Pedoman Sederhana Menikmati Surabaya ala Silampukau

Silampukau Surabaya

Sebagai manusia, hidup di negara yang cukup naif menjadikan kita kerap kali melihat apa yang ingin kita lihat, bukan apa yang sebenarnya terlihat. Tidak salah memang, namun mungkin sesekali kita perlu melihat dan mengatakan apa yang terlihat.

Bahwasanya Kota Surabaya tidak hanya berisi taman yang indah, upah minimal regional yang tinggi, dan keteraturan kota yang banyak disandingkan dengan negeri seribu satu larangan (Singapura). Namun, seperti judul album duet gitar bolong ini, Surabaya juga bercerita tentang kota, dosa, dan kenangan.

Mentari tinggal terik bara tanpa janji. Kota tumbuh, kian asing kian tak peduli, dan kita tersisih di dunia yang ngeri dan tak terpahami ini.

Belum-belum kita sudah dibawa kaget dengan kenyataan kehidupan dewasa. Surabaya dengan Taman Bungkul dan sederet prestasi wali kotanya tidak mampu membuat warganya lupa akan pahitnya hidup dewasa. Revitalisasi taman juga ternyata dibarengi dengan pembangunan gedung pencakar langit yang ternyata mengalienasi warganya dari kotanya sendiri.

Jika memang kenyataannya Surabaya tidak seindah pemberitaan media mainstream, Silampukau mengajak kita untuk meregangkan otot sejenak di daerah prostitusi yang konon terbesar di Asia Tenggara. Gang Dolly mungkin menjadi tempat yang cukup tepat menikmati Surabaya dari sudut pandang yang berbeda.

Dolly suaka bagi hati yang terluka, di mana cinta tak musti merana dan banyak biaya.”

Eki dan Kharis agaknya paham sekali tentang dilema manusia dewasa ini. Mau halal atau haram, manusia hanya butuh cinta. Namun, patut disayangkan pada peluncuran album tahun 2015, Dolly sedang dirundung isu ditutup oleh wali kota. Oh wali kota, bagaimana bisa beliau menciptakan suatu keindahan, dan pada waktu yang sama, juga menghilangkan keindahan yang lainnya?

Selanjutnya lagu berjudul “Puan Kelana”. Pada lagu ini, Silampukau berusaha menahan rasa kekecewaan kita akan Surabaya. Romantisme kisah percintaan yang menceritakan sang puan berkeinginan pergi ke Champs-Élysées (sebuah jalan di Paris yang dikenal sebagai jalan terindah di dunia). Sang lelaki berusaha keras menahan kepergian si puan ke kota romantis itu, “Ah kau puan kelana, mengapa mesti kesana? Jauh-jauh puan kembara, sedang dunia punya luka yang sama.

Sungguh ternyata Surabaya tidak sendiri. Luka kota ada dimana-mana, Surabaya hanya salah satunya. Menunda keengganan kita untuk pergi ke Surabaya.

Kembali Silampukau membawa kita pada kenyataan dunia perkotaan, di mana ruang-ruang publik kini diprivatisasi. Ruang yang dahulunya bisa dipakai semua manusia, kini penggunaanya hanya menjadi hak beberapa orang yang mengantongi sertifikat kepemilikan dan beberapa surat pendukung legalisasi lainnya.

Memang kami tak paham soal akta, sertifikat tanah dan omong kosong lainya. Kami hanya ingin main bola, sonder digugat sonder didakwa.”

Begitu Silampukau membuat kritik ini menjadi lebih tegas namun tetap “nyilampukau” yang sarkas. Tepat sasaran namun tetap lucu.

Baca juga: Sulit Move On dari Jogja itu Nyata dan ini Alasannya

Bergeser dari rebutan fungsi lahan di perkotaan, sekarang Silampukau mengajak kita menikmati Surabaya ala rakyat. Taman Remaja Surabaya, yang nasibnya tak jauh beda dari Dolly kini ditutup Pemerintah Kota Surabaya. Namun, Silampukau dengan luwes nan apik menyeret kita kembali ke beberapa tahun lalu saat Taman ini masih dibuka.

Lowong antrian. Muda-mudi bersembunyi di remang-remang. Awas ya, itu tangan,” menceritakan kembali keadaan bagaimana anak muda Surabaya menghabiskan waktu akhir pekan mereka. Namun, Silampukau tetaplah Silampukau — begitu menghadirkan realita dalam kesederhanaan. Begitu sederhana sesederhana judul lagunya. “Bianglala”.

Oh Surabaya ternyata tidak hanya berisi tentang arek-arek Surabaya yang berasal dari kota ini saja. Bicara Surabaya juga berbicara tentang para perantau dari kota lain yang persoalannya tak jauh beda seperti perantau di ibu kota. Surabaya juga menawarkan sejuta harapan tentang kemapanan kota metropolitan, dan Silampukau merangkum permasalahan perantau di Surabaya ini dalam lagu berjudul “Lagu Rantau (Sambat Omah)”.

“Tujuh tahun berlalu (kota menghisapku habis), impianku tersapu (duitku makin tipis), di Surabaya: gagal jadi kaya.

Penggalan lirik “Lagu Rantau” yang dinyanyikan mereka berdua menghadirkan realita Surabaya dari sudut pandang perantau yang tak jauh beda seperti Jakarta.

“Doa 1” dimulai dengan dentingan piano. Lalu disambung dengan suara berat Eki yang suasana lagunya berbeda jauh dengan lagu sebelumnya, “Lagu Rantau”. Dalam lagu ini, kita diajak untuk mengenal lika-liku musisi independen dalam menghidupi cita-citanya, bahkan semenjak masa perkuliahan. Menceritakan bagaimana seorang musisi lahir bukan dari ruang hampa. Si aku dalam lagu ini bahkan diceritakan meninggalkan perkuliahan dan nekat melakukan rekaman dengan uang yang pas-pasan. Tidak menceritakan tentang Surabaya, namun mungkin kita semua pernah melakukannya.

Tidak hanya itu, cerita napak tilas musisi independen diwarnai juga dengan kritik ke Televisi.

Duh Gusti, kini ‘ku mulai lelah jadi musisi. Jiwaku remuk terteror televisi. Aku cemas, Gusti, suatu nanti, aku berubah murahan seperti Ahmad…

Dengan penggalan lirik ini, anda akan kembali tersadar bahwa kita masih membicarakan Silampukau.

Kembali membicarakan Surabaya, Silampukau lagi-lagi menghadirkan realita kehidupan di Surabaya. Kali ini, mereka menceritakan bagaimana Surabaya menutup hari, “Maghrib mengambang lirih dan terabaikan, Tuhan kalah di riuh jalan. Orkes jahanam mesin dan umpatan, malam jatuh di Surabaya.

Tak banyak lirik tertuang dalam lagu ini, namun musik dan suasana yang diciptakan mereka berdua cukup menggambarkan cara tutup hari Surabaya tak begitu indah, dan lagi-lagi mungkin keluar dari ekspektasi kita saat membaca judul lagu ini. Silampukau kembali berhasil menghadirkan realita yang apa adanya dan memang tak indah-indah amat. Berbeda dengan bagaimana cara Kla Project menceritakan Yogyakarta.

Jika anda yang berada di Jogja berduka atas tutupnya Warung Hijau di Jakal bawah, maka kuyakin kondisi ginjal kita tak jauh berbeda dan cukrik minuman asli Surabaya tak lagi asing buat kita. Dalam lagu “Sang Juragan” ini, kita kembali dibawa Silampukau mengenali realita dan lika-liku pedagang minuman keras di Kota Surabaya. Kita diceritakan bagaimana pedagang minuman keras Surabaya menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan bisnisnya. Tak seperti keluarga Don Corleone (The Godfather) yang menguasai aparat dan kekuatan politik, pedangang miras di Surabaya berkali-kali harus jatuh bangun jika ada razia.

Sekali waktu datang mereka yang berseragam. Turun dari mobil, pasang tampang sok seram. Sedikit bangkrut setiap mereka datang, yang penting bisnis aman.”

Oh Sang Juragan, bertahanlah!

Sudah sampai penghujung album, Silampukau menutup album mereka dengan lagu yang musiknya diisi dengan petikan gitar. Lagu “Aku Duduk Menanti” yang bercerita tentang entah pesimisme entah kelelahan dalam menjalani kehidupan dituangkan ke dalam lirik yang tak panjang bahkan lebih mirip puisi singkat dalam buku kumpulan puisi. Pada lagu ini, Silampukau seakan mengajak kita merenungkan lagu-lagu sebelumnya dan bagaimana kita menyikapinya.

Hanya menanti, tak bergegas mencari, hanya bersedih, dalam sunyi. Duduk menanti dalam letih mimpi.

Penutup yang bisa menjadi bahan kontemplasi diri, sekaligus mengakhiri pedoman singkat menikmati Surabaya ala Silampukau.

 

Editor: Endy Langobelen

Ilustrasi: Juan Anthony

2 comments
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts