Film ‘Lagu Untuk Anakku’ (2022): Merawat Ingatan ’65 Lewat Senandung

Film “Lagu untuk Anakku” (2022), merekam keseharian para anggota Dialita dan usaha untuk menyebar memori tentang peristiwa ’65 lewat lagu kepada anak-anak muda.

“(Peristiwa) ’65 itu merupakan kehancuran bagi cita-cita kami sekeluarga.”

Manusia memiliki cara bermacam-macam untuk mengawetkan memori. Mereka menulis, mengambil foto, atau bahkan menciptakan dan menyanyikan sebuah lagu. Upaya mengingat di tengah kondisi dunia yang memaksa manusia untuk melupakan, tentu saja penuh tantangan. Satu memori terlalu berharga jika harus dilupa(kan) secara paksa.

Para perempuan penyintas 1965 yang tergabung dalam grup paduan suara Dialita bernyanyi untuk mengingat masa ketika mereka atau anggota keluarga mereka ditahan di kamp konsentrasi karena diduga memiliki afiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka mengumpulkan lagi lirik-lirik lagu yang dibuat oleh tahanan politik ’65 semasa dipenjara untuk dinyanyikan ulang di masa sekarang. 

Film dokumenter berjudul Lagu untuk Anakku (2022) arahan Shalahuddin Siregar merekam keseharian para anggota Dialita dan usaha mereka untuk menyebar memori tentang peristiwa ’65 lewat lagu kepada anak-anak muda.

“Saya melihat perempuan-perempuan ini, perempuan yang hebat. Karena tidak menyerah di dalam penjara. Tidak menyerah pada nasib. Dan mereka tidak mengutuk. Tapi, mereka berkarya,” ujar Uchi, ketua Dialita.

Pada salah satu scene, penonton akan dipertemukan dengan Heryani Busono Wiwoho. Ia adalah pencipta lagu “Lagu Untuk Anakku”. Lagu itu dibuat oleh Heryani bersama Mayor Djuwito ketika keduanya ditahan di kamp Ambarawa. Ia menjelaskan bahwa lagu itu menceritakan tentang kerinduan para tahanan terhadap anak-anak yang ditinggali di rumah. 

Duka derita kubawa setia
Cinta dan cita lahirlah semua
Menyinari hari mendatang, sayangku
Jadilah putra harapan bangsamu

“Lagu Untuk Anakku”

Suharto memenjarakan orang-orang kiri tanpa proses peradilan. Ia membangun beberapa kamp konsentrasi yang tersebar di beberapa titik di Indonesia. Ada Kamp Plantungan, Bukit Duri, Buru, Ambarawa, dan lain sebagainya. Sebagian besar tapol perempuan ditahan di Kamp Plantungan, Kendal. Setidaknya ada 500 tapol perempuan yang diasingkan di sana.

Mereka kerap menerima teror dan tindak kekerasan dari para tentara. Nasti, salah satu penyintas ’65, pada salah satu scene bercerita bahwa ibunya pernah menjadi sasaran tentara untuk dilempari beberapa bilah belati.

Ada juga, menurut penjelasan Nasti, tapol perempuan yang mengalami kekerasan fisik sehingga melukai vaginanya. “Kan para tapol ’65 itu kan sudah direndahkan martabatnya, harga dirinya. Dianggap bukan manusia lagi,” terang Nasti. 

Para tapol pun dilarang untuk menulis dan membaca. Pensil, kertas, dan koran dilarang masuk sel. Jika mereka ingin mencatat, tentu saja dilakukan sembunyi sembunyi. Heryani diam-diam menulis lirik Lagu untuk Anakku di penjara. “Kayak gitu tu ga boleh. ‘Kan mereka takut juga. Tapi selalu ada jalan keluar,” tutur Heryani.

Pada awalnya, lagu-lagu semasa di penjara hanya dinyanyikan oleh para tahanan perempuan. Lagu Mawar Merah ciptaan Zubaidah Nungtjik yang menceritakan kisah cinta antara Mudji, tapol perempuan Bukit Duri, dengan salah satu tapol dari Salemba, bergema di Bukit Duri. Kini, lagu itu telah meretas zaman. Lagu itu tidak lagi terhalang dinginnya jeruji besi.

Poster film dokumenter “Lagu Untuk Anakku” (dok. Negeri Films)

Nyanyian Merdu Melawan Sejarah yang Kabur

“Sesudah saya pulang dari tahanan itu, sering terngiang lagu-lagu itu. Kalau orang-orang muda menemukan ini, kalau dicatat lagi, orang muda entah kapan ada yang menemukan dan iseng mau menyanyikan, kan bagus,” kata Utati.

Utati sedari kecil menggemari kesenian, terutama menari dan menyanyi. Sewaktu ia pindah ke Jakarta seusai tamat SMP, ia bertemu orang-orang yang juga suka dengan kesenian. Akhirnya, ia bergabung dalam Pemuda Rakyat. Karena Pemuda Rakyat adalah afiliasi PKI, ia ditangkap untuk dimintai keterangan.

Utati ditahan di Kamp Bukit Duri selama 11 tahun. Menurut kesaksiannya, para tahanan dipaksa untuk mengakui tuduhan-tuduhan tak berdasar yang dilontarkan pasukan orde baru. Mereka dipukul, dimaki-maki, hingga disengat listrik.

Tiga puluh lima tahun setelah Utati bebas dari Bukit Duri, kelompok Paduan Suara Dialita terbentuk. Ia bersama perempuan penyintas lainnya bernyanyi, merawat ingatan, dan menjalankan praktik welas asih. Mereka berkumpul di rumah Utati. Dalam film, penonton bisa melihat raut wajah bahagia kala Utati bertemu teman-temannya.

Harapan Utati agar lagu-lagu dari penjara bisa dinyanyikan untuk kemudian didengarkan oleh generasi muda akhirnya bisa terwujud. Saat ini, kalian bisa mendengarkan nyanyian merdu Dialita di berbagai platform layanan musik streaming. Salah satu inisiator yang merekam lagu-lagu dari penjara untuk disebarkan dalam bentuk album kepada para pendengar adalah Yes No Wave, label musik asal Yogyakarta.

“Udah sekian tahun lagu itu seperti hilang. Dan ini sangat menarik untuk didokumentasikan, direkam dengan baik, dan didistribusikan secara luas,” jelas Wok The Rok, pendiri Yes No Wave dan produser album Dialita.

Album itu bertajuk “Dunia Milik Kita”, diluncurkan pada tahun 2016. Album ini mendapatkan sambutan hangat dari para pendengar. Saat Dialita tampil pada acara soft launching “Dunia Milik Kita” di malam pembukaan Arkipel – Jakarta International Documentary & Film Festival, terdengar tepukan tangan yang begitu riuh.

Dibalut busana berwarna ungu, Dialita melambungkan suara merdu, menciptakan suasana yang hangat, dan yang terpenting, membangun kembali memori kolektif. Kamera menyorot mereka ketika sedang menyanyikan lagu Taman Bunga Plantungan ciptaan Zubaidah Nungtjik. 

Lagu ini mengisahkan tentang sebuah taman bunga yang digarap oleh para tahanan di Kamp Plantungan. Taman bunga itu memberikan keindahan di tengah kondisi runyam, yang kala itu seperti tidak ada pangkalnya. 

Taman Bunga Plantungan nan permai
Sedap dipandang mata
Aneka warna semerbak
Mewangi bunga-bunganya

 Penampilan Dialita terus berlanjut hingga kini. Mereka berkeliling kota, baik Jakarta maupun luar Jakarta, menyapa kawan-kawan baru yang tengah menanti kehadiran mereka. Generasi muda yang mengalami pengaburan sejarah tentang 65 karena orba, setidaknya setelah mendengar senandung Dialita, mendapatkan pengetahuan sejarah tandingan dan muncul keinginan untuk terus menantang narasi sejarah buatan negara.

Lagu Untuk Anakku juga menunjukkan beberapa anak muda menyanyikan lagu-lagu masa penjara. Sebut saja, misalnya, Endah Widiastuti, anggota duo Endah N Rhesa, menyanyikan lagu Ibu karya Utati.

“Lagu Ibu itu, saya buat karena dalam hati saya bertanya, apakah ibu sudah tahu kalau saya di Bukit Duri sebagai tahanan politik? Dengan begitu semua kata-kata ibu, kemarahan ibu, nasehat itu sering terngiang, dan tanpa saya sadari itu, terbentuklah lagu itu,” kata Utati.

 Ku terbayang
Wajahmu, ibu
Harapanku padamu, sehatlah s’lalu

“Ibu”

Endah menyanyikan lagu itu pada acara perilisan album kedua Dialita, Salam Harapan. Lagu-lagu di album itu direkam oleh Rumah Bonita. Tidak seperti saat perilisan album pertama, Dialita tidak menyanyi. Mereka menonton penampilan anak-anak muda menyanyikan lagu-lagu mereka. Utati dan anggota Dialita lainnya menampilkan senyuman hangat, tanda mereka begitu bahagia.

Penampilan paduan suara Dialita di atas panggung (dok. The Jakarta Post)

Bukan Sekadar Kelompok Paduan Suara

Lagu Untuk Anakku memberikan porsi besar bagi berbagai scene yang menunjukkan keseharian para anggota Dialita. Mereka berkumpul tidak hanya untuk latihan vokal, tetapi lebih jauh daripada itu, untuk saling mencintai. Ungkapan cinta Dialita berbentuk kegiatan memasak dan makan bersama, bercerita, tertawa, hingga berjualan barang bekas yang hasilnya akan diberikan kepada sesama penyintas ’65.

Obrolan-obrolan juga menjadi sarana pengikat antar sesama anggota Dialita. Salah satunya, mereka mengobrolkan tentang masih lekatnya stigma buruk terhadap mereka. Tetapi, obrolan ini tidak berujung pada pelemahan semangat mereka. Kaki mereka tetap kokoh berdiri, suara merdu mereka tetap nyaring bunyinya, dan tentu, ingatan mereka semakin tajam saja.

Setelah menonton Lagu Untuk Anakku, saya mendapatkan kesan bahwa Dialita bukan hanya kelompok paduan suara. Mereka berkumpul untuk bersama-sama tumbuh. Negara yang menghancurkan harapan-harapan mereka dahulu, tidak boleh lagi ikut campur mengatur hidup mereka. Ibu-ibu Dialita berhak bahagia.

Saya ikut geram ketika film menampilkan scene ibu-ibu Dialita tengah bercerita tentang keinginan mereka untuk bisa bersekolah hingga tuntas harus pupus karena negara. “Jadi kan, kata mbak Dien kan gitu, kita itu ‘generasi yang hilang’. Jadi yang harusnya jadi dokter, gagal jadi dokter. Aku mau jadi Arkeolog, nggak jadi Arkeolog,” papar Nasti.

“Jadi, seolah-olah kita itu sudah kayak dimusnahkan gitu,” lanjutnya.

Penelitian Abdul Wahid, sejarawan UGM, tentang dampak peristiwa ’65 di berbagai universitas di Indonesia menemukan fakta bahwa adanya genosida dalam bentuk lain, yaitu genosida intelektual. Ia meneliti 10 universitas dan memperoleh data sekitar 299 dosen dan 3464 mahasiswa ditahan, dihilangkan, atau tewas saat sedang kuliah. 

Utati bercerita mengenai Asronah, seorang lulusan Farmasi ITB yang ditangkap, tidak diperkenankan  mengambil ijazah setelah dirinya bebas dari penjara. “Padahal itu haknya harusnya kan? Jadi kehilangan hak. Hak apa saja sebagai warga negara,” tutur Utati.

Hingga kini, nyanyian Dialita tak lekang oleh masa. Dengan semangat ingin berbagi, cinta yang besar akan kehidupan, kesenian, dan tentu saja antar sesama manusia, Dialita sulit untuk dilupakan oleh siapa pun. Dialita hadir di tengah negara yang kecanduan melakukan kekerasan terhadap warga negaranya. Dialita terus mengabarkan satu pesan yang membuat gentar penguasa: “Menolak lupa!”. 

Kita tidak boleh lupa. Kita tidak boleh dilupakan. Kita tantang negara yang telah melupakan korban. Hidup korban. Jangan diam! 

Judul Film: Lagu Untuk Anakku
Tahun: 2022
Durasi: 98 menit
Sutradara: Shalahuddin Siregar
Produksi: Negeri Films
Negara: Indonesia

Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Negeri Films

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2024: Pesta Rakyat dan Potensi Lokal dari Pleret Bantul

Next Article

Godspeed You! Black Emperor: Post-Rock atau Post-Revolusi?

Related Posts