Denmark Street, 1964.
Tepat 28 tahun sebelum Oasis dan Blur tak henti-hentinya disandingkan di ranah Britpop, 20 tahun sebelum The Smiths debut lewat jalur indie, atau bahkan 17 tahun sebelum Wham! meramaikan skena hiphop, adalah masa Heart of Stone oleh The Rolling Stones bersaing dengan I Want To Hold Your Hand oleh Beatles. Keduanya menjadi titik awal British Invasion yang mewabah di seluruh dunia.
Invasi itu dimulai dari The Rolling Stones yang merekam album pertamanya di Denmark Street.
Di ujung selatan London Borough of Camden, berbatasan dengan London Borough of Westminster, di situlah Denmark Street berada. Melintasi jalan tersebut, kendaraan lalu-lalang dari St Giles High Street menuju Charing Cross Road yang ramai.
Udara hari ini hangat setelah beberapa minggu kelembaban terasa menyesakkan. Suasana yang sempurna bagi muda-mudi untuk menyambangi Denmark Street.
Tampak sekelompok anak muda melintas. Penampilan mereka bersahaja dengan sweter polos di dalam jas. Seorang gadis berambut pirang ada di antara mereka, mengenakan gaun pendek berwarna putih dan mantel tipis.
Masing-masing membawa kotak berisi alat musik. Seorang pria berkacamata yang berjalan paling pinggir mengucapkan sesuatu, lalu yang lainnya terbahak.
“…tidak menyangka aku akan menolak liriknya, tentu saja…”
“…bukan salahmu, nadanya pun konyol…”
“Kudengar ia putus asa mencoba meniru band tertentu…”
Mereka bergegas masuk ke Mills Music yang berada tak jauh dari pertigaan. Seperti separuh anak muda lainnya di masa itu, impian mereka sederhana: merekam demo dan debut menjadi musisi yang digandrungi seluruh negeri.
Denmark Street sekilas tampak seperti jalan sempit yang normal ditemui di West End. Lalu lintasnya ramai dan trotoarnya ramping.
Deretan toko alat musik, bar, kantor perusahaan rekaman, dan kafe berjejalan di jalan sepanjang 108 meter itu. Sepanjang hari melintas produser rekaman, anak muda dengan jins belel menenteng gitar, musisi yang akan mengisi gigs, gadis-gadis penggemar Bill Kent, bahkan terkadang—kalau beruntung—David Bowie dan Small Faces sedang nongkrong di Kafe La Gioconda yang ada di nomor 9.
Mereka menyebutnya Tin Pan Alley-nya London. Tak heran. Jalan kecil yang lebih tepat disebut gang itu ingin mengkiblatkan diri ke sentra musik pop Tin Pan Alley di Manhattan, New York, di mana rock and roll lahir.
Kelompok anak muda tadi menghabiskan sepanjang sore di Mills Music. Apakah mereka berhasil mendapatkan kesepakatan dengan perusahaan rekaman? Entahlah, bakat dan sepercik keberuntungan yang akan memutuskan.
Di Tin Pan Alley-nya London tahun 1960-an, tidak ada kisah hidup yang tak menjadi monumen seni.
***
Denmark Street, 2015.
Sebuah cab berhenti mendadak di tengah jalan, menimbulkan rentetan bunyi klakson yang gaduh. Si pengemudi cab tak tinggal diam. Ia melongokkan kepala dengan kesal kepada seseorang yang baru saja menyeberang jalan tanpa melihat kanan-kiri.
Setelah kegaduhan itu reda, baru tampak pria yang menyeberang jalan dengan sembarangan. Pria itu meminta maaf kepada si pengemudi yang kesal.
Ia tengah terburu-buru, rupanya. Rambutnya yang pirang kemerahan berkelebat cepat di antara para pejalan kaki lainnya. Suara langkahnya berdetak di trotoar berbatu.
Ia baru berhenti saat melihatku.
Setelah mengucapkan salam yang singkat, ia tersenyum meminta maaf.
“Aku tak punya banyak waktu,” katanya. “Nanti malam kami akan segera berangkat ke Glasgow.”
“Tak masalah,” balasku. “Kapan lagi aku punya kesempatan mendapatkan tur langsung dari sang legenda, Elton John?”
Elton terkekeh. Ia tak keberatan dengan panggilan itu, kurasa. Empat puluh tahun lalu, saat masih bekerja sebagai staf di DJM Records, Elton pasti tidak akan menyangka gelar ‘legenda’ akan disematkan kepadanya. Saat itu namanya masih Reg Dwight.
“Bernie Taupin mendapat ilham begitu saja saat kami sarapan. Ia mengambil sembarang kertas dan menulis liriknya. Kami masih remaja saat itu,” ungkapnya.
“Saat melihat lirik tersebut, aku tahu aku tidak boleh mengacaukannya. Lagu ini akan menjadi hit. Kisahnya begitu sederhana… begitu naif, tetapi begitu nyata. Aku mencoba beberapa nada di piano. Dua puluh menit kemudian, bum! Your Song tercipta.”
Elton menunjuk salah satu gedung di seberang jalan.
“Tepat di seberang sana, kami menyelinap di malam hari untuk berlatih. Sayangnya kami ketahuan oleh penjaga keamanan. Dick James berang sekali waktu itu,” katanya, menyinggung nama pemilik DJM Records.
Kami melanjutkan berjalan melintasi toko gitar yang tutup.
“Dia marah? Begitu saja?” tanyaku.
Elton membetulkan letak kacamata berbingkai cerah yang bertengger di hidungnya.
“Itu… sebelum ia mendengar materi kami. Kurasa James cukup terkesan dengan Your Song. Tak lama sesudahnya, ia memberi kami kesepakatan dan rekaman yang layak.
“Your Song sempat dirilis musisi lain, tentu saja. Namun Three Dog Night yakin lagu itu memang menjadi takdirku dan Bernie.”
DJM Records kini telah tutup. Gedung tersebut menyaru dengan toko-toko modern yang ada di sebelahnya. Mungkinkah pemandangan itu membuat Elton merasa sentimental?
“Aku dan Bernie, well, kami dulu cuma anak muda yang melamar sebagai staf penulis lagu setelah melihat iklan lowongan pekerjaan. Siapa sangka ia akan menjadi partner terbaik sepanjang karierku?”
“Aku harus berterima kasih kepada Denmark Street, kurasa.”
… And you can tell everybody this is your song. It may be quite simple, but now that it’s done. I hope you don’t mind that I put down in words “How wonderful life is while you’re in the world”.
— Your Song, Elton John
*) Kisah ini merupakan bagian pertama dari 4 babak cerita fiksi sejarah Britpop karya Brigitta Winasis.
Editor: Tim SudutKantin
3 comments