Thank’s Roger

Thanks roger
Ilustrasi: Reymond Ujan

Namanya Alexender Peter, seorang pemuda kelas 2 di SMA John Marner. Pemuda ini selalu saja menundukkan kepala dan membenahi kacamata bulatnya yang selalu turun setiap berjalan di lorong sekolah. Banyak mata yang tertuju padanya dan saling berbisik satu sama lain.

“Itu orang pendiam banget.”

“Sepertinya dia tidak punya tulang leher.” Sahut teman lainnya sembari tertawa bersama.

Jam pelajaran berlangsung. Guru hanya meninggalkan tugas di kelas dan ijin karena urusan mendadak. Beberapa geng Hammer Marner yang ternyata satu kelas dengan Peter mencium aroma kemenangan, yaitu mempunyai misi mem-bully si Peter. Michael Roger sebagai pemimpin eksekusi beserta anggotanya langsung menghampiri Peter yang sedang mengerjakan tugas.

“Hai, manusia tanpa tulang leher.”

Peter hanya berdiam dan tidak menggubris sapaan dari Roger yang sangat meremehkannya.

“Lihat kacamatamu, sangat usang sekali.”

“Sepertinya dia anak dari keluarga miskin.” Sahut temannya.

“Tidak, ibunya hanya dibayar murah sama sopir taksi Chicago.” Ucap Roger dengan nada sinis. Semua murid di dalam kelas terawa ikut merayakan kemenangan yang dilakukan oleh Roger and the gang.

“Aku mau ke kamar mandi dulu.” Ucap Peter

“Oh, mau ke kamar mandi. Baiklah kalo begitu.” Jawab Roger dengan nada yang masih sinis.

Peter beranjak dari kursi. Saat Peter berjalan, Roger memalang kakinya dan Peter jatuh tersandung. Satu kelas tertawa lagi. Tanpa basa-basi, anggota Roger langsung menahan tubuh Peter. Roger dengan penuh kekuasaannya langsung melorotkan celana Peter hingga celana dalamnya.

“Uhh, sempakmu bau ikan asin.” Ucap Roger sembari memegang dengan jijik, lalu membuangnya ke luar kelas melalui lubang jendela. Satu kelas semakin tertawa pecah melihat Peter tanpa celana.

“Peter, sekarang kamu harus kencing di depan kelas! Cepat!” Sentak Roger penuh dengan kuasa.

Peter hanya membalas dengan gelengannya. Roger merasa dilawan perintahnya dan langsung memukul perut Peter. Peter memegang perutnya hingga tersungkur.

“Bangun Peter! Cepat, kuhitung lima detik. Kalau sampai lima detik belum berdiri, kita bakal membawamu ke kamar mandi dan menghajarmu! Ayo kita hitung bersama teman-teman!”

“satu!! dua!! tiga!!” Hitungan dilakukan oleh satu kelas dengan penuh semangat.

Belum sampai lima detik, Peter sudah terbangun dengan menahan rasa sakit perutnya. Peter akhirnya melakukan instruksi dari pemimpin geng Hammer Marner tingkat dua itu. Air seni meluncur dengan sangat deras di depan kelas. Satu kelas melihat aksinya dengan gembira campur jijik. Setiap tawa membunuh harga dirinya. Setiap cacian membunuh karakternya.

***

“Gimana nak sekolah awal semestermu hari ini?”

“Sangat baik, Yah. Aku senang sekali punya teman-teman baik di sekolah baruku.” Ucap Peter dengan sangat bahagia.

Ayah Peter, Alexander Paul, sangat senang sekali mendengar kabar dari anaknya.

“Ayo nak, kita makan dulu.”

Di meja makan sudah tersedia ayam panggang yang sudah mengepul penuh dengan kenikmatan. Paul tidak sabar ingin mendengar cerita dari anaknya mengenai sekolah dan teman-teman barunya.

“Gimana tadi temen-temen barumu, nak?”

“Tadi seru sekali, Yah. Guru hanya meninggalkan tugas dan kita semua sangat senang karena tidak ada yang mengawasi kebebasan kita. Lalu kita bercanda bareng, main bareng gitu Yah. Asyik kan hahaha..” Jawab Peter penuh dengan kebahagiaan.

Mereka berdua makan sembari tertawa bahagia karena hidangan cerita yang disajikan oleh Peter lebih nikmat ketimbang hidangan malamnya.

“Oh iya, Pet, untuk merayakan pesta bersama teman-teman barumu, aku punya hadiah istimewa untukmu. Ambillah di dalam lemari itu.”

“Siap, Yah!” Jawab Peter penuh dengan gembira.

***

Bel berbunyi keras. Saatnya murid-murid SMA John Marner pulang sekolah. Roger terlihat sedang tos dengan teman-temannya untuk pulang terlebih dahulu. Saat Roger melangkah ke gerbang sekolah, tiba-tiba langkahnya terhenti karena ada yang memanggilnya. Roger menghampirinya.

“Bapak siapa?”

“Saya ayahnya Peter, teman sekelasmu.” Menjawab dengan penuh senyum.

“Ada apa ya, pak?”

“Peter cerita tentang kamu bahwa kamu teman sekelasnya yang paling baik.”

Roger menjadi bingung apa yang dimaksud bapaknya. Dalam hatinya berkata, padahal ia membully Peter, tapi kok malah namanya jadi baik di mata bapaknya.

“Pe.. Pe.. Peter juga baik kok pak sama saya, hehe…” Jawab Roger dengan sedikit bingung.

“Aku ingin cerita sesuatu denganmu, nak. Karena kamu teman baik Peter, jadi aku akan cerita mengenai keluarga kami.”

“Baik, pak. Mau cerita apa, pak?” Jawab Roger.

“Jadi begini, Peter hanya anak tunggal dan ibunya sudah meninggal sejak Peter masih sekolah SMP kelas dua. Sebagai teman baiknya, mungkin kamu mau nemenin Peter berziarah ke makam ibunya besok.”

Dari pernyataan ayahnya Peter, Roger mulai tergugah hatinya dan merasa kasihan dengan Peter.

“Dengan senang hati, pak. Saya akan menemani Peter berziarah.”

“Terima kasih, nak. Kamu sahabat baru Peter yang sangat baik sekali.”

“Sama-sama, pak. Saya harus mengerti dengan keadaan Peter selaku sahabatnya.” Jawab Roger.

***

Hari berikutnya, sepulang sekolah. Peter dengan merangkul buku-bukunya sedang berjalan menuju Loker. Roger menghampirinya.

“Pet, aku mau ngobrol sama kamu.”

“Eh, iya Ger. Ayo mau ngobrol di mana?”

“Mungkin di pinggir lapangan Baseball aja Pet.”

“Ayo Ger, boleh boleh.” Menjawab dengan senyuman.

Mereka berdua berjalan menuju tempat duduk bertingkat, tempat biasa murid-murid menyaksikan pertandingan baseball antar SMA.

“Aku sungguh minta maaf atas perlakuanku terhadap kamu, Pet. Aku merasa sangat bersalah padamu. Saat aku menjatuhkanmu, kamu tetap rendah hati denganku. Kamu sampai bercerita ke ayahmu kalau aku sahabat baikmu.” Roger meminta maaf dengan penyesalan yang mendalam.

“Ger, almarhum mamaku pernah memberi pesan kepadaku, jangan jadi orang yang mudah dikuasai dengan kebencian. Walaupun kamu pernah ditampar ratusan kali, kamu harus membalasnya dengan ribuan kebaikan. Aku tidak mau jadi musuhmu, Ger.” Ucap Peter dengan senyuman.

Mereka berdua akhirnya berdamai dan bepelukan.

***

Peter, Ayahnya, dan Roger doa bersama di makam ibu Peter yang bernama Margareth Deada. Selesai doa bersama, Peter sangat berterima kasih sekali kepada Roger.

“Terima kasih Roger, kamu sahabatku yang sangat baik.” Dengan penuh senyum bahagia.

“Sama-sama, Peter. Berkat kamu, sekarang aku bisa menjadi orang yang baik dan tidak menindas orang yang lemah.”

Mulai ada perubahan drastis dari mimik wajah Peter. Yang awalnya senyum penuh dengan kebaikan, sekarang menjadi senyum penuh dengan kekejaman. Tangan Peter dengan pelan-pelan mengeluarkan pistol 9mm dari saku belakangnya. Tanpa basa-basi, ia menempelkan ujung pistolnya yang dingin ke dahi Roger.

“Berlututlah di hadapan makam ibuku Roger.”

“Pet.. Pet.. ke.. ke.. kenapa ini?” Tubuh Roger mulai bergetar dan berbaur dengan keringat dinginnya.

“Pet, ampun Pet, aa… aa.. aammpunn Pet!!” Roger mewek seperti bayi ngompol.

“Cepat Berlutut! Kuhitung lima detik. Sampai lima detik tidak berlutut, ku-perching otakmu dengan pistol ini!”

“I.. i.. iiya Pet.” Dengan mengangkat tangan, menangis seperti bocah ingusan, dan tubuh masih bergetar, Roger segera berlutut di hadapan makam Margareth Deada.

“Thank’s Roger! Meminta maaflah kepada ibuku karena ucapanmu dulu!”

“Maafkan aa.. aa.. aakuu.” Doorrrr… belum menyelesaikan satu kalimat maaf, Peter langsung menembak bagian belakang kepala tengkorang Roger. Darah menyiprat nisan Makam Ibu Peter. Akhiran huruf “A” pada kata “DEADA” tertutup cipratan darah dan terbacalah “DEAD”.

“Yihhaaaaaa…” seruan Paul untuk merayakan hari kemenangan.

“Akhirnya kita sudah melakukan yang kesekian kalinya. BINGO!! mari kita pesta!!” Seruan ayah Peter semakin bahagia sembari membawakan kaleng bir kepada Peter.

“Ini bajingan terbunuh yang kelima kalinya. Ayo kita cari lagi yah hahahahaha…..”

Dengan tertawa bahagia, mereka toss bir dan berpelukan seperti adegan kemenangan bintang WWE, Stonecold Steve Austin di atas ring bersama rekan tag team-nya. Minum bir bersama, memanggang ayam, dan sembari memasang kaset vinyl. Merayakan pesta dengan diiringi lagu band Red Fang yang berjudul “Blood Like Cream” di sebelah makam “DEAD!!!!”

 

 

Editor: Endy Langobelen

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts