Pada sebuah sore yang terik di tengah-tengah latihan teater, aku pertama kali mendengar nama Sapardi Djoko Damono. Seorang guru, tanpa teks mendeklamasikan puisi Di Kebun Binatang dengan tepat, dan tentu saja teatrikal. Aku rasa semua yang ada di lingkaran itu terkesan.
Di Kebun Binatang Seorang wanita muda berdiri terpikat memandang ular yang melilit sebatang pohon sambil menjulur-julurkan lidahnya; katanya kepada suaminya, “Alangkah indahnya kulit ular itu untuk tas dan sepatu!” Lelaki muda itu seperti teringat sesuatu, cepat-cepat menarik lengan istrinya meninggalkan tempat terkutuk itu.
Gejolak usia belasanku berbangga diri ketika mendengar puisi tersebut pertama kali. Perasaan seolah-olah mengerti maknanya memenuhi rongga dadaku. Meskipun demikian, sembilan tahun setelah peristiwa hari itu ternyata aku tetap tidak mengerti apa sebenarnya maksud dari puisi tersebut. Pun, sebenarnya memang tidak perlu dicari dengan cara yang seperti itu juga.
Yang menarik, puisi itu berhasil memberikan gambar di kepala pembacanya, seperti puisi Pak Sapardi yang lain juga. Atau, memang seperti itu cara Pak Sapardi menulis puisi.
Puisi-puisi Pak Sapardi adalah selipan cerita pada perjalanan cinta banyak orang. Metafora di dalamnya begitu sederhana dan tenang. Membaca puisinya seperti melihat gerimis membelai beranda rumah di sore hari.
Aku Ingin Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Puisi Aku Ingin adalah langganan wording untuk undangan pernikahan. Pernah sekali waktu aku anggap itu mitos sampai suatu kali melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Sebuah puisi, mendarat bersama sebuah undangan pernikahan yang membahagiakan.
Tentu saja seiring berjalannya waktu, puisi tidak hanya bisa datang bersama undangan, tetapi juga bisa ditemui terpatri bersama pasta gigi di kamar mandi.
Entah siapa yang memulainya, setelah ini mungkin akan lebih banyak nukilan puisi Pak Sapardi menghiasi undangan pernikahan atau sekadar lewat di linimasa.
Aku hanya mengenal Pak Sapardi lewat tulisan-tulisannya. Sepanjangan ingatan yang bisa kutemukan, aku belum pernah bertatap wajah dengannya. Pun ternyata aku memang hanya bisa mengenal tulisan-tulisannya sekali lagi dan sekali lagi.
Setelah menciptakan banyak puisi yang indah, kini Sapardi Djoko Damono harus menghadap Sang Maha Pencipta.
Dalam banyak kesempatan seminarnya yang saya tonton via layar kaca, Pak Sapardi selalu punya jawaban yang sama saat ditanya, mana puisi kesukaannya? Dia akan menjawab, “Aku belum sempat membuatnya”. Sekarang aku tidak tahu apakah beliau sudah sempat membuatnya. Atau, dia adalah puisi itu sendiri.
Pada Suatu Hari Nanti, bait-bait puisinya tentu akan hidup di tengah-tengah kita hari ini dan ratusan tahun ke depan. Puisinya akan dibaca lebih banyak orang daripada hari ini. Siapa saja orang yang membaca puisinya akan merasakan diseberangkan gerimis.
Pada Suatu Hari Nanti Pada suatu hari nanti, jasadku tak akan ada lagi, tapi dalam bait-bait sajak ini, kau tak akan kurelakan sendiri. Pada suatu hari nanti, suaraku tak terdengar lagi, tapi di antara larik-larik sajak ini, kau akan tetap kusiasati, Pada suatu hari nanti, impianku pun tak dikenal lagi, namun di sela-sela huruf sajak ini, kau tak akan letih-letihnya kucari.
Selamat jalan Sapardi Djoko Damono, angin yang reda dan jam mengerdip akan mengantarkan kepergianmu. Pohon yang menunduk dan matahari di atas kita tak pernah menduga begitu kosong waktu menghirupnya.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Nurwahyunan/Bintang.com
Indeed 😊