Letak dan Diletakkan: Respons Pameran Perjalanan rumiT

Meskipun berseberangan, Pameran Perjalanan bertajuk “rumiT” cukup berhasil menautkan kedua premis tersebut melalui medium suara, penuturan langsung, serta arsip-arsip yang mereka hadirkan di sepanjang etalase.

Bayangan apa yang hadir ketika orang Jawa, memikirkan tentang Timur? Pertanyaan tersebut lekas membawa suatu pembacaan, di mana terdapat pusat imperium yang beroperasi menentukan batas antara Timur dan Barat, Selatan dan Utara, pinggiran dan pusat. Lantas kita menerimanya begitu saja, sebagai konsekuensi dari kurikulum yang kerap disodorkan kepada kita.

Akan tetapi, nampaknya sangat kejam bila Timur hanya dilihat sebatas tata letak geografis. Timur adalah gagasan, di mana ia menyimpan proyek pengetahuan yang sengaja ditaklukan oleh pusat. Dan kepada pusatlah, Timur dibuat amat bergantung terhadap kebijakan mereka.

Salah satu karya dalam pameran “rumiT” (dok. Suden)

“Letak” dan Gagasan Terhadapnya

Congkelan premis di atas merupakan pembacaan yang coba saya tangkap, melalui Pameran Perjalanan yang diusung oleh Etnoreflika. Pameran yang membawa tajuk “rumiT” tersebut, dibuka pada 20 September 2023, di Galeri Luweng Soegondo UGM. Pameran tersebut diinisiasi oleh Puspa, Ica, dan Dewi yang telah melangsungkan residensinya selama di Mollo, Larantuka, serta peristiwa di kapal pelni menuju Flores.

Tajuk “rumiT” sendiri dipilih, sebagai konsekuensi dari cara pembacaan disiplin yang sesuai dengan tata letaknya, yakni “rumit”. Tajuk tersebut memfasilitasi medium percakapan, antara dinamika yang dialami oleh para artist, selama berada di medan yang belum mereka kenali sebelumnya.

Karya-karya dalam pameran “rumiT” (dok. Suden)

Sedangkan bila kita mengacaukan tata letaknya dengan membacanya dari huruf kapital, maka pameran tersebut akan menghasilkan bunyi “Timur”. Sebagaimana dalam kuratorial pameran, bahwa mereka mengambil sikap untuk tidak sepakat terhadap orientasi arah yang sangat Jawa sentris tersebut. Akan tetapi, sikap tersebut justru membuat mereka gamang, pada akhirnya “rumit” jadi sepenggal kata yang tepat untuk membayangkan pameran kali ini.

Permainan kata tersebut mengandung muatan untuk menautkan dua premis yang saling berseberangan. Antara ‘Timur’ sebagai medium untuk membicarakan transmisi pengetahuan, juga medium untuk mempercakapkan apa-apa saja dinamika yang tak pernah diwadahi oleh kurikulum kampus. Dinamika tersebut berkutat pada cara pandang masyarakat ulayat terhadap orang-orang kulit putih, resiko penolakan dan kesungkanan yang dirasakan, sampai pada peristiwa tak terduga selama berada di kapal.

Meskipun berseberangan, namun pameran tersebut cukup berhasil menautkan kedua premis tersebut melalui medium suara, penuturan langsung, serta arsip-arsip yang mereka hadirkan di sepanjang etalase. Bahkan upaya menautkan keduanya jadi punya tawaran penting bagi cara kita melihat pengetahuan, serta bagaimana pengetahuan itu dihadirkan.

Karya-karya dalam pameran “rumiT” (dok. Suden)

“Diletakkan” Serta Konsekuensi Terhadapnya

Selain berhasil menautkan dua premis yang saling berseberangan. Pameran “rumiT” juga menawarkan apa-apa saja yang kadung diposisikan sebagai Timur. Sebagaimana konteks Mollo, Larantuka, serta Flores yang hari ini direduksi sebatas wilayah Timur. Sebagai pengantar, perlu kiranya bagi saya untuk menjabarkan konteks besar sebelum akhirnya peletakan Timur jadi penting untuk digugat kembali.

Sejak bangsa ini mengenal hadirnya proklamasi, Timur yang telah mengalami penjajahan Belanda, segera ditaklukan kembali oleh imajinasi teritorial yang masih berumur 78 tahun. Imajinasi tersebutlah yang beroperasi menentukan batas teritorial, di mana pembangunan digencarkan di pusat, sedangkan sumber-sumber pembangunan mereka ambil dari wilayah yang telah ditetapkan sebagai Timur.

Meskipun konten-konten FYP kita amat jarang menampilkan hadirnya penaklukan bersenjata atau invasi besar-besaran oleh aparat berseragam—sebagaimana yang dilakukan oleh kolonialisme Belanda. Namun penaklukan yang berlangsung di Timur, bekerja melampaui praktik-praktik kekerasan konvensional.

Modus beroperasinya penaklukan, lekat akan praktik-praktik mendata, meneliti, serta proyek penelusuran besar-besaran, pada muaranya mengarah pada penjajahan pikiran. Penjajahan tersebut berlangsung ketika pena dan kertas setara kejamnya dengan teknologi bedil super canggih dan kekerasan fisik yang dihasilkannya.

Penaklukan tak kasat mata tersebut bahkan telah lama beroperasi melalui sistem pendidikan. Alhasil turut membentuk cara berpikir kita mengenai beradab dan kebiadaban, pusat dan pinggiran, tertata maupun berantakan.

Konsekuensi tersebut turut diproduksi oleh para etnolog yang melihat Timur sebatas objek penelitian yang perlu diperadabkan, melalui seperangkat teori serta definisi yang berjarak dengan mereka. Timur bahkan tak pernah dilibatkan sebagai lokus, di mana sumber pengetahuan berasal dari mereka. Pun juga konsekuensi jika Mollo, Larantuka, serta Flores yang sebatas “diletakkan”, bahkan tak punya suara untuk menentukan posisinya sendiri.

Meretas Modus Beroperasinya “Diletakkan”

Nampaknya pameran “rumiT” menyadari dosa-dosa yang dibebankan oleh para pendahulunya. Dosa-dosa yang coba mereka tebus, dengan terjun langsung ke sumber pengetahuan, serta menolak patuh terhadap representasi pengetahuan yang kerap disodok kepada mereka.

Melalui etalase Tik-Tok, Dewi berupaya menghadirkan peristiwa Semana Santa kedalam beranda digital. Medium Tik-Tok dipilihnya sebagai modus produksi pengetahuan alternatif yang tak pernah ditampung oleh medium arus utama. Bahkan medium tersebut turut menjadi upaya meretas keberjarakan, antara pakar dan awam sekaligus.

Kemudian melalui arsip makanan yang dikonsumsi oleh Ica selama di kapal pelni. Makanan tersebut nampak mengungkapkan peristiwa yang hadir ketika si subjek berada di posisi liminal antara keberangkatan dan titik tujuan. Sebelum akhirnya Ica, memutuskan untuk menetap di Flores. Bahkan arsip makanan yang dihidangkan oleh Ica–layaknya etalase di meja makan, lekas menarik kita menuju ruang yang amat jauh dari tatapan.

Sedangkan etalase etnosentic yang dipantik oleh Puspa, turut meretas jarak antara yang Timur dengan yang pusat. Perbincangannya dengan mama-mama di Mollo, seakan hadir di tempat nongkrongnya para intelektual urban. Cara berpikir mereka di ruang urban, segera digugat oleh teriakan mama-mama memanggil anaknya dari kejauhan.

Akan tetapi, apakah demikian yang berupaya diretas oleh pameran tersebut? Atau malah dosa-dosa etnografi masih bergentayangan di tiap sudut instalasinya? Ketika subjek-subjek yang sedang menanggung beban Timur, tak benar-benar hadir membicarakan diri mereka. Sedangkan potongan diri mereka, diangkut, dipetakan kemudian dipamerkan di pusat akademik. Lalu dibedah dan ditelanjangi oleh intelektual urban yang tak pernah bersentuhan dengan subjek.


Editor: Gentayu Amanda
Foto sampul: Suden

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts