Kisah kematian Tuhan dimulai sejak pertama kali kau duduk di sampingku, di kereta cepat yang biasa kita naiki. Sejak pertama kau tahu aku tidak percaya pada Tuhan. Sayangnya kau menyukainya.
Kekasih, kau datang bak hujan di siang bolong. Kau datang padaku tanpa pemberitahuan bagai bidadari yang tersesat di sarang penyamun. Dilihat sekilas pun orang akan tahu perbedaan mencolok antara kau dan aku. Kau menyembah Tuhan yang pasti, sedangkan aku makan pun belum pasti.
Kau tentu ingat kereta cepat yang sering kita naiki. Di kereta itu kau menatapku pertama kali, dan aku memutuskan untuk jadi pengagummu. Saat itu, tubuh mungilmu masih berada dalam balutan seragam sekolah menengah. Kau tersenyum kecil saat kukedipkan kelopak mataku ke arahmu. Tanpa basa-basi kau langsung duduk di sampingku dan tak henti berbicara.
“Kamu pasti orang yang nggak suka bicara. Bukan apa-apa, dari tadi kulihat kamu nggak pernah berdoa,” tembakmu ketika pantatmu yang mengkal tak sengaja menduduki paha kurusku.
Kau sangat lihai, kekasih. Kau gemar menyerangku dengan kata-kata, bahkan semenjak pertama kita bertemu. Padahal kau tahu, kata-kata adalah kelemahan terbesarku. Memang saat itu semua orang di dalam kereta berdoa, karena mereka takut pada Tuhan yang sewaktu-waktu bisa saja mengambil nyawa mereka. Tapi kau tahu aku berbeda, karena itulah kau datang padaku waktu itu. Aku yakin.
Kekasih, tak sadarkah kau kita terjebak dalam satu cerita yang sama? Kata-katamu di awal itu justru membelit kisah kita pada kerumitan yang tak teruraikan. Kita jadi lebih sering bertemu di kereta untuk berdialog. Bermonolog lebih tepatnya, sebab kau akan banyak bercerita tentang Tuhanmu dan aku mendengarkanmu. Tapi kau suka menyebutnya dialog, dan aku suka kau.
Oleh karena itu, setiap Jumat sore kau akan naik kereta ke barat. Pada stasiun ke-3 kereta akan berhenti dan membiarkan aku masuk untuk memagut kecantikanmu di gerbong keenam. Kita akan berkendara hingga kereta sampai di stasiun ke-14.
Setelah itu semalaman kau dengan sabar akan menungguku bicara. Kita lantas mengambil kereta pertama di pagi hari dan berangkat pulang.
Kekasih, kau tentu ingat kereta cepat yang sering kita naiki. Namun ingatkah kau, di Jumat sore ke-103 kita tidak menunggu kereta berhenti di stasiun terakhir? Di stasiun ke-3, di tempat biasa aku menunggu kedatanganmu dalam kereta, kau langsung bergegas turun. Sembari memelukku erat, kau berbisik di telingaku, “Bersetubuhlah denganku.”
Kau tahu aku senang. Akan tetapi sebenarnya aku bertanya-tanya, di manakah Tuhanmu yang melindungi engkau, yang menjagamu dari perbuatan dosa. Ketika kulihat bola matamu, aku temukan mata yang sakral, mata bidadari yang tak bercela. Maka saat itu kau tahu bahwa aku percaya Tuhanmu ada padamu, dan Dia tidak akan membiarkan kau ternoda. Mari kita sejenak lupakan dosa dan melaksanakan tugas cinta.
Kau bergegas menarikku keluar dari stasiun. Tidak jauh, kau hanya membawaku memutar ke semak di belakang. Setelah memastikan tak ada orang yang curiga, kau menciumku dalam. Kau menyentuh pipiku, meremas tanganku dengan gemas. Kukumu yang panjang menujam punggungku, kakimu yang kecil mengait erat pada selangkanganku. Maka teringatlah aku pada kidung yang kau ceritakan tempo dulu, kidung dari Tuhanmu Yang Maha Romantis.
Lihatlah, cantik engkau, manisku, sungguh cantik engkau! Bagaikan merpati matamu di balik telekungmu. Rambutmu bagaikan kawanan kambing yang bergelombang turun dari pegunungan Gilead. Bagaikan seutas pita kirmizi bibirmu, dan elok mulutmu. Bagaikan belahan buah delima pelipisku di balik telekungmu. Seperti dua anak rusa buah dadamu, seperti anak kembar kijang yang tengah makan rumput di tengah-tengah bunga bakung.
Kau bergerak begitu cepat. Kau melepas bajumu, celanamu, kutangmu, dan cawatmu yang tipis. Secepat itu pula kau, bukan aku, yang masuk ke tubuhku. Untuk pertama kalinya dalam ratusan pertemuan kita, kau berhenti bicara. Kita bercinta dalam keheningan. Kau seperti berdoa, aku seperti biasa.
Betapa cantik, betapa jelita engkau, hai tercinta di antara segala yang disenangi. Sosok tubuhmu seumpama pohon korma dan buah dadamu gugusannya. Kataku: “Aku ingin memanjat pohon korma itu dan memegang gugusan-gugusannya. Kiranya buah dadamu seperti gugusan anggur dan nafas hidungmu seperti buah apel. Kata-katamu manis bagaikan anggur!” Kepunyaan kekasihku aku, kepadaku gairahnya tertuju.
Kau tentu ingat kereta cepat yang sering kita naiki. Pada tahun keenam usai pertemuan pertama, kau dapat kabar buruk saat bersamaku di dalam kereta itu. Saat itu Jumat sore ke-315. Kau membawa televisi saku yang kau temukan di negeri orang. Kita menghabiskan malam sembari menonton gambar yang disajikan kotak itu pada mata kita yang lelah. Aku hampir tertidur ketika kau mengumpat, “Anjing.”
“Ada apa?” tanyaku penasaran. Mungkin itu jadi kali pertama aku bicara padamu. Tapi kau terlalu histeris saat itu, sehingga kau pasti tidak sadar bahwa aku bisa bersuara.
“Teroris bangsat! Masak mereka tega bunuh keluarga yang lagi berdoa. Anaknya dipenggal lagi. Nggak masuk akal.”
Bola matamu yang indah bergerak lebih cepat dari biasanya. Telingamu yang mungil berkonsentrasi mendengarkan apa yang diucapkan oleh pembawa berita.
Kau terdiam, lantas menangis. Aku tahu bagimu kebaikan adalah segala-galanya. Kepercayaanmu pada Tuhan membuat kau tak percaya pada kejahatan. Bagaimana bisa Tuhan Yang Maha Baik mengizinkan adanya kejahatan di dunia?
Sayangnya kenyataan tak seindah itu kekasih. Malam itu Tuhanmu tidak bersemayam dalam matamu. Di tengah sayup-sayup suara penumpang kereta yang berdoa, kau memperhatikan aku, menamparku, dan turun di stasiun ke-11. Setelahnya, aku tak pernah melihatmu lagi.
Kekasih, mengapa kau tinggalkan aku? Apa salahku? Jawab aku, bangsat!
Dua bulan setelah engkau menampar dan meninggalkanku, aku masih duduk diam di kereta kita. Andai kau tahu, aku tidak ingin meninggalkan kebiasaan berkereta setiap Jumat sore, menyusuri empat belas stasiun, dan berhenti demi memandangi malam. Pagi hari, seperti kau tahu, aku akan mengambil kereta pertama dan kembali ke rumah.
Andai kau tahu, selama dua bulan itu, para penumpang kereta tak pernah lagi berdoa. Mereka kini lebih suka berdiskusi tentang teroris. Kebanyakan bercerita dengan berapi-api, kadang dengan emosi. Beberapa dari mereka berkelahi, satu dua pada akhirnya mati.
Kau mau tahu apa yang mereka perdebatkan? Mereka berkata bahwa pembunuhan keluarga itu didalangi aktivis agama yang berjuang demi Tuhan mereka. Mereka adalah pembela agama yang memperjuangkan kebenaran. Namun ada juga yang menolak.
“Teroris itu hanya sekumpulan keparat tak tahu diri. Mereka hanya sekumpulan orang tak beragama. Apanya yang membela agama? Aku berani bersumpah demi Tuhanku, tak ada agama yang meminta umatnya membunuh orang lain,” tegas seorang pemuda suatu kali. Paginya, ketika aku kembali ke rumah, kutemukan pemuda itu mati di stasiun ke-12.
Kekasih, aku tahu apa yang sebenarnya kau pikirkan saat kau mendengar berita teroris itu. Teroris bukan orang suci atau sekadar orang tak beragama. Jika hanya itu, buat apa kau menamparku.
Lebih dari itu, kau pasti menganggap teroris adalah sekumpulan orang yang tak percaya pada Tuhan, sama seperti aku. Kau tidak pernah kembali lagi menemuiku, karena kau percaya hanya orang tanpa Tuhan yang sanggup melukai manusia lain. Oleh karena itu, kebencianmu pada orang yang tak percaya Tuhan kau limpahkan padaku.
Tidak mengapa kekasih. Kau tidak harus datang lagi padaku. Kau tak harus takut merasa bersalah padaku. Seharusnya kau tahu, aku mengampunimu, karena kau sebenarnya tidak tahu apa yang kau lakukan padaku. Kau cintaku, gugusanmu yang menjadi gairah hidupku.
Kekasih, tentunya kau ingat kereta cepat yang sering kita naiki. Saat ini aku sedang berada di dalamnya, pada Jumat sore ke-323 sejak pertemuan pertama kita. Aku tidak lagi menunggu malam, dan pagi, dan cinta yang sudah kau anggap mati.
Aku pun tidak bisa terus-terusan menunggu engkau yang tak akan pernah kembali. Saat ini, aku hanya akan menunggu panggilan Tuhan di sore hari, agar segera selesai tugasku di dunia sebagai orang yang tak percaya Tuhan.
Aku tak bilang kepercayaanmu benar. Tapi aku suka kau, dan aku ingin kau jadi benar. Jadi kira-kira beginilah akhirnya.
***
Berita Jumat tengah malam:
Pembunuhan massal terjadi di kereta cepat Sari Rohani pada Jumat sore tadi. Pembunuhan itu dilakukan oleh seorang penumpang kereta cepat yang menusuk leher empat orang penumpang lain dengan cutter sebelum membunuh dirinya sendiri. Polisi masih meyelidiki lebih jauh apakah aksi ini memiliki kaitan dengan jaringan teroris yang beraksi belakangan ini.
Sekian.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto: Giovanni Krisna