Novel Silence: Sebuah Memoar Ke-mendua-an (Ambiguitas) Agama

Novel Silence (1966) karya Shusako Endo
blblblbl

A. Pengantar

Emi Mase-Hasegawa, seorang doktor teologi yang membuat ulasan lengkap terhadap karya dan pemikiran Shusaku Endo, menemukan paradoks “ke-mendua-an” antara menjadi penganut agama Kakure Kirishitan[1] sekaligus seorang penduduk Jepang yang seharusnya taat dengan pemerintah. Kisah di dalam novel Silence diambil berdasarkan pengalaman pribadi Shusaku Endo muda, di mana ia hidup pada situasi militeristik berdasarkan sistem kekaisaran yang mendominasi Jepang. Paradoks “ke-mendua-an” sikap hidup yang menjadi tema pokok novel Silence menggambarkan relasi konfliktual antara agama dan politik pemerintah.

Sejarah panjang kekristenan Jepang secara dominan berada dalam penderitaan karena dianggap sebagai ‘agama setan’ oleh Pemerintah Jepang, dan dianggap sebagai lawan ideologis tentang ideal kaisar yang seharusnya dihormati oleh manusia, yaitu Yesus Kristus sebagai Dainichi. Hal ini membuat pemerintah menunjukkan ke-mendua-an wajahnya dengan mempolitisasi agama legal pemerintah lewat dalih menjamin kesejahteraan, namun ternyata itu justru menunjukkan wajah diskriminatif (persekusi dan kekerasan) terhadap Kakure Kirishitan dengan memaksa mereka memeluk kembali agama Shinto-Buddhist & menghormati Kaisar Jepang.

Di bawah tekanan dua wajah pemerintah tersebut, paradoks “ke-mendua-an” menjadi pergulatan dominan yang dialami oleh Endo sebagai seorang kristiani Jepang. Ia bersikap sebagai seorang Kakure Kirishitan yang mendua dan penuh kelemahan, yang taat secara dangkal pada ajaran kekristenan sekaligus taat pada identitas nasionalisme sebagai penduduk asli Jepang. Singkatnya, “ke-mendua-an” membuatnya sangat kompromis dalam hidup sosial[2].

Di dalam novel Silence, tema paradoks tentang “ke-mendua-an” ini akan terlihat dalam segmen-segmen naratif antara Kijichiro, Sebastian Rodrigues, Sawano Chuan/Fereira, dan shogun Inoue beserta jajaran pejabatnya yang mempersekusi Kakure Kirishitan. Tema “ke-mendua-an” terlihat semakin kontras ketika semua pihak berada dalam tahapan orientasi yang sama, yaitu apostatizing (murtad); baik dari pihak yang hendak memurtadkan maupun dimurtadkan.

Secara literer, kisah di dalam novel Silence memiliki gaya open-ended (akhir yang terbuka) yang merepresentasikan isu-isu yang belum tertuntaskan. Salah satunya adalah isu relasi antara politik dan agama[3].

Di dalam beberapa segmen kisah novel Silence, terdapat pengajuan pertanyaan-pertanyaan yang sulit, tajam, dan kritis dari tokoh-tokoh novel jarang mendapat jawaban yang memuaskan, bahkan tak terjawab sehingga pertanyaan dibiarkan terbuka. Para pembaca seakan-akan dibiarkan untuk melukiskan sendiri interpretasinya tentang makna spiritualitas, agama, bahkan relasi antara agama dan politik secara terbuka seturut konteks sekitarnya.

Dalam interpretasi Emi Hasegawa, tujuan penulisan novel tematik Shusaku Endo ini adalah hendak mendeskripsikan secara dinamis tentang kebenaran eksistensial suatu agama di dalam suatu konteks sejarah yang senantiasa berubah[4]. Oleh karena itu, di dalam tulisan ini, penulis hendak melukiskan secara sosiologis tentang gejala sosial berupa politisasi agama dan dampak ke-mendua-an agama di bawah wajah atau tekanan politik berdasarkan teks novel Silence.

B. Selayang Pandang Konteks Gejala Sosial-Politis Agama Novel Silence

1. Gejala Sosial I: Pihak Kakure Kirishitan

Secara sosiologis, novel Silence memuat gejala sosial yang berasal dari pihak misionaris Gereja Katolik dan dari pihak Pemerintahan Jepang. Gejala sosial dari pihak misionaris Katolik timbul dari relasi antara misionaris Katolik dengan penduduk pribumi Jepang.

Coraknya adalah pertama, para misionaris berupaya “menginkulturasi” atau menerjemahkan ajaran Gereja pada terms-terms lokal masyarakat setempat. Dengan begitu pengajaran Gereja Katolik dapat semakin terpahami dan mengubah orientasi hidup beragama masyarakat setempat. Kedua, pola pengajaran keagamaan Katolik lebih banyak berorientasi mengajak masyarakat lokal Jepang untuk mengimani kehadiran “kebangkitan” Yesus di balik segala penderitaan dan tekanan pemerintahan; mengimani dan meneladani “superioritas” Yesus dalam menghadapi penderitaan. Ketiga, pola pengajaran doktrin Gereja Katolik menyelaraskan dengan pemahaman, spiritualitas, dan budaya lokal Jepang tentang superioritas Tuhan sebagai Dainchi (konsep Dewa Matahari Buddhist sebagai Dewa Tertinggi). Doktrin yang hendak diubah adalah pemahaman Dainichi dari masyarakat lokal Jepang menjadi pemahaman bahwa Yesus-lah Sang Deus yang tertinggi, yang menjamin seluruh keselamatan manusia hingga di akhirat[5].

Namun, di bawah tekanan politik masa pemerintahan shogun Inoue, para misionaris Katolik bersama jemaat kekristenan Jepang tidak dapat lagi dengan leluasa mengembangkan hidup beriman mereka. Persekusi demi persekusi harus mereka hadapi. Tidak ada jalan selain melaksanakan kehidupan agamanya secara sembunyi-sembunyi; bahkan “mendua”.

2. Gejala Sosial II: Pihak Pemerintah Jepang Setempat

Gejala sosial dari pihak Pemerintah Jepang timbul ketika Pemerintah Jepang, secara khusus shogun Inoue, menunjukkan budaya superoritas Jepang dalam mempolitisasi agama[6]. Dengan asumsi bahwa agama Pemerintah Jepang saat itu (Shinto-Buddhist) lebih resmi dan berguna daripada agama Katolik yang dianggap sekadar candu yang memperpanjang penderitaan rakyat marginal, jajaran aparat Inoue memaksa dan menyiksa orang kristiani di Jepang untuk murtad (menginjak fumie/ornamen suci kekristenan)[7], membiarkan diri tertanami, dan menghidupi doktrin inkulturatif agama Buddhist Jepang bahwa yang tertinggi bukanlah Tuhan agama Katolik (Deus), melainkan Yang Tertinggi (Dainichi) dalam Buddhisme[8].

Konteksnya adalah setelah kristenitas mengalami masa kesukesan inkulturasi agamanya ke dalam budaya Jepang demi mendapat pengaruh dan massa yang besar (pembangunan seminari-seminari, gereja-gereja, dan sebagainya)[9], Pemerintah Jepang dengan cerdik merevitalisasi balik doktrin agama Katolik dalam perspektif agama resmi Pemerintah Jepang[10]. Tujuannya bukan untuk agama itu sendiri, melainkan demi mendapat pengaruh politik kembali dari masyarakat agar tidak terpolarisasi oleh persaingan kubu kristenitas dengan Pemerintah Jepang.

Strategi yang paling jitu adalah memurtadkan tokoh sentral yang menjadi panutan masyarakat Katolik Jepang, yaitu Fereira dan Sebastian Rodrigues.[11] Seperti halnya sebuah strategi perang, ketika pemimpin terkalahkan, para pengikutnya pun akan terpolarisasi dan kebingungan kembali mencari arah hidup. Pada titik inilah, pemerintah Jepang begitu mudah memberi tawaran menggiurkan bahwa mereka akan menjamin hidup masyarakat yang terpolarisasi tersebut.

Gejala sosial yang kedua ini dilandasi oleh konteks keagamaan lokal Jepang yang hendak dipertahankan kekuatan politisnya. Keagaman lokal saat itu, yaitu Shinto-Buddhist, mendapat pesaing dari kekristenan yang dibawa oleh para misionaris yang sudah ada lebih lama sebelum kehadiran Pater Fereira dan Pater Sebastian Rodrigues.

Di bawah tampuk kepemimpinan Superior Misi Jesuit di Jepang, yaitu Pater Alessandro Valignano, kekristenan sempat mengalami kedigdayaan pengaruh di beberapa wilayah Pemerintahan shogun Yoshishige Otomo, Ukon Takayama, dan lainnya. Kekuatan massa pengikut Katolik yang terbentuk berjumlah sekitar 300.000 orang meski masih menjadi agama minoritas.

Oleh karena pengaruh beberapa imam Jesuit, kekristenan bersitegang dengan keagamaan lokal Jepang di mana beberapa kuil Shinto-Buddhist dan ornamen sucinya dihancurkan oleh orang-orang Katolik di Jepang[12]. Hal tersebut kemudian menimbulkan reaksi keras dari shogun Toyotomi Hideyoshi (1587) dan Tokugawa Ieyasu (1603). Hal itu dilanjutkan oleh shogun Inoue yang menjadi musuh paling cerdik dan paling berat yang dihadapi kekristenan Jepang[13].

BACA JUGA: Pedoman Sederhana Menikmati Surabaya ala Silampukau

Alhasil, kekristenan di Jepang mulai mendapat perlakuan persekusi (1639-1858). Penyiksaan mulai dari disalibkan terbalik dengan kepala tenggelam di dalam air pasang laut, dipenjara dan dibiarkan mati kelaparan, hingga digantung terbalik dan dilukai bagian belakang telinganya agar darah mengucur deras untuk memperpanjang penderitaan. Tujuannya adalah satu, yaitu memurtadkan orang-orang Kristen Jepang agar kembali memeluk agama Shinto-Buddhism yang dianggap sebagai satu-satunya agama resmi Jepang.

Baru di awal periode 1614-1640, sudah sekitar 5.000-6.000 yang terbunuh di bawah persekusi Jepang. Kedigdayaan kekristenan berubah drastis menjadi Kakure Kirishitan: kekristenan yang Bersembunyi[14].

Dampak dari tegangan kedua gejala sosial di atas adalah para Kakure Kirishitan harus hidup “mendua”. Secara sosial, mereka mengaku sebagai seorang Shinto-Buddhist. Namun, secara personal, mereka tetap mengimani sebagai seorang Katolik.

Secara sosiologis, mereka dipaksa untuk murtad dengan menginjak fumie (lambang ornamen suci kekristenan) di hadapan pejabat pemerintah lokal dan mengaku ‘saya murtad’. Hanya dengan menjalani cara hidup “mendua” inilah mereka dapat merasakan keselamatan konkret — lepas dari tekanan politik pemerintah lokal Jepang.

Kebertahanan sikap hidup tersebut, diperkuat dengan pemahaman devosional mereka akan Bunda Maria sebagai figur keibuan yang lembut memandang, mengampuni, dan mencintai anak-anaknya. Hal tersebut berbeda dengan pemahaman mereka akan Yesus, yang dianggap sebagai Tuhan yang Superior (A Judgemental God)[15], yang diimani dengan kepatuhan bercampur ketakutan.

Kemudian pemahaman itu dikonkretkan dalam proyeksi mereka memandang para imam Jesuit (Fereira dan Sebastian Rodrigues) sebagai komandan, pemimpin, dan gembala yang ditaati sekaligus disegani sebagai tanda penghormatan mereka. Ini terlihat dari pergulatan batin Kijichiro yang berulang kali mengkhianati dan berbalik memohon belas kasih dari Sebastian Rodrigues karena takut bila dibenci dan tidak mendapat berkat darinya[16].

Di dalam novel Silence, “ke-mendua-an” pada pergulatan Sebastian Rodrigues dan Fereira menjadi sebuah representasi kuat pergulatan seseorang yang mempertanyakan “ke-mendua-an” secara fungsional manifestasi peran agama Katolik yang dianggap menjamin keselamatan, namun nyatanya tersiksa dan terkalahkan oleh tekanan politik yang begitu keras di dunia nyata. Pergulatan batin dan fisik oleh karena tekanan dan siksaan pemerintah lokal demi membuat mereka murtad akhirnya membuat kedua tokoh memilih masuk pada tahapan kelima, yaitu apostatizing type. Dapat dikritisi pula “ke-mendua-an” wajah pemerintah yang mempolitisasi agama legal pemerintah setempat demi melanggengkan kekuasaan dengan menunjukkan kekerasan dan persekusi di tengah ideal pemerintah yang menjamin kesejahteraan masyarakatnya.

C. Analisa Fungsional Agama Menurut John Milton Yinger (1916-2011)[17]

Bagaimana “ke-mendua-an” yang menjadi salah satu sudut pandang tema pokok novel Silence dapat dianalisis? Pada bagian ini, penullis akan memberi analisa dari perspektif sosiolog fungsionalis John Milton Yinger sekaligus kritik terhadapnya dari Betty Scarf.

Menurut Yinger, agama adalah sebuah sistem kepercayaan di mana praktiknya ditujukkan demi ‘menjawab’ permasalahan yang paling mendasar/hakiki dalam kehidupan. Agama berusaha menjawab apa yang tidak dapat dijawab oleh sistem atau ilmu lain. Tujuannya untuk memperoleh kekuatan yang mengatasi kekuatan di luarnya yang terus berusaha menjatuhkan agama, dan untuk membangun sikap tenang dan ketenangan di hadapan kejahatan dan penderitaan.

Makna ‘menjawab’ lebih dekat artinya bagaimana seseorang berusaha memaknai sesuatu yang hakiki seperti frustrasi, kesalahan, tragedi, penderitaan, kejahatan, hingga kematian. Dengan memaknainya, harapannya ialah timbul solusi-solusi yang memungkinkan untuk memecahkan masalah. Singkatnya, agama adalah sebuah usaha untuk menuntaskan (deal) masalah-masalah yang tidak dapat dituntaskan melalui beberapa cara atau makna yang berbeda.

Unsur paling khas dalam sebuah agama adalah adanya sebuah iman (creeds) yang tidak bisa sama sekali dijelaskan secara ilmiah-fungsional. Dengan begitu, agama tidak hanya secara personal-psikologis menjawab kebutuhan seseorang terhadap pemecahan masalah mendasar dalam kehidupan, melainkan juga menjadi sebuah fenomena sosial yang menurut Yinger memberikan fungsi solidaritas bagi anggota di dalamnya.

Alasannya adalah bahwa usaha-usaha dalam menjawab permasalahan yang paling mendasar (dalam bentuk doktrin atau praktik konstitutif) tidak melulu berdasarkan satu sudut pandang seseorang, tetapi berdasarkan apa yang telah disepakati oleh sekelompok anggota yang tergabung di dalam komunitas agama tersebut. Sebab, suatu permasalahan yang paling hakiki tidak hanya dialami atau digeluti oleh seseorang saja, tetapi oleh banyak orang pula. Mulai dari ketakutan, frustasi, ketidakpastian, dan lainnya yang mereka interpretasikan kembali dalam kesatuan pengalaman hidup bersama. Tujuannya adalah membentuk harmonisasi hidup yang satu, baik, dan sama sebagai komunitas sosial (social cohesion).

Dengan demikian, agama memiliki dua akar yang saling bertemu: akar personal dan akar kohesi sosial. Perjumpaan ini bagi Yinger bersifat dinamis. Kadang kala muncul konflik/friksi antara kesepakatan yang sudah ada di dalam agama sebagai kohesi sosial dengan kebutuhan psikologis tiap individu.

Kritik Betty Scarf pada Yinger

Menurut Scarf, fungsi kohesi sosial agama yang bernuansa solidaritas demi menjawab permasalahan hidup yang hakiki bersama tidak terpenuhi secara konsisten. Berpijak pada kedinamisan perjumpaan akar personal-psikologis dan sosial agama menurut Yinger, fungsi kohesi sosial agama masih mengalami ketidakkonsistenan akan apa yang diimani dengan praktik di luarnya.

Dalam kasus di dalam novel Silence, pengkhianatan Kijichiro menjadi tanda bahwa ia tidak sepakat dengan kohesi sosial para Kakure Kirishitan, terutama dengan kedua temannya yang mati menjadi martir demi memenuhi kebutuhan psikologis agar terhindarkan dari rasa sakit penderitaan dan ketakutan akan kematian. Bahkan pada bab terakhir novel, kemurtadan Sebastian Rodrigues di hadapan tekanan pemerintah setempat menunjukkan ketidakkonsistenan fungsi agama menurut Yinger.

Realita hakiki tentang penderitaan yang menuntut kebutuhan psikologis manusia untuk mencari rasa aman, mencari keselamatan, mencari aktualisasi diri agar benar-benar berguna secara positif membuatnya merasa agama kekristenan hanya mampu mewacanakan hal-hal yang hakiki tanpa sungguh-sungguh memberi jawaban solutif yang memenuhi kebutuhan psikologis orang. Menimbang pemikiran Marx pula, kekristenan dengan begitu dapat dikatakan hanya menjadi sebuah obat pain killer “yang membuat candu”[18] untuk menunda-nunda terselesainya penderitaan tanpa pernah mampu mengubah tekanan politisasi agama oleh tatanan sosial yang bernama pemerintah setempat Jepang.

Seperti yang diintroduksikan oleh Martin Scorsese dalam novel Silence, Endo menyasar diskursus tentang “mempertanyakan” diamnya Tuhan (agama Katolik) dihadapan penderitaan. Diamnya Tuhan dapat dimaknai sebagai momen meragukan kebenaran fungsi positif agama, kebenaran dampak positif sosialnya, sekaligus membuka pengungkapan kebutuhan psikologis terdalam manusia di hadapan agama.

Kisah akhir novel tersebut menyiratkan betapa “diamnya Tuhan” dekat sekali diasosiasikan dengan “ketidakberdayaan” fungsi agama Kakure Kirishitan yang hanya mampu mewacanakan penderitaan tanpa ada solusi yang paling jitu untuk menjawab kebutuhan psikologis manusia agar terhindarkan dari penderitaan. Doktrin keselamatan agama Katolik di hadapan realita konkret penderitaan lebih dominan diasosiasikan sebagai sebuah obat candu yang memperpanjang penderitaan.

BACA JUGA: Tengaraan; Menarasikan Isu Lingkungan Kalimantan dalam Tubuh Tari

Fungsi manifes agama Kakure Kirishitan termainfestasi dalam ketergantungan mereka akan sosok pemimpin, bahkan dalam sistem hirarkis sederhana di desa ketika terjadi “kekosongan” keberadaan imam misionaris di tengah masa-masa penderitaan. Manifestasi ini semakin menekan Sebastian Rodrigues untuk memilih pilihan sulit demi keselamatan para Kakure Kirishitan.

Secara positif, fungsi manifes agama tersebut sempat membentuk solidaritas di antara mereka sendiri dalam menghadapi permasalahan yang paling hakiki: penderitaan karena persekusi dan keterjaminan pasca kematian. Namun, seturut kritik Betty Scarf terhadap Yinger, fungsi manifes yang terbingkai dalam solidaritas para Kakure Kirishitan dapat diinterpretasi hanya bersifat seperti “obat pain killer” yang membuat candu dan yang hanya memperpanjang rasa sakit karena mengalami penderitaan.

Pergulatan antara kohesi/solidaritas sosial agama dengan kebutuhan psikologis akan rasa aman/keselamatan membuat manifestasi agama Kakure Kirishitan menjadi tidak konsisten. Penderitaan yang tak terubah akhirnya membuat agama hanya sekadar mewacanakan makna penderitaan tanpa menyajikan jawaban solutif konkret dalam mengatasi penderitaan. Kemurtadan Sebastian Rodrigues menyajikan tanda nyata kekalahan kaum Kakure Kirishitan yang marginal di hadapan kedigdayaan kaum Pemerintah Jepang.

Sedangkan, politisasi atas nama agama oleh Pemerintah Jepang di bawah shogun Inoue, memanifestasikan fungsi agama legal pemerintah sebagai “superior” yang menekan minoritas yang dianggap sebagai pemecah kekuatan politis mereka. Mereka membuat keyakinan bahwa agama Kakure Kirishitan sebagai sebuah kesia-siaan dan tidak berakar mendalam di kehidupan lokal Jepang[19].

Fungsi tersebut terwujud dalam norma perilaku “kekerasan, persekusi” pada minoritas demi mendapat kembali “suara” rakyat. Fungsi solidaritas atau kohesi sosial pemerintah setempat terwujud dalam usaha mendapat kekuatan bersama untuk mempersekusi & mempolarisasi kekuatan Kakure Kirishitan dengan mengincar titik paling krusial: menyerang ketergantungan para Kakure Kirishitan terhadap pemimpin atau imam sebagai “proyeksi” ketergantungan mereka akan Dainichi tunggal.

Pertanyaan kritis: sungguh sejatikah kohesi sosial agama legal pemerintah yang telah dipolitisasi? Kesejatiannya justru terlihat dominan karena legalisasi pemerintah. Ketika agama disetir oleh politik pemerintah, risiko konfliktual dan kekerasan termanifestasi lebih dominan. Persaingan kekuatan politis menjadi fokus utama dalam legalitas agama Pemerintahan Jepang.

D. Kesimpulan: Open-Ended (Akhir Yang Terbuka)

Bila memikirkan apa yang membuat novel Silence begitu memesona dan menjadi salah satu karya yang punya nama besar di dunia literasi internasional, Emi Hasegawa memberikan penjelasan bahwa karya Silence menjadi begitu mempesona justru karena memunculkan “ke-mendua-an” wajah kekristenan Jepang yang direpresentasikan oleh Sebastian Rodrigues dalam kemurtadannya. Mengkonfirmasi apa yang telah diungkapkan Emi Hasegawa bahwa akhir novel Silence bersifat open-ended, yang senantiasa memberikan keterbukaan interpretasi bagi pembaca, maka di akhir tulisan ini, disimpulkan bahwa novel Silence secara sosiologis-agama menyajikan ke-mendua-an sifat manifestasi fungsi agama Kakure Kirishitan maupun agama legal pemerintah yang disetir untuk melakukan politisasi diskriminatif.

Sungguhkah agama memang memberikan kohesi sosial positif demi menjawab kebutuhan-kebutuhan paling hakiki manusia ataukah justru menjadi sumber konflik ketika unsur politis begitu mendominasi agama? Jawabannya adalah kedua-duanya sangat dimungkinkan terjadi. Apa yang bagi Kakure Kirishitan itu buruk, belum tentu bagi politisasi agama legal Pemerintah Jepang dalam novel Silence itu buruk.

Mengisahkan kembali novel Silence dengan kaca mata sosiologis ternyata membuka perspektif yang terbuka-netral bahwa secara sosiologis, agama sangat mungkin “mendua” sifat ketika kompleksitas unsur mulai merasuki agama itu sendiri. Politik kepentingan menjadi salah satu unsur sosiologis yang sangat mempengaruhi sifat manifestasi agama apakah positif ataukah negatif. Semuanya bersifat opened-ending, bahkan tak jarang membawa ambiguitas yang dinamis dalam mempersepsi terus menerus makna dan fungsi agama.

E. Tawaran Refleksi

Untuk menutup tulisan ini, penulis akan mengakhirinya dengan sebuah penutup yang bersifat open-ended seperti akhir dari kisah novel Silence. Sungguhkah agama memang memberikan kohesi sosial positif demi menjawab kebutuhan-kebutuhan manusia? Ataukah justru menjadi sumber konflik ketika unsur politis begitu mendominasi agama? Dari kedua tegangan tersebut, manakah yang lebih dominan terjadi? Mengapa? Selamat berefleksi.


[1] ‘Hidden Christian’, Kekristenan yang Bersembunyi (Jpn)

[2] Emi Mase-Hasegawa, Christ in Japanese Culture: Theological Themes in Shusaku Endo’s Literary Works, (London: Brill, 2008), 76-81

[3] Hasegawa, Christ in Japanese, 11

[4] Hasegawa, Christ in Japanese, 84-86

[5] Hasegawa, Christ in Japanese, 33

[6] Shusaku Endo, Silence, (London: Picador Classic, 2015), 148

[7] Endo, Silence, 119; 178-179; 230-231

[8] Endo, Silence, 195; 200

[9] Endo, Silence, 115

[10] Endo, Silence, 117-119; 195

[11] Endo, Silence, 193-199; 230-231

[12] Hasegawa, Christ in Japanese, 11

[13] Hasegawa, Christ in Japanese, 22-25

[14] Endo, Silence, xi

[15] Hasegawa, Christ in Japanese, 67-68

[16] Endo, Silence, 154-155; 220-221

[17] Malcolm B. Hamilton, The Sociology of Religion: Theoretical and Comparative Perspective, (New York: Routledge, 1995), 116-119

[18] Ram & Sobari, Sosiologi, 307-308

[19] Endo, Silence, 193-199; 230-231


Daftar Pustaka:

Endo, Shusaku. Silence. London: Picador Classic, 2015.

Hamilton, Malcolm B.. The Sociology of Religion: Theoretical and Comparative Perspective. New York: Routledge, 1995.

Mase-Hasegawa, Emi. Christ in Japanese Culture: Theological Themes in Shusaku Endo’s Literary Works. London: Brill, 2008.

Ram, Aminuddin & Sobari, Tita (penj.). Sosiologi Edisi ke-6. Diterjemahkan dari “Sociology” karangan Paul B. Hurton & Chester L. Hunt. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1991.

 

Editor: Endy Langobelen

 

2 comments
  1. Wah, aku baru tahu bacaanku benar2 berat.
    Endingnya bikin aku nyari2 ulasan bagus kayak gini.
    Terima kasih atas tulisannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts