagai pengalihan topik obrolan.

Di tengah masa quarter life-nya, Taeko tak pernah merasa menikah adalah keharusan. Meskipun sang ibu kerap merongrongnya, ia bersikukuh merasa nyaman dengan dirinya sendiri.

Liburannya ke desa pun membuatnya menemukan sosok yang tepat. Persis pada momen itu, Taeko merasa seperti dituntun dari masa lalu.

Ini yang aku inginkan, dapat dibayangkan hatinya merasakan itu. Ia pun melakukan lompatan besar kepercayaan. Krisis-seperempat-baya itu diakhiri Taeko melalui sebuah pilihan.

Premis kisah Taeko sederhana. Namun dari tiap kejadian sehari-hari yang dialami Taeko kecil, kita menyadari implikasinya luar biasa saat ia dewasa. Bahkan tiap momen itu yang mengiringi langkah Taeko ketika memutuskan hal terbesar dalam hidupnya: menerima Toshio.

 

Editor: Agustinus Rangga Respati

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Berkarya demi Kemanusiaan sebagai Respons Solidaritas Para Seniman

Next Article

Corona Bukan Peninggalan Nenek Moyang