Izinkan aku, untuk terakhir kalinya, semalam saja bersamamu, mengenang asmara kita.
Tahun lalu, nukilan lagu tersebut akrab kita temui di instastory sejawat yang diambil dalam sebuah acara musik, bar, atau karaoke. Lagu yang dinyanyikan Reza Artamevia itu mendadak terdengar di mana-mana.
“Berharap Tak Berpisah” diciptakan oleh Denny Chasmala dan dirilis tahun 2002. Kualitas lagu ini tidak perlu diragukan. Notasinya berhasil mengeksplor kemampuan vokal Reza Artamevia dengan optimal. Lagu ini pernah dinyanyikan ulang oleh Delia Septiani, eks vokalis Ecoutez dan Shanty dengan versi yang lebih disko.
Meskipun begitu, melejitnya lagu ini disebabkan juga oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah dokumentasi yang baik. Lagu ini relatif mudah dicari di internet. Tentu saja karena usia lagu ini yang memang terbilang muda.
Namun, tak semua lagu memiliki kesempatan diakses generasi kiwari. Masih banyak lagu dari dasawarsa sebelumnya yang patut disimak hari ini. Selain karena apik secara kualitas, di dalamnya juga tersimpan sejarah musik populer Indonesia.
Yayasan Irama Nusantara mencoba hadir dalam masalah tersebut. Yayasan ini berupaya mengarsipkan musik populer Indonesia beserta data-data pendukungnya, misal majalah atau poster.
Mereka memulai pengarsipan pada musik populer abad ke-20. Industri musik populer Indonesia sendiri ditengarai menggeliat sejak tahun 1970. Awalnya, mereka fokus untuk mengarsipkan rilisan tahun 1950 hingga 1970.
Meski demikian, saat ini koleksi musik tertua mereka dari tahun 1920 dan yang paling muda sekitar tahun 1980-an.
Proyek ini diprakarsai oleh enam orang: David Tarigan, Christoforus Priyonugroho, Toma Avianda, Alvin Yunanta, Norman Ilyas, dan Dian Wulandari sejak 2013. Sebenarnya, kegiatan ini pernah diinisiasi saat kuliah dulu.
Nuran Wibisono dalam tulisannya di Tirto.id mewawancarai David Tarigan si “Kamus Musik Berjalan” yang mengatakan proyek ini dimulai sejak 1998. Dulunya bernama Indonesia Jumawa.
Pengarsipan ini tidak sekadar mengkonversi musik analog dalam format digital, tetapi juga memindai sampul dan mentranskripsikan liner notes yang ada di sampul. Selain musik, majalah juga poster tidak lepas sebagai sebuah kesatuan pengarsipan. Semuanya dapat dilihat di www.iramanusantara.org.
Sampai dengan Maret 2020, Irama Nusantara telah mengarsipkan lebih dari 3.000 album dengan jumlah lagu mencapai 41.328 buah. Semua lagu dapat didengarkan secara utuh, tapi dengan resolusi rendah.
Lagu yang ada di laman tidak dapat diunduh. Hal ini dilakukan untuk melindungi karya dari pembajak dan upaya lain untuk mengkomersilkannya.
Irama Nusantara adalah yayasan nirlaba sehingga pendanaannya dilakukan secara mandiri atau dana kegiatan dari donatur. Beberapa kali mereka memang mendapatkan dana dari organisasi luar negeri atau dari kegiatan filantropi.
Pemerintah melalui Badan Ekonomi Kreatif juga beberapa kali mengadakan proyek bersama. Tentu saja itu semua tidak cukup. Perjalanan Irama Nusantara dalam upaya pengarsipan musik populer Indonesia masih sangat panjang.
“Alasan kami membuat ini adalah untuk membantu siapapun, dari pendengar kasual yang ingin joget-joget, orang tua yang ingin nostalgia, dan akademisi. Harapannya, akademisi juga lahir dari Indonesia. Sedangkan, yang selama ini datang kebanyakan dari luar negeri,” ujar David Tarigan dalam The Soleh Solihun Interview.
Dia menjelaskan, salah satu hambatan generasi sekarang dalam mendengarkan lagu zaman dahulu adalah karena albumnya tidak dirilis ulang. Dari sana, Irama Nusantara berharap juga bisa membuat master bermodalkan piringan hitam yang mereka digitalisasikan. Yang mana, secara teknis ternyata itu memungkinkan. Kompilasi Those Shocking Shaking Days juga berhasil dengan cara yang sama.
Dengan demikian, dalam hubungannya dengan ekonomi kreatif, karya tersebut masih dapat menghasilkan keuntungan bagi musisi dengan regulasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang memadai.
Dalam proses pengarsipannya, pertama-tama, mereka mendigitalisasi koleksi pribadi. Kemudian, bergerak ke lingkaran koleksi teman-teman mereka. Ternyata kendala datang karena jarang ditemukan kolektor yang memiliki semua genre musik. Padahal, sebagai pusat data tentu saja segala jenis musik diperlukan.
Bersama Bekraf, Irama Nusantara kemudian mengetok Radio Republik Indonesia (RRI) di banyak wilayah. Meski demikian, ternyata hasilnya tidak sepenuhnya memuaskan.
Pencarian mereka sampai ke pasar musik untuk menemui pedagang vinyl dan meminjam koleksinya. Untuk itu, mereka menyewa kios di sebelah lapak pedagang dan mengerjakannya di sana selama tiga bulan. Tak disangka, kegiatan itu ternyata membantu promosi dan mendongkrak harga vinyl.
Selama pencarian, kondisi vinyl tak selalu bersahabat. Di beberapa tempat, kondisinya mengenaskan dan tak dapat diselamatkan. Beberapa vinyl disimpan sembarangan karena dianggap sudah tidak berguna lagi. Padahal, setiap keping bisa saja melengkapi koleksi musik yang sudah ada.
Selama tujuh tahun berjalan, Irama Nusantara telah menjalankan banyak kegiatan untuk terus berusaha membangun jembatan pengetahuan antara masyarakat musik sekarang dengan sejarah musik populernya. Tentu ini di sisi lain dapat juga dimaknai sebagai usaha untuk menggali kepribadian bangsa.
Pada tahun 2016, Irama Nusantara dan Badan Ekonomi Kreatif menjalankan program untuk mendokumentasikan rilisan musik era 1920 hingga 1950. Jumlahnya ditaksir sekitar 1.500 rilisan. Seperti diceritakan di atas, upaya itu dilakukan dengan menyisir koleksi dari RRI di setiap daerah.
Kemudian, pada tahun 2018, Bekraf menggandeng Yayasan Irama Nusantara untuk memasarkan dangdut ke kancah internasional. Dengan tim riset dan data dari Irama Nusantara, muncullah hellodangdut.id. Situs ini memuat spektrum, sejarah, industri, berita terkini, dan informasi seputar musik dangdut. Yang jelas, siapkan speaker saat membuka situs ini, siapa tahu Anda terbawa berjoget.
Beberapa waktu lalu, Dian Sastrowardoyo bersama Diskoria juga pernah terlibat dalam aksi kampanye penggalangan dana untuk Irama Nusantara dengan merilis single “Serenata Jiwa Lara”. Lagu ini diciptakan juga bersama Laleilmannino. Proyek tersebut dicetak dalam piringan hitam 12” sebanyak 10 keping untuk dijual dan dilelang.
Melalui musik, perjalanan dan sejarah bangsa dapat dibentang. Nyatanya, belum semua kalangan menyadari maksud ini. Pekerjaan Irama Nusantara masih berjalan dengan ambisi mendokumentasikan seluruh arsip rilisan.
Nantinya dari data yang Irama Nusantara miliki akan muncul diskusi-diskusi menarik seputar musik Indonesia. Misalnya, bagaimana musisi di era Presiden Soekarno berusaha menciptakan lagu berciri nasionalisme, tetapi tetap tidak mampu menahan gempuran budaya barat yang masuk. Atau, bagaimana musik dangdut dapat menyuarakan suara hati orang yang’kalah’, tetapi tetap asyik untuk joget.
Sebenarnya tahun ini mereka berencana mengadakan pameran koleksi arsip, workshop pengarsipan, dan merilis buku seputar musik Indonesia. Semua cita-cita itu bisa jadi makin kabur. Menghadapi situasi pandemi ini, Irama Nusantara juga terhengit-hengit. Masalah finansial jelas jadi himpitan utama lembaga macam ini.
Bila tidak ada dukungan, kita tinggal menghitung bulan untuk mengucapkan selamat tinggal pada ribuan lagu yang ada di iramanusantara.org. Lalu kemana kita bisa pergi untuk berdansa-dansi sambil bernostalgi?
Kalian bisa terlibat dalam pelestarian rilisan musik populer Indonesia dengan berdonasi pada tautan berikut ini. https://kitabisa.com/campaign/bantuiramanusantara
Editor: Endy Langobelen