Namanya Ol, ia hanyalah sebuah kepala; tanpa leher, kaki, dada, tangan. Tanpa apapun sebagai perangkat berjalan, memindahkan, atau memukul. Apalagi menendang siapapun yang memenggal kepalanya dari tangkai? Takdir tak menyediakannya.
Dalam hidupnya, Ol hanya bisa menempel dengan satu ranting dan pohon yang tidak bercabang. Adalah rumahnya: pohon kelapa. Mengapa ia dipanggil Ol?
Karena ia adalah kelapa. Masuk akalnya, kelapa itu menyerupai huruf ‘O’ dan ada ranting yang menempel di seperti katup, dianggap huruf ‘L’. Karena itu ia dipanggil Ol. Adapun yang lainnya, tak sesempurna bentukan Ol dan rerata lebih berbentuk oval atau lonjong.
Kelapa-kelapa itu hidup dengan cara berkelompok. Tentunya, Ol memiliki kelompok sebagai keluarga. Hanya saja mereka tidak bisa berserikat seperti manusia: menyuarakan perubahan atau memprotes ketidakadilan dalam hidup.
Maka dari itu, Ol hanya bisa meratap, menempel-membisu, dan menyaksikan nasib buruk datang; dari kanan, kiri, belakang, depan, atas, dan bawah. Silih berganti.
Diantara kelompok-kelompok kelapa, tak semuanya bernasib sama dalam satu pohon: berakhir buruk atau berakhir indah. Walaupun demikian, tak ayal juga mereka memiliki nasib yang sama: menjadi hidangan para pelancong di Pantai Anyer dan di hotel-hotel pinggir Jalan Anyer dengan umur yang amat masih muda dan segar.
Jalan Anyer merupakan jalan yang bersejarah dan penting. Menurut cerita, titik pertama dilakukannya pembangunan jalan raya sampai ke tanah Jawa adalah di Anyer: dibuat dengan segala macam paksaan, kelaparan, penderitaan, dan kematian manusia semasa jajahan Belanda.
***
Semenjak pohon kelapa sudah menginjak umur ke-3, nasib buruk barulah dimulai. Per setahun sekali anak buah tengkulak dari manusia datang. Mereka datang dengan parang yang sengaja ditajamkan dan wajah-wajah yang sedikit membias ketika sudah sampai daerah pucuk janur.
Kemudian melakukan aksinya sebagai penjagal. Srebetttt…
Air bercucuran dari atas jatuh ke tanah. Salah satu teman Ol dari kelompok pohon yang tak jauh dari rumahnya, terkena serempetan parang, ia terjatuh hingga luka-luka. Sementara sisanya mendarat ke tanah dengan baik, berhasil dieret dengan tali yang juga sengaja disiapkan sepanjang 30 meter tidak lebih maupun kurang. Pas!
Ol marah, dalam diam. Ol menangis, juga dalam diam. Serba diam! Hanya sekadar memiliki keberanian mengintip. Walaupun hatinya menggerutu dan lebih banyak rasa ketakutannya daripada keberanian untuk melawan setelah menyaksikan kelapa yang amat belia itu terjatuh.
Hal ini membuat air di kepalanya itu kian seperti ombak yang berbuih kalimat benci pada manusia tengkulak: mereka perampas umur!
“Oh tidaaaaaaaakkkk!” teriak Ol
“Ol, bangun! Heh!” kaget ibu, kemudian membangunkannya “Kenapa kamu berteriak? Pasti bermimpi buruk lagi!”.
“Hiks…, hikss,” sembari tersedu-tersedak iler. Ol meringis campur ketakutan “Aku bermimpi, Bu. Cilek terpenggal rantingnya dan ia terjatuh. Aku takut, Bu! Aku takut bernasib sama jika terbangun dari tidur nanti,”
“Ibu, siapa mereka?” tanya Ol
“Tidak apa-apa, Nak. Mimpi buruk, hanyalah sebatas bunga tidur,”
“Tidak Bu! Aku melihat dengan jelas! Parang itu tajam dan Cilek temanku yang masih kecil itu, terjatuh dari tangkainya,”
“Cilek temanmu, masih ada. Lihatlah itu! Tidurlah Nak, besok kita harus bangun lebih awal dan menyaksikan anak-anak manusia bermain. Seperti biasa.”
Setelah melihat keadaan, dan ia mengetahui ternyata ia hanya sedang bermimpi buruk. Ol, akhirnya mulai sedikit tenang, walaupun ia masih menggigil ketakutan. Adapun kegiatan hari esok, adalah benar. Menonton kebahagiaan dari segerombolan anak-anak manusia yang selalu asik bermain. Dan selama hidupnya, bukan cerita bohong. Bahwa Ol dan keluarganya tidak pernah terlewat dalam menyaksikan keindahan anak-anak manusia bermain dengan bahagia dan riang. Selain itu, juga selalu mengamati pohon-pohon lainnya ketika sedang berbunga atau menyambut buah-buahan akan lahir. Dan merayakannya dengan doa-doa selamat.
***
Beragam kehidupan dalam satu ruang luas yang hijau. Ol menyaksikan dengan jelas dan tak pernah terlewat.
Namun terdapat perbedaan zaman yang terlihat. Jika dulu, kelapa-kelapa sebelum Ol, di Kampung mereka lebih menyaksikan anak-anak manusia berkembang dengan lebih berbudaya luhur.
Sangat berbeda dengan zamannya sekarang. Sekarang anak-anak manusia lebih banyak bermain dengan sisa-sisa zaman dari luar yang lebih dulu maju dan merasakan bosan.
Sementara kini, mereka lebih bergembira dengan trend yang selalu sering berganti itu: layaknya merupakan sejenis makhluk yang konsumtif dan terlambat dalam kemajuan.
“Bagaimana turnamenmu, malam kemarin?” tanya salah satu anak sepermainan di bawah rumah Ol.
“Sangat memalukan, lurd! Malam itu adalah pesta kekalahan. Padahal, ya. Aku sudah korbankan waktu tidak sholat dan bolos mengaji. Kamu tahu, si Usep?”
“Tahu! Kenapa dia?”
“Iya, dia beban tim sekali, hape-nya mengeluarkan asap saat bermain. Dan permainan menjadi hancur! Begitulah jika membeli hape di tukang loak. Meresahkan!” ungkap kekesalan seorang kawan “Aku gunakan merek Silmi! Masih baru, kubeli di warung milik pak Haji Chingkui dari China, kemarin. Jadi, cuman aku yang bermain dengan tanpa masalah,”
“Oalah… pantas saja. Dan kalah saing aing atuh… aing masih merek Nukieu!”
“Ahahaha! Yuk, main ular makan balon, ahahaha….”
Suasana bermain. Kini diselimuti oleh teknologi canggih, bagus! Namun mengeringkan jiwa mereka. Selalu membahas permainan khayali, perihal kepemilikan dan merek: rendah-merendahkan. Tentunya mereka tampak seperti warisan zaman yang sedang membuka gerbang kesenjangan sosial sejak dini dan calon kapitalis unggulan di masa depan.
Bahkan, orang-orang yang baru saja menuntaskan 12 tahun sekolah, sudah mulai menghirup ketidakjelasan nasib berlama-lama hidup di kampung. Sampai tidak sedikit yang berbondong-bondong meninggalkan suasana desa dan memilih bekerja ke Kota.
Dan apa yang telah dipelajari dan dilatihkan di Sekolah; dirasakan tak sesuai dengan kehidupan lingkungan rumah. Dan yang dianggap memiliki manfaat selama 12 tahun belajar, hanyalah kertas cap tiga jari tengah, digunakannya untuk melamar kerja di segala macam pabrik.
Industri mesin, warna tekstil, mainan anak-anak, sepatu sampai cangcut dan kutang; kemudian menjadi kiblat baru sebagai tempat harapan terkabul ; membuat hidup lebih mapan, dan dapur tambah ngebul!
***
Kreeeeekkkkt… kreeeeekkkt….
Suara tali panjang, terdengar bergesekan dengan pelepah pohon. Ol berburu pendengaran dengan khusyuk dan memastikan di mana bunyi itu berasal.
“Criiiiiitttttk…, brakkkkkk….”
Suara itu, semakin keras. Ada suara manusia, ramai. Dua orang di bawah, satu orang di atas pohon sedang saling memberi pesan perintah ke bawah. Ol melihatnya, tapi Ol tidak mendengar dengan jelas: sedang mengobrol apa mereka.
Suatu ketika, satu manusia di atas pohon kelapa itu menjatuhkan satu buah kelapa yang sangat masih muda. Blukkkkkk..
Ia kaget-ketakutan. Kelapa berbentuk kepala itu jatuh. Sangat muda, masih belia: terjatuh oleh sesuatu yang panjang dan mengkilap. Yang jatuh itu tidak dipungut, selanjutnya dibiarkan tak berguna.
Kemudian, Ol hanya bisa bersembunyi di antara selat-selat bayangan hitam pepohonan yang menutupinya. Dan menyimpan cerita itu dengan perasaan sedih dan rasa takut yang berlebih.
Setelahnya dikumpulkan kelapa-kelapa yang tidak hancur, dibawa oleh gajah bermesin, menuju jalan kota dan wisata. Entah, tepatnya mau dibawa kemana kelapa-kelapa itu? Atau dibuat apa kelapa-kelapa itu? Merupakan sebuah misteri.
Dan panorama dilematis yang telah sekian disaksikan olehnya, terasa menjadi memori Ol yang dianggap paling mengerikan ke-10, setelah mimpi sebelumnya yang ganjil.
***
Satu pagi, Ol merenung. Ia bertanya-tanya pada hari yang kelabu, pada cuaca yang mendung, pada burung Pipit yang sedang memberi makan anaknya. “Sebenarnya, aku ini apa?” ia juga melanjutkan, dan berfikir sangat dalam: untuk siapa dia hidup?
Ol, merasa hari itu adalah hari paling membingungkan, mungkin jika dilombakan. Harinya Ol, adalah pemenangnya!
Ia dihantui oleh bayang-bayang kisah di kepalanya, dari apa yang telah terjadi dan terekam jelas di dalam ingatan.
Tidak lama setelah eksploitasi terjadi, bangkai-bangkai kelapa yang telah terbelah, pecah, dan buruk, dan tak berguna di temukan jalanan. Misteri kemudian mulai terungkap, dari bangkai-bangkai itu yang diantar dengan sadis: dibungkus karung-karung besar lalu ditelantarkan di perkampungan jam 12 malam, secara diam-diam oleh gajah bermesin berwarna hitam sangat gelap.
Kemudian orang-orang menyambutnya dengan rasa itu adalah sebuah hadiah, tiba-tiba. Dan kemudian menjemurnya di sepanjang jalanan yang rusak. “Alhamdulillah, kayu bakar kami bertambah, Gusti.” Ungkap syukur ibu tua.
Memang, kayu bakar mereka bertambah dengan kedatangan mayat-mayat kelapa, dan merasa tak payah lagi memikirkan kayu bakar di musim hujan mendatang.
Namun, kondisi ini tak lebih memahat cerita pada desa: hanya sekadar tempat pembuangan gelap dan gratis tengkulak antah-berantah.
“Bu, mengapa nasib kita tidak selalu baik?”
“Hussst! Jangan berkata seperti itu, Nak. Pamali!”
“Tapi, Bu. Memang kenyataannya, hidup kita selalu berada dalam bayang-bayang mengerikan. Setiap hari, mesti ada kejutan kematian di antara kita!”
“Ya… mungkin itu adalah takdir kita, Nak,”
“Apakah waktu di zaman nenek moyang kita, takdir ini sudah ada, bu?”
“Hmm… mmm… sebenarnya. Memang hamparan nasib kematian di antara kita sudah lama terjadi. Dan menjadi hal yang lumrah, sekarang. Tapi, jika dulu, bangsa kita sebenarnya hidup sangat makmur dan sejahtera secara umur. Manusia-manusia dulu, membiarkan kita sampai hidup tua. Kemudian, menggunakan kita hanya yang telah uzur saja, untuk dijadikan minyak sebagai pemenuhan kebutuhan hidup dan kebudayaan luhur mereka lainnya,”
“Tapi, mengapa sekarang nasib kita hanya sebatas sampai muda, Bu?”
“Entahlah, ibu juga tidak mengerti. Tapi, kondisi ini bermula, saat desa kita mulai dijamah kemajuan zaman. Orang-orang di desa, berubah menjadi makhluk pemalas. Mereka lebih memilih cara yang serba instan, ketimbang harus memproses kita lebih dulu. Salah satunya, yaa… ini: mereka memilih menjual kita ke tengkulak walaupun dengan harga yang termurah, dari pada diolahnya sendiri. Dan, Nak! Walaupun kenyataan hidup kita seperti ini. Kita jangan sampai lupa harus tetap rajin berdoa dan tidak boleh raib harapan. Semoga ada perbaikan nasib yang lebih baik, untuk hari-hari ke depannya.”
***