Kali ini, aku merasa lebih bersemangat daripada biasanya. Aku menyusuri lorong kampus yang sepi, menenteng sebungkus nasi balap sebagai fondasi awal, menuju sebuah ruangan di ujung lorong tersebut. Menyiapkan presentasi dan memantapkan diri sebelum otakku benar-benar diuji setelah empat tahun menerima banyak teori. Akhir dari empat tahun kuliah hanya akan ditentukan selama satu jam di hadapan beberapa dosen yang menguji.
Singkat saja, aku lulus.
Setelahnya, aku kembali berjalan menyusuri lorong kampus yang masih saja sepi. Aku tidak menemukan atmosfer sebuah perayaan. Tidak ada ingar-bingar seperti orang-orang yang sedang merayakan kelulusan temannya. Mungkin mereka sibuk. Tak apa, aku tidak terlalu memikirkan itu.
Setibanya di rumah, beberapa pesan masuk meramaikan ponselku. Ucapan selamat serta doa dan harapan terus berdatangan. Ada juga yang mengirim celetukan, “selamat menjadi pengangguran”. Senyum tipis di bibirku perlahan mendatar, mencerna maksud celetukan itu. Apa benar, lulus dalam waktu cepat tidak menjamin bahwa seseorang benar-benar cerdas? Ah, mungkin hanya sekadar ucapan.
***
Waktu semakin berjalan, bulan tiap bulan terasa cepat berganti. Aku juga masih begini-begini saja. Beberapa grup chatting juga semakin sepi. Tidak seperti dulu ketika masih menjalani kesibukan di kampus, untuk sekadar menanyakan tugas atau informasi seputar perkuliahan. Hanya beberapa kali ada notifikasi, tapi tidak seramai biasanya.
Aku mulai bosan ketika hanya rebahan, bermain gawai dan tidak melakukan apa-apa di rumah. Sesekali mencari informasi lowongan pekerjaan, tapi masih bingung mau kerja apa. Apakah ini salah? Tidak juga. Setiap orang berhak menikmati hidupnya sendiri-sendiri. Kadang-kadang aku juga sepedaan keliling kota, kadang pagi, kadang sore. Seperti sore ini aku mengajak sepedaku untuk keliling kota. Biasa, nyoride.
Pusat kota mulai ramai oleh anak muda yang sedang menikmati suasana sore, sembari mengabadikan momen dengan ponsel mereka. Angkringan adalah tujuan terbaik kala tenggorokanku mulai mengering. Sesekali rokok lintingan kuhisap perlahan-lahan, sambil menikmati matahari yang perlahan terbenam berganti malam.
Setelah puas menjadi anak senja meski hanya singkat, aku menggowes sepedaku kembali ke rumah. Melewati beberapa kampung wisata dan pusat perbelanjaan. Tiba-tiba di kejauhan tampak orang-orang berkerumun di tengah jalan. Terlihat juga mobil polisi dan ambulans di sekitar kerumunan itu.
Aku menuntun sepedaku mendekatinya, penasaran.
Cuk! Sigit Fernandes, panggilannya Sigit. Aku kaget. Ia rekanku yang sering aku bantu ketika menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Dia juga rekan pertamaku ketika menjadi mahasiswa baru di jurusan. Aku sudah sangat akrab dengannya.
“Tadi tertabrak taksi, tapi taksinya kabur,” kata orang di sebelahku yang aku tanya penyebab rekanku tergeletak di jalan. Kok bisa, seorang pemuda humoris dengan tingkahnya yang aneh ketika di kelas menjadi korban tabrak lari. Tragis. Aku yang sedikit panik tidak bisa berbuat apa-apa, tim medis dan polisi sedang mengurus.
Sigit terlihat tak berdaya, tapi sepertinya dia masih hidup. Mungkin saja hanya pingsan atau bahkan kritis, semoga baik-baik saja. Orang-orang perlahan mulai meninggalkan lokasi kejadian. Aku juga melanjutkan gowesku untuk segera sampai rumah.
Iseng-iseng ku lewati beberapa rumah rekan yang sejalur denganku pulang, melalui Jalan Kenangan. Aku sedikit bingung, banyak karangan bunga bertuliskan turut berduka cita di depan rumah rekanku. Semakin membuatku terkejut ketika membaca nama di bawahnya. Jamaludin Iskandar.
Sekali lagi aku kaget, tidak percaya. Kok bisa? Adalah pertanyaan terbesar di kepalaku saat ini. Apakah dia adalah Jamal yang ku kenal akrab itu? Aku masih tidak yakin. Dia rekanku semasa kuliah, tapi harus berpisah ketika ia memilih untuk pindah jurusan. Mana mungkin ia begitu cepat meninggalkan dunia ini. Padahal dulu kami sering nongkrong dan ngopi bersama, termasuk si Sigit.
Bukannya mampir, aku melanjutkan menggowes sepedaku. Sesampainya di rumah, gawaiku yang tadinya sepi kembali ramai dengan notifikasi dari beberapa grup, termasuk grup kelas. Banyak informasi mengenai kematian Jamaludin Iskandar. Mereka memberi kabar penyebab kematian Jamal, serta menginformasikan waktu pemberkatan dan pemakamannya.
Ternyata benar. Ia meninggal karena serangan jantung. Seketika aku diam, bingung dan berusaha untuk tegar. Aku juga mengabarkan kejadian Sigit yang tertabrak taksi kepada mereka. Ada yang merespon, ada juga yang masih sibuk bertanya perihal kematian Jamal. Aku juga mencoba bertanya apakah ada yang mau melayat Jamal? Seketika sepi kembali. Tidak ada respon. Ku coba untuk spam, juga tidak ada tanggapan. Aneh. Kenapa begini? Batinku. Mungkin mereka tidak memerlukan banyak informasi, yang penting esok hari hadir di upacara pemakaman rekan kami, Jamal.
Aku pikir, rekanku yang lain sedang menggeluti kesibukannya masing-masing. Entah kerja kantoran, kerja proyek, bisnis, ataupun sibuk dengan kekasihnya sendiri. Tidak seperti diriku yang masih menganggur. Tetapi ingatlah, ada seorang rekan yang pernah membantumu ketika kesusahan semasa menjalani kesibukan bersama, entah semasa kuliah ataupun di luar itu. Seorang rekan juga bisa kau jadikan tempat untuk berkeluh kesah, berbagi unek-unek ketika kau kandas perihal cinta dan juga bisa kau jadikan bantuan ketika tidak punya uang.
Rintik hujan di luar mulai turun. Aku rebahkan tubuhku di pembaringan sembari bermain gawai dan menantikan beberapa pesan penting perihal kematian Jamal. Mataku mulai terpejam, maklum semalam kurang tidur karena Liga Champions menyajikan pertandingan yang menarik.
Aku tidak mengerti, nyata atau tidak, pemakaman Jamal sepi dari rekan-rekan dekatku. Hanya beberapa saja yang hadir, malahan asing di mataku. Aku juga membantu menurunkan petinya ke liang kubur bersama petugas makam dan keluarga Jamal.
Setelah upacara pemakaman Jamal selesai, gawaiku bergetar. Notifikasi kembali muncul, kali ini dari pacar Sigit. Ia memberi kabar padaku bahwa Sigit juga telah berpulang, tepat setelah aku membantu memakamkan Jamal. Aku terkejut, tidak menyangka. Seorang rekan yang menjadi korban tabrak lari akhirnya meninggal dunia. Tetiba gawaiku mati, baterainya habis. Kini kedua rekan baikku telah berpulang, aku tidak bisa membayar semua keseruan bersama mereka. Kenangan itu abadi.
***
Tiba-tiba siraman air mengucur deras ke wajahku. Seketika aku terbangun. “Bangun, udah siang. Sana cari kerja kek, jangan tidur mulu! Tuh, ponselmu bunyi!” Emak berseru di depan pintu kamarku. Ku ambil gawaiku, ada notifikasi dari Jamal dan Sigit. Mereka mengajakku nongkrong nanti malam. “Kampret, cuma mimpi,” batinku.
Tamat.