Di kampungku masih sangat akrab dengan segala hal yang berkaitan dengan peninggalan nenek moyang, apapun semuanya berkaitan dengan pantang larang dan makhluk akstral. Tak bisa di pungkiri daerahku juga disegani oleh warga-warga lain, banyak cerita yang harusnya hanya terjadi di imajinasi namun menjadi realiti, sebab kisah tentang orang bunian menikah dengan warga kampung, warga kampung menikah dengan makhluk halus, penglihatan kota megah dan gedung-gedung bertingkat oleh orang asing yang datang, pesanan buku, makanan, motor, bahkan mobil, di tanah kosong cek dan barang hilang dengan nyata, banyak lagi hal di luar nalar terjadi di kampung ini.
Aku tak memungkiri, juga tak mengatakan bahwa itu semua kabar angin karena sejak aku lahir hingga sekarang belum pernah kutemukan keganjalan di kampung, katanya orang-orang sekarang mematuhi dan memenuhi keperluan serta permintaan makhluk halus itu, dengan cara tepat waktu memberikan jatah mereka, tak seperti nenek moyang dulu, yang belum mengerti permintaan dari si akstral.
Sekarang heboh lagi dengan wabah yang tidak hanya menggetarkan kampung melainkan mengubrak-abrik seluruh dunia. Di televisi tenar kalimat “Semua diawali dengan kata pertama, pertama kali jalan di tutup, pertama kali bandara di tutup dan semua yang pertama kali di tutup”.
“Kalian yang diluar daerah segera kembali ke kampung halaman, kita harus melakukan ritual sebelum Corona menyerang, agar kampung dan seiisinya terhindar dari wabah” begitulah isi pesan yang dikirim oleh ketua adat kampung di grup whatsapp.
Tak habis pikir aku dengan semua ini. Tidak ada larangan di kampung ini untuk tak bersekolah tinggi, bahkan jika di dalam rumah belum tergantung foto anak sarjana berarti belum ada riwayat orangtua sukses memberikan pendidikan terbaik kepada anaknya.
Di keluarga, aku orang pertama yang menginjakkan kaki ke sekolah tinggi, adik-adik masih sangat kecil, ayah dan ibu adalah orang yang paling manut mendengar perkataan ketua adat kampung. Membaca pesan di grup, otakku seperti di balik, tak ingin pulang kampung, tak mau menunda pekerjaan di perantauan, apalagi hanya demi melakukan ritual yang sering kulihat seperti sebelumnya dilakukan oleh ketua adat kampung.
Bosan dengan kepercayaan itu, jenuh sudah bagaimana untuk menjelaskan bahwa tak ada kaitan wabah ini dengan kesalahan orang kampung. Seperti membengkak tangan dikarenakan salah menebang pohon, sesat di hutan karena salah omong, dan banyak lagi contoh-contoh yang harusnya aku sebutkan untuk mereka mengerti, tapi sayang semua itu akan percuma, sebab jika berbicara perihal tersebut ayah dan ibu akan marah dengan mengatakan, “Percuma kamu di sekolahkan tinggi-tinggi, menghabiskan banyak biaya, tapi mulutmu tak bisa di jaga”.
Pernah sekali aku mengeluarkan argumen kepada ayah dan ibu tentang anak tetangga yang hilang dan sampai sekarang tak ketemu mereka mempercayai kalau anak perempuan tersebut diambil makhluk laut menjadi ratu disana, tapi ayah dan ibu memahami argumen itu seakan-akan akulah yang menyembunyikan anak tetangga.
Bukan aku takut kepada ketua adat kampung jika tak kembali ke desa, tapi aku takut ayah dan ibu semakin memberiku label kalau sekolah tinggi yang selama ini ku kejar ilmunya memperburuk pikiran, takut juga untuk membantah yang ada, malah berhenti biaya untuk melanjutkan pendidikan gara-gara tidak menyetujui ritual oleh orang satu kampung atas kehendak ketua adat, yang dipercayai mempunyai garis lurus keturunan dengan nenek moyang terdahulu pembuka kampung ini.
**
Pagi besoknya kami tiba di kampung, semua alat ritual sudah disiapkan, kemeyan, sesajen lengkap dengan, telur, beras kuning, buah-buahan, dan satu ekor kambing akan di hanyutkan ke laut. Sesajen itu untuk mengusir corona virus yang mematikan, warga kampung senang mereka pikir virus tersebut tidak akan mendekat dan memasuki wilayah jika sudah diberikan jatah seperti makhluk sebelumnya yang menggangu kampung. Begitulah cara kampung menghadapi virus corona ini, bertolak belakang dengan aturan pemerintah seperti mencuci tangan setelah menyentuh sesuatu, menjaga jarak dan lain-lain. Aku tak mencoba lagi menjelaskan kepada ayah dan ibu, mereka sudah terlalu percaya apa yang dikatakan ketua adat.
Setelah ritual sesajen tersebut, kami satu kampung berpantang tidak boleh membuka pintu selama 3 hari, semua makanan sudah di siapkan, tak ada yang boleh membuka pintu, tak ada yang boleh berkomunikasi melalui handphone, jalan-jalan menuju kampung kami dipercayai oleh semua warga telah ditutup makhluk laut karena telah diberi sesajen.
“Mayatnya ditemukan..! Mayatnya ditemukan…!” teriak Alu berlarian. Tak ada yang menanggapi, berani mendekat bahkan bertanya mayat siapa yang ditemukan Alu. Orang-orang hanya memantau dari balik kaca jendela rumah, berharap bisa mengusir rasa penasaran. Tak ada solidaritas, kebersamaan, tolong menolong. Sejak pandemi suasana kampung tak jauh beda dari komplek perumahan di perkotaan. Konsepnya; aku-aku, kamu-kamu.
Di jalan, selain Alu hanya ada debu yang berkeliaran. Pak Lurah, Kepala Desa, Ketua RT-RW, perangkat desa sama-sama mengikuti aturan ketua adat kampung, tak boleh keluar rumah. Setelah ritual itu kampung seakan kota mati.
Hanya orang dengan catatan kewarasan setengah, ya seperti Alu itu, yang berani keluar rumah. Presiden pun tak bisa melarangnya. Lagi pula sejak ditinggal keluarganya mati berjamaah dililit hutang, Alu tak lagi punya tempat tinggal. Ia hidup di jalanan, tidur di pos kamling. Dulu Alu tidur di masjid. Namun sejak ketahuan buang air besar di dalam masjid, marbot memutuskan untuk mengunci semua pintu setiap usai melaksanakan ibadah. Alu tak bisa apa-apa.
Sebelum ritual ketika Alu berlarian sambil berteriak telah menemukan mayat, selain resah oleh covid-19 orang-orang kampung pun dibuat risih oleh Om Darmi, lelaki yang mendadak gila setelah istri dan anak-anaknya membawa kabur semua harta, uang, menjual ladang dan kebun miliknya. Sejak kewarasannya hilang Om Darmi sangat menakutkan. Ia akan melorotkan celana, memperlihatkan kemaluannya jika bertemu perempuan. Ia biasa seenaknya buang kotoran di jalanan, mencuri buah-buahan, masuk rumah orang sembarangan mencari makanan.
Om Darmi menjadi teman baik Alu. Setiap pagi mereka berbincang di pos, seperti sahabat yang telah lama berpisah menceritakan bagaimana perihnya kehidupan, asinnya air lautan. Alu sangat senang mendengarkan cerita Om Darmi tentang Islam. Om Darmi selalu mengingatkan Alu kalau hidup di dunia hanya sebentar tak perlu mengkhawatirkan apa-apa yang dimiliki. Katanya, manusia datang dalam keadaan telanjang, mati pun, jadi mayat akan telanjang. Tetapi untuk menjaga etika kemanusiaan maka si mayat dipakaikan kain kafan.
***
Alu berhenti berlari. Ia mendatangi setiap rumah, menggedor pintunya, meminta tolong. Orang-orang di dalam rumah tak ada yang berani membuka pintu. Pemandangan ini seperti di televisi, kota di serang zombie. Bedanya zombie terlihat jika terdeteksi positif, sekarang setiap orang takut akan tertular meski tak ada yang tahu pasti keadaan orang-orang di sekitar, apakah ia positif atau negatif dari Virus Corona. Hampir khatam Alu menggedor pintu rumah di kampung itu tetapi sia-sia! Tak ada yang peduli, bahkan tidak ada yang mau tahu mayat siapa yang ditemukan Alu. Ia menangis, menghapus air mata dengan baju yang selalu ia gunakan, baju partai berwarna putih.
Om Darmi pernah bertanya kepada Alu kenapa ia tidak pernah mengganti pakaiannya, meski tahu kalau partai yang ada di bajunya telah kalah telak dari partai berwarna merah. Om Darmi tiba-tiba tertawa mendengar pertanyaannya kepada Alu lalu berkata;
“Makhluk Tuhan semakin aneh, bisa-bisanya memecah belah warna bendera untuk satu bendera.”
Alu tak mengerti maksud Om Darmi, tak menanggapi kenapa Om Darmi tertawa. Alu hanya menjawab pertanyaan Om Darmi; mulanya dengan sepenuh hati, baju yang digunakan bukan karena partai namun semata senang dengan warna putih, sebab melambangkan kesucian.
Sampai kini belum ada mayat yang dikubur menggunakan kain kafan warna kuning, hitam, hijau, merah, biru atau ungu. Pasti dengan kain putih yang suci bersih. Tak ada lagi yang bisa Alu lakukan, tak ada yang mau menolong. Percuma ia berlarian dari ujung ke ujung kampung mengabarkan penemuan mayat. Orang-orang tak ada yang berani keluar karena virus kecil mematikan. Tak ada yang berani melawan Pemerintah. Siapa yang keluar rumah akan dipenjara, sedangkan orang-orang yang dipenjara selama pandemi malah dikeluarkan. Tak ada yang mau masuk penjara karena pasti kemerdekaan dirampas meski di luar penjara belum menemukan kemerdekaan sejati.
Alu lalu pergi ke masjid tempat ia tidur, namun tak ada satu orangpun di sana. Semua pintu masuk dikunci, marbot tidak ada. Mungkin belum waktunya beribadah, pikirnya lantas menunggu. Kurang lebih empat jam! Matahari sudah tepat di atas kepalanya namun Alu tetap tidak mendapatkan marbot mengumandangkan azan. Ia menunggu lagi. Matahari hampir tenggelam, tak ada satu jamaah yang datang ke masjid untuk menyembah Tuhannya, melaksanakan ibadah, memenuhi persyaratan kenapa manusia diciptakan. Bukan hanya jalanan, tempat ibadah juga sepi.
Alu teringat pada orang yang paling kuat di kampung. Ketua adat, Tok Adi, orang yang terkenal karena ilmu kebalnya, yang dulu pernah ikut peperangan antar suku. Tok Adi pernah ditebas kepalanya menggunakan parang tajam oleh pihak lawan. Lehernya tidak putus bahkan setetes darah pun tidak keluar. Suku Tok Adi menang. Alu juga ingat cerita lama tentang Tok Adi, beliau bukan hanya tak mempan ditebas tetapi tak tembus juga jika ditembak. Orang kebal seperti itu tak mungkin takut pada virus berukuran kecil bahkan tak kasat mata, meski orang-orang kampung percaya yang lebih bahaya justeru yang tak kasat mata seperti sihir.
Alu meninggalkan masjid menuju tepi sungai ujung kampung, kediaman Tok Adi. Sampai di sana ia melihat orang-orang berseragam polisi dan suster. Mereka sibuk memberitakan bahwa satu lagi mayat meninggal karena positif Corona. Alu berlari mendekati suster yang berpakaian lengkap dengan alat pelindung diri membawa mayat masuk ke mobil jenazah. Mayat itu adalah Tok Adi. Putus asa, kecewa, marah dan tidak tahu lagi harus bagaimana, bersatu menghampiri Alu. Ia diam menyaksikan mobil jenazah berlalu dengan sirine memecah kesunyian kampung.
“Keterlaluan. Keparat!” teriak Alu duduk di tepi jalan.
“Tok Adi yang mempunyai ilmu kebal saja mati oleh virus keparat itu. Keterlaluan!” Alu mencabut rumput yang berada di dekatnya, membuang kekesalan. Air matanya yang jatuh menetes tak lagi dihapus dengan baju kesayangan. Tak ada jalan lain, ia harus kembali ke tempat mayat tadi, menguburnya sendiri tanpa bantuan orang-orang kampung yang katanya punya kebersamaan lebih besar daripada kebersamaan orang-orang kota. Sekarang nyatanya apa? Tak ada bedanya. Kampung telah mati gara-gara pandemi.
Sampai di tempat mayat, hening! Hanya deru angin mengusik telinga. Alu terdiam. Mayat itu didekatinya. Dan Alu menangis. Makin kuat ia menangis sampai bahunya terguncang-guncang. Ia sesungukan. Mayat yang terbujur kaku itu, sama persis seperti Alu! Setelah kejadian Alu dan Om Darmi, apalagi ketua adat mati aku berani mengatakan kepada ayah dan ibu virus ini dihindari bukan dengan sesajen apalagi dengan ilmu tak kasat mata melainkan menjaga kebersihan diri, hanya itu. Ayah dan ibu terdiam, tak tau mereka membenarkan perkataanku atau menyesali kenapa membiayai aku ke sekolah tinggi.
Pontianak, 18 Juni 2020
*) Cerpen karya Khatijah, juara 3 dalam Sayembara Penulisan Sastra “Bersama Lawan Corona” Bengkel Sastra Universitas Sanata Dharma, 2020.