Rajah milik Bapak, Jadi Katarsis “Living Qur’an” Umar Faruq

Lewat seni lukis, Umar Faruq mengangkat kembali bahasa visual dengan citraan artistik yang bukan sekadar tulisan rajah dalam kertas bergaris, tapi juga karya seni rupa yang indah.


Barangkali kalau boleh dikata, tidak banyak seniman muda yang kemudian menjadikan kaligrafi (huruf arab) sebagai basis berkarya. Delapan karya terhampar dalam pameran Living Qur’an di Galeri R.J. Katamsi, Sewon, Bantul, Yogyakarta pada 11–14 Januari 2022. Waktu yang sangat singkat. Ini memang jadi ajang pertanggungjawaban si perupa untuk menuntaskan pendidikan seninya. Tentu akan selesai jika dikerjakan, tapi karya tak akan pernah selesai. 

Perupa asal Purworejo, Umar Faruq menyodorkan karya kaligrafi islam sebagai gagasan berkaryanya. Kota tempat kelahirannya itu memang cukup terkenal keberadaannya dengan banyak pesantren. Al-Qur’an dipilih jadi ihwal fundamental, sebagai model seni rupa. Al-Qur’an juga menjadi kaligrafi seni budaya islam dalam setiap cabang produksi atau media artistik, dalam tiap jenis benda seni apapun, termasuk seni rupa garapan Umar Faruq ini.

Barangkali katakanlah sebagai seni tulisan, kaligrafi paling luas tersebar, paling penting, paling luas dinikmati, dan paling dihargai oleh kaum Muslim khususnya. Menilik ke belakang, tulisan sendiri telah digunakan ribuan tahun sebelum era Islam oleh orang-orang Mesopotamia sebagai komponen seni rupa. Mereka banyak ditemukan dalam relief dan patung artistik bangsa Sumeria, Babilonia, juga Asyirin.

Fungsi tulisan pra-islam pada masanya ada pada tataran diskursif. Oleh karenanya, tulisan sebagai pelengkap logis menjelaskan representasi visual yang hadir, yang kemudian menyebar ke Bizantium. Sedang di zaman Islam, tulisan dan kaligrafi mengalami metamorfosis dari sekadar simbol diskursif menjadi bahan estetis dan sepenuhnya ikonografis, baca Cultural Atlas of Islam

Bicara tulisan kaligrafi islam, di saat yang sama saya membayangkan pula, bila kita menyimak sejarah masa keemasan seni budaya islam. Katakanlah di zaman Andalusia dengan Masjid Cordoba-nya, atau hasil karya seni rupa dan arsitektur gigantik Hagia Sophia yang bukan saja memiliki akulturasi kuat atas budaya dan religiusitas, tapi juga saksi atas peristiwa sejarah panjang perjuangan peradaban umat Muslim. Ada pula Ka’bah dengan kiswah emasnya pada pintu yang berukir ayat-ayat suci Al-Qur’an, maka seharusnya pilihan Umar pada karya-karyanya ini pun juga intim, setidaknya baginya. 

Persembahan Untuk Muhammad karya Umar Faruq (dok. Karen Hardini)

Antara Warisan Rajah dan Seni Lukis Umar

“…sebagai kitab pedoman umat Muslim, maka Al-Qu’ran yang hidup, membumi, dan telah jadi pola hidup, juga masuk pada porsi kultural yang hidup pada lapisan masyarakat, jadi pusat kehadiran karyaku ini, tandasnya. 

Tema pameran ini memang sangat dekat dengan Umar. Ia mengaku tak kurang dari 6 tahun ia berada di pondok pesantren, dan ayahnya seorang Kyai di lingkungan tempat tinggalnya. Pengakuan ini agaknya menjadi jawaban kilat atas dasar karya-karya yang digarapnya ini. Tentu pengaruh kehidupan santri dan kebudayaan Jawa sudah melekat.

Umar menampilkan delapan karyanya dengan ukuran yang tak ajeg. Kemudian tanah dan cat diolah jadi material pada dapur proses berkaryanya. Oleh karenanya, bagaimana logika bentuk rajah hasil observasi arsip orang tuanya itu berusaha dieksplorasi dan disampaikan kembali ke publik lewat bahasa seni lukis. Kaligrafi islam hadir sebagai kata yang dihidupkan dan divisualisasikan.

Ia mengaku seorang santri yang kemudian konsen pada tafsir Qur’an jadi pilihannya. Singkatnya kedekatannya terhadap Al-Qur’an sebagai gagasan utama dan rajah temuannya dari orang tuanya itu sekaligus menjadi modal yang mendasar. Bicara rajah, maka bicara seni tulis, religiusitas, kebudayaan, juga lebih jauh lagi primitif.

Rajah yang ingin disampaikan Umar bukan praktik memasukkan tinta pada kulit lewat jarum, tapi ialah tulisan arab yang berpola dan memiliki kepercayaan yang dibawa memiliknya, juga punya jejak sejarah panjang-warisan leluhur. 

Bapak, kyai ndeso duwe okeh arsip rajah seko turunan simbah,” ucapnya.

Ada tiga buku isi rajah tulisan tangan, dua buku hijau dan satu sampul merah. Warna hijau berada jadi mantra islam untuk tameng badan, dan kekebalan fisik. Nah, kalo sampul merah isinya rajah dengan doa-doa yang diyakini untuk melindungi dan menyembuhkan sakit hingga enteng jodoh,” selorohnya kembali. 

Huruf arab acak dalam beberapa lukisannya sebagai konsep repetisi bentuk dan makna, juga resepsi atas huruf Al-Quran yang diekplorasi lewat rajah. Baginya huruf yang berulang diamininya sebagai konsep dzikir. 

Seperti pada rajah untuk pengobatan yang tertulis “bismillahirahmanirahim” yang konon jika diterapkan pada pasien kata tersebut ditulis terputus pada tiap hurufnya dan pada praktik sesungguhnya ditulis menggunakan minyak khusus di bagian punggung. Umar kemudian memilih kasus tersebut menjadi transformasi bentuk, bermain dengan posisi. Padanya citraan yang lebih liar ia lukiskan kembali huruf arabic tersebut tak berurut—acak macam kolase, tapi ini tulisan. Baginya ini eksplorasi atas seniman Made Wiyanta sebagai dasar spontanitas dengan huruf arab. 

Pada karya Persembahan Untuk Muhammad, 120 x 140 cm, ia dekatkan pada hari besar Maulid Nabi dengan segala seremonialnya seperti pertunjukan terbangan dengan alat tabuh bedug sebagai identitas muslim jawa nusantara khususnya. Begitu juga dengan karya Allah Yang Maha Esa berukuran 70 x 70 cm. Umar secara begitu saja menuliskan kalimat “KETUHANAN YANG MAHA ESA”, berbeda dengan karya lainnya. Disadari juga sebagaimana arti kaligrafi sebagai tulisan yang indah, umar menyodorkan satu lukisan dengan penggunaan huruf kapital, sederhana saja, ya memang kaligrafi bukan hanya untuk huruf-huruf arabic saja atau jawa sekalipun, praktiknya luas. Baginya karya berukuran persegi itu lahir dari produk kebudayaan yang dibentuk dari konsep tahlilan (doa) yang berasal dari kalimat awal surat yakni Qul Huwallahu Ahad, esensinya adalah Ahad, Satu, atau Esa. Allah yang satu, yang kemudian terproduksi juga dalam ideologi Pancasila kita pada urutan pertama.

Rumongso karya Umar Faruq (dok. Karen Hardini)

Meski sama-sama dengan tampilan kaligrafi islam, namun rasanya ada rentang yang dekat dan jauh pada tampilan visual yang digarap. Pada karya Rumongso berukuran 140 x 200 cm, menjadi satu-satunya karya yang berbeda dengan ketujuh karyanya yang lain. Dugaan pertama adalah rentang penggarapan Umar yang jauh dan kemudian kembali berdekatan alias produktif, dugaan kedua ia masih dalam kungkungan bayang-bayang seniman kaligrafi Islam panutannya. 

Sempat di tengah obrolan kami, Ia mengaku begitu saja memang terpengaruh atas karya-karya dari pelukis A.D. Pirous dan Ahmad Sadali. Keduanya memang pelukis yang terkenal dengan seni kaligrafi islam dan budaya ketimuran. Meski demikian, toh bukan soal karyanya yang terlalu Sadali atau Pirous, jika memang iya, satu karya tersebut dapat pula jadi gambaran penanda awal jejak kreatifnya, sebelum ketujuh karya berikutnya ia rampungkan dengan lebih ekploratif atas rajah pilihannya sebagai gagasan.

Ketujuh karyanya pun punya pola kemiripan, barangkali memang ia telah menemukan formula sendiri, sehingga tujuh karya rampung sekaligus pada tahun 2021 dengan usaha sentuhan citraan yang lebih kontemporer baginya. Namun jika berbicara kaligrafi dan rajah, barangkali pelukis rajah seperti Hajar Pamadhi perlu jadi referensi yang saya kira seharusnya lebih dekat dengan visualisasi Umar. Lebih lanjut bila ada citraan seni kontemporer dalam karyanya, maka itu karena ia juga turut menjadikan Made Wianta menjadi perupa selanjutnya yang jadi panutan dalam pengkaryaannya.   

Dari semua itu, diakui Umar, memang selain dunia santri dan seni rupa yang dekat dengannya, juga sekaligus temuan rajah dalam huruf arabik diamini sebagai bentuk kepercayaan. Lewat rajah pula ia ingin berbicara lebih luas tentang kisah-kisah atas makna di dalamnya, sekaligus membuka kembali penanda jejak nenek moyangnya atas arsip bersejarah yang katanya sebagai benda yang diturunkan, dan kemudian dipercaya baik. Lewat seni lukis, ia angkat kembali bahasa visual dengan citraan artistik yang kembali ia percayai bukan sekadar tulisan rajah dalam kertas bergaris, tapi juga karya seni rupa yang indah. 

 

Editor: Arlingga Hari Nugroho
Koleksi foto: Karen Hardini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Sebuah Komentar terhadap "Membela Sains dari Obskurantisme Filsafat" karya Hamid Basyaib

Next Article

Piyungan: Sesuatu yang Berpusar dari Tepian [Trailer]

Related Posts