Senar Pedhot

Ilustrasi: Juan Anthony

Gitar, biola, bass dan juga ketipung terlihat dibopong oleh empat orang pemuda asing. Mereka terlihat kaku menginjakkan kakinya, mungkin terpengaruh oleh nama desa itu, yaitu Desa Karangkaku yang pastinya tidak hanya dinamai asal begitu. Setiap warga melihat kedatangan mereka seperti batu kali yang punya kornea. Angin terlihat menyapa keempat rambut kasar mereka yang bervariasi. Ada yang berambut aerodinamis alias botak, meliuk-liuk seperti mi instan, ada yang seperti tirai tebal 3 cm, dan terakhir gabungan dari ketiganya.

Kedatangan mereka diprovokasi oleh Muklis, pemuda yatim piatu asli Karangkaku yang lima tahun tidak menampakkan diri karena pergi mengikuti para anak punk yang juga sempat mampir di desa itu. Banyak yang mengira dia jadi pedagang ikan sukses di kota, tapi ada juga yang menyangka dia sudah mati karena jatuh dari kereta saat mengamen.

Semua prasangka itu dia patahkan dengan kepulangannya, bahkan tidak sendiri juga tanpa tangan kosong karena ada alat musik dan juga karung yang diikat tali rapiah terselempang di bahu. Eksistensi yang mendobrak itu membuat warga memberi mereka sebuah gelar. Gelar yang didapat karena kebiasaan mereka mengganti senar, suara berkarat, dan masa depan yang terbelakang. Mereka disebut Senar Pedhot, Bahasa Jawa dari senar putus.

Warga di sana selalu menghindari mereka. Melihatnya pun sudah mampu membuat bulu di badan berkontraksi, apalagi menyapa bahkan memeluk. Seiring berjalannya waktu warga melunak, karena memang mereka orang baik dan musik yang mereka mainkan di pasar tiap Pahing memang membuat telinga tersenyum.

Walau sudah membaik warga tetap memasang pagar, terlebih ke anak mereka. Setiap anak kecil dibohongi bahwa mereka berempat adalah siluman dan dekat dengan mereka akan memberikan kutukan tidak naik kelas. Semua anak percaya dan berhamburan bagai laron ketika melihat Senar Pedhot, kecuali satu anak yang malah terkagum melihat mereka. Dia adalah Waidi.

“Kamu anaknya Pak Badrun ya?”

“Iya mas.”

“Muklis bro,” menjabat tangan Waidi.

“Waidi,” jawabnya lalu lanjut melamun melihat biola di tangan Muklis.

“Ini namanya biola, mainnya digesek. Kayak gini,” Muklis memainkan nada lagu Blink 182 berjudul I Miss You. Temannya yang lain lanjut mengiringi. Dengan jari lincahnya Muklis memimpin. Suaranya sukses membuat dada bergetar bersama dengan rasa yang ada.

Setiap bermain musik, semua tatapan pasti langsung tersudut ke arah mereka. Misalnya tidak, pasti akan menimbulkan senyum tipis dan goyangan jempol. Waidi merinding dan hormon kebahagiaan mengalir deras di darahnya meskipun dia tidak tahu apa-apa soal musik. Cuma dua jenis lagu yang Waidi tau, yaitu lagu nasionalis di sekolah dan lagu-lagu Jawa dari radio bapaknya yang cuma bikin ngantuk.

Senar Pedhot membawakan hal yang beda; gitar yang keras, bass yang menghantam, biola yang dinamis, dan ketipung yang menghentak membuat Waidi girang sendiri. Terlebih sosok biola yang lincah dan berbentuk seperti badan wanita di majalah bekas.

“Ini sekarang gantian kamu main,” Muklis memberikan biolanya kepada Waidi. Dengan tangan gemetar Waidi menerimanya.

“Makas…” ucapan Waidi terpotong karena langsung ditarik ibunya sehingga biola itu terjatuh.

“Ibu udah pernah bilang habis pulang sekolah langsung pulang cuci kaki! Malah main sama siluman!” Waidi dan ibunya pun pulang dalam keheningan. Hanya ada satu suara hening. Bukan dari biola maupun ketipung, melainkan teriakan hati Waidi. “Aku harus jago main biola!”

Waidi jadi mempunyai hobi baru, yaitu nongkrong di beskemnya Senar Pedhot yang dulu adalah rumah dari kedua orang tua Mukhlis. Walaupun harus menjadi bak ninja untuk masuk di sana supaya tidak disuruh pulang sama mamak.

Pernah sekali mamaknya masuk ke beskem karena tahu dari Pak Yanto Sayur. Beruntung Waidi langsung bersembunyi di dalam karung bekas daun singkong. Sejak saat itu Waidi jadi tidak menyapa Pak Yanto Sayur dan berhenti makan sayur. Selain Pak Yanto Sayur anak-anak lain seperti Dudun, Lala, Robi dan semua anak di daerah itu dia acuhkan, karena ya dia tidak peduli dengan anak kecil yang suka merengek minta mainan. Bahkan di depan mereka Waidi kerap berkata “Dasar anak SD.” Jika pepatah tau pasti langsung menjewer kupingnya sambil melempar sebungkus kacang.

Kebiasaan nongkrongnya ini dia awali dengan cara menggesek biola dan dasar lain. Kadang jika bosan dia juga belajar gitar dan bass tapi bukan ketipung, karena si Kampret suka pelit meminjamkan ketipungnya. Perlahan-lahan Waidi pun makin jago dan luwes memainkan biola. Kecintaan pada kayu seksi itu pun bertambah dan hanya beberapa jam di sana pastinya kurang, sehingga dia pun mengikut kelas nongkrong tambahan.

Setelah satu minggu mengikuti kelas nongkrong tambahan Waidi langsung berhasil. Berhasil untuk dipanggil ke sekolah. Dia dipanggil bukan karena nilai turun, dia bahkan tidak mengikuti ujian. Sudah 10 hari dia menghilang dari ekosistem sekolah. Kepada Mamaknya sendiri dia mengaku ada kelas tambahan sehingga pulang sore, itu masih pergi kembali dengan alasan mengerjakan tugas kelompok.

Sidang itu sudah selesai, Waidi langsung sampai di rumah dengan cepat berkat bantuan tangan ibunya yang menjepit telinga Waidi. Di depan bengkel, Bapak sedang sibuk menambal ban langsung mengerti apa yang terjadi meski hanya sekilas melihat. Waidi langsung dilempar ke kamar oleh Mamak dan menggembok pintu. Waidi menjerit-jerit, mendobrak pintu tetapi tak ada respon bahkan sekedar balasan kata. Mata Waidi memerah karena dikurung.

Dia membanting semua barang di sana, meskipun kebanyakan barang hanya ada buku dan bantal. Tiba-tiba Waidi ingat petasan yang dari dulu dia sembunyikan karena gak boleh dinyalakan. Di saat matahari panas dia pun membakar sumbu petasan itu dengan kompor darurat bekas dia persami. Kerasnya suara memantik amarah Bapak. Bapak langsung masuk membuka kunci dan melempar Waidi keluar rumah.

“Gak usah balik anak setan!”

“Kalo aku anak setan berarti bapak juga setan,” balas Waidi yang langsung dikecup sendal kanan bapaknya. Dia langsung berlari ke Beskem.

Beskem terlihat sepi, tidak ada petunjuk kehadiran siapa-siapa bahkan Dodit yang biasanya suka tiduran di teras. Hanya ada sebuah plastik berwarna kuning yang mengelilingi rumah itu. Daun-daun kering dan basah simpanan juga bersih seperti ada rombongan kambing liar kelaparan yang masuk rumah ini. Waidi merasa kasihan ketika anak Senar Pedhot tidak ada lagi yang bisa dihisap. Beruntungnya masih ada biola di atas sofa. Diambil lah biola itu dan langsung digesek oleh Waidi.

Suara gesekan Waidi sangat melengking, bahkan menutupi suara warga yang berlarian dan berteriak “Tolong! Rumah Pak Badrun kebakaran!” Dengan kushuk Waidi memainkan tiap nada-nada yang dia yakini akan dia pijak menuju masa depan.

“Anjing! Senarnya putus!”

 

Editor:  Arlingga Hari Nugroho

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts