“Keindahan ada pada kenangan, bukan keseragamannya.”
Jalanan sepi pada sore hari ini. Padahal di tempat ini biasanya terhiasi banyak orang berjalan dengan tujuan yang berbeda-beda. Kota yang sangat terkenang karena tiap gemerlap lampu menerangi pikiran orang yang selalu ingin kembali ke tempat ini. Banyak orang tidak menyadari satu tempat yang memiliki suatu barisan yang sangat jelas di pinggir jalan, namun sepi dikunjungi.
Padri berjalan dari barat dan perlahan memperhatikan lapak tempat penjual batu akik. Dilihatnya bahwa tidak banyak yang berkunjung pada saat ini dan biasanya-pun juga sama, tidak ada yang tahu tentang tempat ini. Harta karun yang sempat naik daun beberapa tahun silam masih menunjukkan eksistensinya sampai saat ini sehingga Padri berhenti pada suatu lapak paling pojok.
“Pak, kalimaya wonten?”
“Kalimaya banten nopo sing liyane, Om?”
Pedagang itu menjelaskan dengan antusias dan semangat sambil mencari di kotak hitam yang ditata tersendiri, “Wonten sing banten, susu, opal, sing murah nggih wontene mung jenis kalimaya teh. Nggarong e kirang kandhel, Om. Monggo dipilih inkang mantep mawon.”
Padri memperhatikan tiap batu yang pedagang sodorkan kepadanya.
“Om, disambi ngopi nggeh, kulo dhamelke ben saged kaliyan leyeh-leyeh.”
Tak lama kemudian, dua gelas kopi panas hadir untuk menemani perniagaan Padri dan menantang senja yang perlahan malu menyembunyikan dirinya.
“Sepi sanget nggeh, Pak?” Padri membuka percapakan.
“Nggeh, Om. Pandemi marai saben dinten dhahare namung mie hahaha,” tawanya lepas
“Diapunten nggih, Pak, basa Jawi kula boten lancar, dadose mangkih ngagem bahasa Indonesia campur sari,” balas Padri dengan senyum malu.
“Hahaha. Boten punapa, Om. Monggo, kalian diunjuk kopine. Rokok, Om?” ia menyodorkan rokoknya.
“Boten, Pak. Kula ngagem niki,” Padri sambil menunjukkan vape-nya.
“Woalah, pantes basa Jawane ora lancar, wong wes dadi menungso moderen hahaha,” tawanya lepas seperti meledek.
Padri perhatikan tiap kalimaya yang ada di kotak hitam itu dengan teliti. Semuanya seperti permata yang terpendam pedagang. Macam-macam kemilaunya didasari oleh warna yang solid membuat Padri bingung mencari yang cocok untuk ia kenakan.
***
“Bapakmu kerja di tambang-kan, ya? Bawain aku batu akik yang khas dari tambang sana dong,” tanya Padri sambil memaksa minta layaknya orang bodoh.
Tak lama saat Padri meminta kepada Fonny, barang itu datang layaknya mendapat rejeki beruntun dari langit. Batu akik fosfor. Dia batu asli, bukan sekedar padatan dari bahan kimia yang tersusun dari struktur kimiawinya sehingga menjadi menyala seperti nyala fosfor.
“Buat apa sih, Par?”
“Aku suka batu akik udah lama. Waktu aku tahu bapakmu kerja di tambang, mestinya dia pakai batu akik dong dan mesti punya banyak koleksi hahaha. Batu akik dipakai banyak orang bukan karena mereka beli di pedagang pasar, tapi itu karena pemberian orang sebagai bentuk kepercayaan, kenangan, dan bisa juga paksaan untuk memintakan, seperti kamu ini Fon hahaha, atau orang yang ekstrim menyebutnya juga sebagai barang kesaktian, makanya banyak orang juga bilang kalau orang pakai batu akik itu seperti dukun, seolah-olah ia memiliki kekuatan magis untuk berbuat suatu hal. Tapi kalau batu akik ini aku pakai, kekuatanku cuma satu yang tambah. Kekuatan mencintaimu dalam sabar hahaha.”
Fonny tertawa dengan tangan yang menampar wajah Padri dengan keras sehingga membuat Padri kaget, tapi Padri malah tertawa sangat lepas.
“Ah, kasar banget kamu Fon, nampar-nampar muka terus,” Padri risih.
“Hahaha kamu sih, dikit-dikit dibercandain. Kan aku jadi ga tau mana yang serius mana yang bercanda-kan, Par,” bibir Fonny dimajukan sehingga membuat Padri gemas.
Kemudian Padri mencubit pipi Fonny. Fonny tertawa sambil menjambak rambut Padri yang saat itu dikucir. Padri kesakitan hingga kuciran rambutnya lepas. Keduanya hanyut dalam tawa yang mesra.
***
“Koleksine kathah, Om?” tanya pedagang itu.
“Kulo boten koleksi, Pak. Cuma nampung pemberian orang-orang saja, baru ini pengen beli, tapi yang hargane tinggi, kata orang-orang. Makane, ini saya senang banget liat kalimaya yang macem-macem jenisnya,” Padri sambil menyeruput kopinya dan menghisap vape-nya.
“Om mesti sudah tahu mana batu asli dan mana yang imitasi. Kelihatan, Om. Tadi, Om ambil batu dan dikembalikan cepat dan itu memang yang imitasi. Om ini masih muda sepertinya, cuma kumis tebal itu membuat Om agak dewasa hahaha,” ledeknya yang lepas diiringi asap keluar dari mulutnya.
Padri masih memandangi kalimaya yang baginya spesial pada senja itu. Dalam pikirnya, Padri ingin sekali memiliki semuanya karena semua corak garongnya kalimaya itu bagus dan istimewa sekali. Kalimaya banten, kalimaya opal, kalimaya susu, dan kalimaya teh berkiluan indah saat Padri terangi dengan flash light.
***
“Kalau kamu suka batu akik, kamu tahu dong batu yang mahal harganya, Par?”ttanya Fonny menguji Padri.
“Tahulah, pertama, yang paling mahal itu jenis Bacan. Kedua, Safir. Ketiga, Kalimaya,” jawab Padri seperti sok tahu.
“Pilihan terbaikmu yang mana?” sambung Fonny.
“Aku suka banget sama kalimaya. Batu biasa yang dilihat sepandang mata hanya satu warna. Tapi, kalau didekati dan dilihat benar-benar dia memiliki warna seperti pelangi. Coba, sini deh. Aku kasih tahu gimana bentuknya, bagus banget Fon.”
“Aku pengen jadi batu akikmu, Par. Barang berhargamu. Sepertinya kamu suka sekali dan perhatianmu sangat detail tentang batu akik. Kecantikan batu akik kalimaya sepertinya sama juga dengan kecantikanku kan, Par hahaha. Semoga kamu bisa memahami aku sedetail kamu memperhatikan batu akik.”
Fonny makin mendekat dalam pelukan Padri yang hangat. Padri menunjukkan gambar-gambar batu akik kalimaya dalam ponselnya yang semakin menghangatkan Fonny dalam pelukannya sehingga ia tertidur dalam pelukan Padri. Tidak seperti biasanya. Padri merasakan tubuh Fonny yang telah bersatu dengannya. Suara kodok dan jangkrik menemani dua insan yang bersatu. Mimpi mereka seperti kenyataan dan pejaman mata mereka membawa kepada dalamnya cinta mereka.
***
“Gimana, Om? Sudah bingung mesti hahaha. Sebenarnya semua batu kalimaya itu tidak saya jual, Om. Karena semua batu itu bukan titipan untuk dijual, tapi itu pemberian dari orang-orang yang dulu saya momong dan sekarang mereka sudah merantau ke luar kota yang penuh kenangan ini. Kotak ini saya bawa selalu karena agar saya terus ingat kalau dari jualan batu akik ini saya bisa membantu sedikit untuk momong anak sekolah.”
“Ah, Pak. Santai saja. Saya juga ada di posisi seperti jenegan, Pak. Batu fosfor ini pasti bapak tahu kalau ini batu biasa banget. Tapi, batu ini pemberian dari mantan saya, Pak. Sekarang kami sudah pisah beda kota. Mantan saya yang memberikan batu ini paling istimewa juga, Pak. De’e paling ngerti tentang saya. Tapi sayang, Gusti boten paring restune, Pak.
Sing banten niki pinten pak regine?”
Pedagang itu menggaruk-garuk rambutnya sambil meringis kebingungan. Ia ambil kalimaya banten itu dan ia lihat sambil digosok-gosok. Tak lama setelah itu, ia kembalikan ke kotak hitam itu lagi dan berpaling dari padaku. Ia seperti mencari kotak hitam yang lain dan mengambil satu batu akik emban kuningan yang sangat mengkilap.
“Maaf, Om. Dengan nominal jutaan-pun, saya tidak berani melepaskan kalimaya banten itu karena kenangannya, Om. Om pasti tahulah dan juga punya fosfor kenangan dari mantan terindah Om. Saya berani barter cincin Om dengan kalimaya banten ini dan saya yakin Om tidak mau kehilangan fosfor yang sebenarnya biasa itu, begitu pula saya tidak mau menukarkan kalimaya ini hahaha. Karena tiap kalimaya ini berbeda dari kalimaya yang lain. Kenangannya membuat kalimaya ini makin indah dan berbagai keindahan kalimaya yang berbeda-beda ini juga dari kenangannya.
Gini saja, Om. Kita sama-sama pecinta kenangan. Ini ada satu kalimaya teh yang saya punyai. Ini saya berikan kepada Om untuk penyambung tali silahturahmi. Jaga baik-baik dan kenang selalu saya dalam hidup, Om.”
Aku tak bisa banyak berkata. Kutatap wajah pedagang itu. Raut muka penuh keringat membanjiri. Wajah dengan senyum tulus itu terngiang dalam pikirku dan kalimaya teh terpasang di jari kiri manisku akan mengingatkan pedagang itu dan kau, Fonny. Ketauilah, bahwa aku sudah memiliki kalimaya yang pernah kita bincangkan dalam pelukan hangat kala itu.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto: flickr.com/photos/lukfest12