Refleksi adalah proses mengulang secara ringkas, merasakannya, mempertanyakan apakah yang kupelajari dan kualami ini ada maknanya bagi hidupku?
Sepanjang sepuluh tahun belakang, khalayak sudah tak asing dengan kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia. Kasus mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama masih melekat di pikiran. Tahun 2017, Tribunnews.com juga memberitakan intoleransi di sekolah yang berada di kawasan Jakarta. Mereka menolak ketua OSIS yang berbeda agama. Lalu, banyak kasus pelarangan membangun tempat ibadah dan kegiatannya. Sejatinya, itu mencoreng intisari dari Pancasila sebagai pedoman hidup yang seharusnya mendarah daging di seluruh komunitas Indonesia ini.
Generasi muda adalah pihak yang dielu-elukan untuk “menjaga stabilitas” negara dengan pola pikir kritis dan tak terhasut oleh kepentingan lain. Mahasiswa dinilai punya peran strategis dalam memantau kinerja pemerintahan. Mahasiswa yang ikut dalam gerakan sosial harusnya memiliki etos nobleness oblige. Ini adalah kewajiban yang dimiliki oleh mahasiswa sebagai orang yang mendapatkan keistimewaan untuk berbuat sesuatu terhadap pihak lain yang tidak mendapatkan keistimewaan.
Adanya intoleransi yang marak terjadi merupakan representasi dari masyarakat Indonesia yang masih takut haknya terusik. Ini membahayakan karena sektarianisme menjadi dasar berpikir masyarakat untuk melestarikan apa yang dianggap kebenaran hakiki oleh individu atau komunitas garis keras. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sektarianisme berarti semangat membela suatu sekte atau mahzab, kepercayaan, atau pandangan agama yang berbeda dari pandangan agama yang lebih lazim diterima oleh para penganut agama tersebut.
Pendidikan seharusnya menjadi sistem untuk melatih kebebasan berpikir. Ini adalah langkah untuk mendewasakan cara berpikir dan bertingkah. Pendidikan jangan sampai mengekang atau menjajah suatu pikiran, tetapi justru memberi cabang bagi pola pikir manusia untuk bagaimana menyelesaikan permasalahan di depan mata.
Paulo Freire dalam “Pendidikan Kaum Tertindas” membagi dua tahap pendidikan sebagai pendidikan para humanis dan pembebas. Pertama, pendidikan harus membuka tirai dunia penindasan dan harus melaksanakan perubahan. Kedua, pendidikan bukan lagi hanya milik kaum tertindas tetapi menjadi milik semua umat manusia demi terwujudnya kebebasan yang langgeng.
Driyarkara sendiri juga mengatakan kalau tujuan pendidikan yakni untuk membantu orang muda berkembang menjadi manusia yang lebih penuh dan utuh. Pendapat Driyarkara juga menguatkan kalimat dalam bahasa Latin, “Mens Sana in Corpore Sano”. Artinya, dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Oleh sebab itu jangan sepelekan mata pelajaran Pendidikan Jasmani yang masih mendapat stigma sekadar hiburan atau main-main saja.
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), tujuan pendidikan Indonesia adalah mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya; “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab,” (2003, pasal 3).
Pendidikan di sekolah pasti menerapkan metode “pendidikan karakter” demi mewujudkan insan-insan muda yang berkarakter dan teguh bila dilepas ke masyarakat luas. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana proses penerapan metode tersebut bagi para siswa?
Paul Suparno, SJ, dalam buku “Bangsa yang Lalai” mengatakan, pendekatan holistik diperlukan untuk penerapan pendidikan karakter. Pendekatan holistik adalah pendekatan menyeluruh. Artinya, seluruh komunitas memiliki andil untuk pendidikan karakter jadi tidak dititikberatkan kepada peserta didik. Meskipun target utamanya memang peserta didik. Elemen yang mendukung pendeketan tersebut adalah peserta didik, guru, karyawan, bahkan sampai orang tua sekalipun yang tentunya lebih mengenal anak mereka. Semua elemen tersebut belajar bersama tanpa ada sekat karena ilmu dipelajari oleh siapa saja dan kapan saja. Kegiatan yang dapat dilakukan di lingkungan sekolah bisa seperti pelatihan organisasi, kesenian, lomba-lomba, dan refleksi. Pertanyaannya adalah apa itu refleksi dan apa kegunaannya? Apakah refleksi bisa menjadi sarana siswa untuk menjadi nasionalis?
Refleksi bisa kita anggap sebagai perenungan atas apa yang kita lakukan selama satu hari. Sebetulnya tidak terpatok pada satu hari melainkan pada kejadian yang dialami sejak lampau hingga saat ini, karena refleksi kurang lebih mirip berfilsafat; mencari pertanyaan. Kita mencari pertanyaan atau permasalahan yang ada dalam diri kita. Seperti tadi dikatakan, refleksi kurang lebih mirip filsafat yakni membawa kita pada pemahaman dan tindakan.
Refleksi adalah proses mengulang secara ringkas, merasakannya, mempertanyakan apakah yang kupelajari dan kualami ini ada maknanya bagi hidupku? Dari hal ini, hal yang diberi peran besar adalah hati karena hati yang bisa merasakan. Riyo Mursanto, SJ. mengatakan, pendagogi reflektif adalah penekanan pada proses, bukan pada angka. Selama ini kita selalu terpatok pada hasil akhir sehingga mencoreng makna dari proses yang ada dengan mengambil jalan pintas. Sebagai contoh kecil yakni menyontek karena tekanan orang tua yang mengharapkan nilai bagus, tetapi tak ada “rambu” untuk mendapatkan nilai dengan benar.
Itu adalah hal kecil, hal yang besar adalah intoleransi yang terjadi di masyarakat sendiri. Tidak adanya rasa untuk masuk ke dalam diri sendiri karena mungkin gengsi untuk bertanya, “Mengapa saya berbuat intoleransi? Bagaimana jika saya di posisi mereka? Sebenarnya apa makna Pancasila bagi diri saya?” Pertanyaan-pertanyaan yang mungkin sudah kita kenal dari zaman sekolah. Ketika hal itu benar ditanyakan terus pada diri sendiri kadang akan memunculkan antitesis atas jawaban yang kita yakini. Bahkan dapat jadi antitesis atas pedoman hidup yang diyakini bertahun-tahun. Sebuah kedewasaan berpikir dan bersikap akan muncul jika kedua opini ini hadir. Kedewasaan itu juga hadir ketika kita merefleksikan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di depan mata atau yang akan terjadi pada waktu berikutnya jika kita memilih salah satu opini tersebut. Atau bahkan mengambil “jalan ketiga” dengan kemungkinan lainnya yang akan datang.
Maka dari itu perlu proses refleksi dalam diri kita, entah lebih nyaman dengan menulis buku harian atau berpikir dalam-dalam sebelum tidur. Opsi lain bisa dengan mengendarai kendaraan kita agar lebih fokus refleksi karena seyogianya kita tidak akan mendapatkan hasil maksimal jika tidak melakukannya dengan rasa nyaman. Pun, kita tidak mesti mengikuti atau menjiplak cara-cara refleksi yang dilakukan oleh Santo Ignatius Loyola, pediri Serikat Jesus (SJ). Lalu penulis mengajak kita untuk refleksi: Apakah Pancasila itu adalah suatu kebutuhan, kewajiban atau kita hanyalah manusia yang berkedok Pancasila agar kita bisa nyaman tinggal di Indonesia tanpa terbebani oleh administrasi yang ruwet? Silakan menggunakan 5W+1H (What, When, Why, Who, Where, and How) dalam proses ini.
Editor: Agustinus Rangga Respati
Ilustrasi: freyatravelmagazine